Pensil, benda yang satu ini tentu tak asing bagi kita. Barangkali saat ini kita tak lagi atau jarang menggunakannya dibandingkan sewaktu kita di Sekolah Dasar dulu.
Tetapi tak sedikit pula di antara kita yang, justru karena tuntutan pekerjaan, lebih sering menggunakannya. Pensil memang sebuah alat tulis, tetapi kita bisa menarik pelajaran darinya.
Pertama, jika yang kita tulis salah, maka dengan mudah kita bisa menghapusnya dengan karet penghapus.
Demikian pula ketika kita menyusun rencana-rencana hidup kita, “gunakanlah pensil, jangan pena”. Artinya, kita mengizinkan Tuhan menghapus rencana-rencana kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Kedua, pensil harus diruncingkan bila telah tumpul. Dalam hidup ini terkadang kita harus “diruncingkan” supaya tetap dapat berguna untuk Tuhan dan sesama.
Tentu saja proses peruncingan ini menimbulkan rasa tak nyaman, bahkan sakit. Mungkin bentuk peruncingan itu berupa masalah, kesulitan, penderitaan, dan lain-lain.
Ketiga, pensil bisa berada di tangan orang lain untuk dipergunakannya. Kita juga bisa digunakan oleh orang lain, sehingga bermanfaat baginya.
Keempat, pensil diharapkan akan meninggalkan guratan-guratan bekas atau jejak. Teladan hidup apa yang telah kita tinggalkan atau wariskan untuk dikenang?
Kini kita sampai di penghujung tahun 2012. Saat yang baik bagi kita untuk merenung, sejenak menengok ke belakang pada hari-hari yang telah kita lewati dan bertanya.
Rencana mana yang telah terlaksana dan mana yang belum? Apakah kita membiarkan Tuhan turut campur dalam rencana kita? Bukankah kita acapkali begitu keras kepala mempertahankan keinginan, rencana, dan kehendak kita sendiri?
Kita merasa sudah benar, sudah tepat, bahkan paling benar dan tepat. Kita berdoa rencana itu harus berhasil. Padahal mungkin rencana kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya, dan bukan yang terbaik untuk kita.
Apakah dalam tahun ini kita mengalami banyak masalah, kesulitan, dan penderitaan? Apakah semua itu diizinkan Tuhan untuk lebih “meruncingkan”, membuat diri kita berguna?
Bagaimana kita menyikapi semua masalah itu? Firman Tuhan yang merupakan penghiburan bagi kita adalah: “Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
Apakah kita telah menjadi “alat” di tangan orang lain untuk membantunya, untuk menjadi berkat baginya? Dan apakah kita telah meninggalkan jejak-jejak atau teladan baik yang akan dikenang? —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 31/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
31 Desember 2012
30 Desember 2012
Obituari
Sebuah koran pernah keliru memuat obituari Alfred Nobel, selagi ia masih hidup.
Yang meninggal sebenarnya adalah adik laki-laki Alfred. Namun, melalui kekeliruan itu, Alfred bisa melihat bagaimana orang lain menilai hidupnya, yaitu sebagai orang yang menjadi kaya dengan memungkinkan terjadinya pembunuhan massal.
Memang, bahan-bahan peledak temuan Alfred akhirnya dibeli oleh pemerintah untuk produksi senjata.
Terguncang oleh obituari itu, Alfred lalu memutuskan untuk memakai kekayaannya guna memberi penghargaan terhadap upaya-upaya kemanusiaan, termasuk yang kita kenal sebagai Nobel Perdamaian.
Bayangkan jika seperti Alfred, kita mendapat kesempatan untuk membaca obituari kita. Bagaimana jika obituari itu dituliskan dari sudut pandang Tuhan?
Orang bisa saja tidak mengenal kita dengan cukup dekat untuk bisa menilai kita, tetapi tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan! Umat Tuhan tidak boleh hidup seenaknya seperti orang-orang yang tidak percaya pada hari penghakiman.
Tuhan tidak lalai terhadap janji-Nya, dan jelas Dia juga takkan lalai memerhatikan setiap detail kehidupan kita!
Selama kita masih hidup di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menyunting obituari kita. Akankah kita menginvestasikan hidup kita untuk hal-hal yang bernilai kekal?
Ataukah kita mencurahkan seluruh hidup dalam ambisi pribadi, hidup yang tidak bertanggung jawab, atau kewajiban agama yang kosong?
Menjelang akhir tahun, mari mohon hikmat Tuhan agar kita dapat membedakan apa yang akan binasa bersama dunia dan apa yang dihargai Tuhan dalam kekekalan. —ELS
* * *
Sumber: e-RH, 30/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Yang meninggal sebenarnya adalah adik laki-laki Alfred. Namun, melalui kekeliruan itu, Alfred bisa melihat bagaimana orang lain menilai hidupnya, yaitu sebagai orang yang menjadi kaya dengan memungkinkan terjadinya pembunuhan massal.
Alfred Nobel |
Memang, bahan-bahan peledak temuan Alfred akhirnya dibeli oleh pemerintah untuk produksi senjata.
Terguncang oleh obituari itu, Alfred lalu memutuskan untuk memakai kekayaannya guna memberi penghargaan terhadap upaya-upaya kemanusiaan, termasuk yang kita kenal sebagai Nobel Perdamaian.
Bayangkan jika seperti Alfred, kita mendapat kesempatan untuk membaca obituari kita. Bagaimana jika obituari itu dituliskan dari sudut pandang Tuhan?
Orang bisa saja tidak mengenal kita dengan cukup dekat untuk bisa menilai kita, tetapi tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan! Umat Tuhan tidak boleh hidup seenaknya seperti orang-orang yang tidak percaya pada hari penghakiman.
Tuhan tidak lalai terhadap janji-Nya, dan jelas Dia juga takkan lalai memerhatikan setiap detail kehidupan kita!
Selama kita masih hidup di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menyunting obituari kita. Akankah kita menginvestasikan hidup kita untuk hal-hal yang bernilai kekal?
Ataukah kita mencurahkan seluruh hidup dalam ambisi pribadi, hidup yang tidak bertanggung jawab, atau kewajiban agama yang kosong?
Menjelang akhir tahun, mari mohon hikmat Tuhan agar kita dapat membedakan apa yang akan binasa bersama dunia dan apa yang dihargai Tuhan dalam kekekalan. —ELS
* * *
Sumber: e-RH, 30/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
29 Desember 2012
Hikmah dari Kritik
Meskipun saya senang belajar dari masukan orang lain, pada kenyataannya tidak selalu mudah mencerna dan menerimanya.
Suatu kali pemimpin saya mengembalikan sejumlah naskah yang sudah saya tulis dengan susah payah disertai komentar yang intinya mengatakan bahwa naskah-naskah itu harus dirombak ulang.
Spontan saya protes dan berusaha membela pendapat saya. Lucunya, ketika pikiran sudah lebih tenang, dan saya membaca ulang komentar-komentar yang diberikan, saya menemukan banyak konsep saya yang memang keliru.
Sambil memperbaikinya, saya bersyukur. Kritik membangun mencegah saya melakukan kesalahan yang memalukan, sekaligus membuka wawasan dan mengasah ketajaman pikiran saya.
Sebuah nasihat bijak mengingatkan kita agar memiliki sikap yang terbuka untuk diajar. Teguran-teguran yang dimaksudkan untuk membangun haruslah didengarkan. Bukan didengarkan sambil lalu, tetapi diterima dengan pikiran terbuka.
Teguran yang membangun itu sama dengan didikan atau pengajaran yang memberikan akal budi. Rugi besar jika kita mengabaikannya, karena berarti kita sedang membuang kesempatan untuk maju.
Sikap yang mau diajar adalah cermin kerendahan hati. Jika seseorang tidak cukup rendah hati untuk menerima masukan dari sesama manusia, mungkinkah ia bisa sepenuh hati mendengarkan didikan Tuhan?
Acap kali pekerjaan dan pelayanan terhambat, dan hubungan dengan orang lain bermasalah, karena kita menolak untuk saling mendengarkan. Kita tidak mau belajar dari orang lain yang Tuhan tempatkan di sekitar kita.
Adakah noda keangkuhan yang mungkin perlu kita bersihkan agar kita dapat dengan jernih melihat masukan-masukan yang bermanfaat di sekitar kita? —ELS
Teguran yang tulus ibarat pisau operasi. Ditujukan untuk memperbaiki, bukan untuk menyakiti.
* * *
Sumber: e-RH, 29/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Berkat dari Kritik
==========
Suatu kali pemimpin saya mengembalikan sejumlah naskah yang sudah saya tulis dengan susah payah disertai komentar yang intinya mengatakan bahwa naskah-naskah itu harus dirombak ulang.
Spontan saya protes dan berusaha membela pendapat saya. Lucunya, ketika pikiran sudah lebih tenang, dan saya membaca ulang komentar-komentar yang diberikan, saya menemukan banyak konsep saya yang memang keliru.
Sambil memperbaikinya, saya bersyukur. Kritik membangun mencegah saya melakukan kesalahan yang memalukan, sekaligus membuka wawasan dan mengasah ketajaman pikiran saya.
Sebuah nasihat bijak mengingatkan kita agar memiliki sikap yang terbuka untuk diajar. Teguran-teguran yang dimaksudkan untuk membangun haruslah didengarkan. Bukan didengarkan sambil lalu, tetapi diterima dengan pikiran terbuka.
Teguran yang membangun itu sama dengan didikan atau pengajaran yang memberikan akal budi. Rugi besar jika kita mengabaikannya, karena berarti kita sedang membuang kesempatan untuk maju.
Sikap yang mau diajar adalah cermin kerendahan hati. Jika seseorang tidak cukup rendah hati untuk menerima masukan dari sesama manusia, mungkinkah ia bisa sepenuh hati mendengarkan didikan Tuhan?
Acap kali pekerjaan dan pelayanan terhambat, dan hubungan dengan orang lain bermasalah, karena kita menolak untuk saling mendengarkan. Kita tidak mau belajar dari orang lain yang Tuhan tempatkan di sekitar kita.
Adakah noda keangkuhan yang mungkin perlu kita bersihkan agar kita dapat dengan jernih melihat masukan-masukan yang bermanfaat di sekitar kita? —ELS
Teguran yang tulus ibarat pisau operasi. Ditujukan untuk memperbaiki, bukan untuk menyakiti.
* * *
Sumber: e-RH, 29/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Berkat dari Kritik
==========
28 Desember 2012
Makna Bekerja
Pak Lim, di usianya yang sudah 60-an, bekerja di sebuah hotel bintang lima di Singapura. Tugasnya memastikan engsel-engsel pintu di setiap kamar hotel itu berfungsi dengan baik.
Itu harus ia lakukan setiap hari. Padahal ada 600 kamar di situ! Dan, ketika engsel-engsel pintu di kamar ke-600 selesai dicek, ia harus kembali ke kamar pertama! Begitu terus-menerus.
Ketika ditanya, apa yang membuatnya tetap teliti dan tak bosan bekerja, ia mengaku telah menemukan makna di balik pekerjaannya yang tampak menjemukan. Bahwa setiap tamu hotel bintang lima itu pasti seorang kepala keluarga atau pemimpin perusahaan yang memiliki banyak staf.
Andai terjadi kebakaran, dan salah satu engsel pintu tak berfungsi sehingga tamu terkunci dan tewas di situ, maka kerugiannya akan sangat besar. Tak hanya bagi hotel, tetapi juga bagi keluarga, perusahaan, dan banyak karyawan yang hidupnya dipengaruhi oleh peran sang tamu.
Jadi, Pak Lim tak sekadar bekerja memeriksa engsel, tapi menyelamatkan nyawa para kepala keluarga dan pemimpin perusahaan.
Mari cermati pekerjaan kita. Tak hanya apa yang tampak dari luar, melainkan makna yang mendasarinya sehingga pekerjaan itu penting untuk dikerjakan.
Orang yang tak mengerti makna pekerjaannya bisa merasa jemu dan sia-sia bekerja. Akan tetapi, umat Tuhan perlu memahami makna pekerjaannya.
Pertama, Tuhan sendiri yang memanggil kita untuk bekerja – tentu bekerja yang halal, bukan yang cemar.
Kedua, Tuhan mau kita menjadi berkat bagi sesama, melalui pekerjaan kita.
Ketiga, Tuhan rindu kita bersaksi bahwa Tuhan memelihara, karena dengan bekerja kita tak bergantung kepada orang lain. —AW
Temukan nilai kekal dalam pekerjaan kita agar setiap pekerjaan menjadi bermakna, tak pernah sia-sia.
* * *
Sumber: e-RH, 7/4/2011 (diedit seperlunya)
==========
Itu harus ia lakukan setiap hari. Padahal ada 600 kamar di situ! Dan, ketika engsel-engsel pintu di kamar ke-600 selesai dicek, ia harus kembali ke kamar pertama! Begitu terus-menerus.
Ketika ditanya, apa yang membuatnya tetap teliti dan tak bosan bekerja, ia mengaku telah menemukan makna di balik pekerjaannya yang tampak menjemukan. Bahwa setiap tamu hotel bintang lima itu pasti seorang kepala keluarga atau pemimpin perusahaan yang memiliki banyak staf.
Andai terjadi kebakaran, dan salah satu engsel pintu tak berfungsi sehingga tamu terkunci dan tewas di situ, maka kerugiannya akan sangat besar. Tak hanya bagi hotel, tetapi juga bagi keluarga, perusahaan, dan banyak karyawan yang hidupnya dipengaruhi oleh peran sang tamu.
Jadi, Pak Lim tak sekadar bekerja memeriksa engsel, tapi menyelamatkan nyawa para kepala keluarga dan pemimpin perusahaan.
Mari cermati pekerjaan kita. Tak hanya apa yang tampak dari luar, melainkan makna yang mendasarinya sehingga pekerjaan itu penting untuk dikerjakan.
Orang yang tak mengerti makna pekerjaannya bisa merasa jemu dan sia-sia bekerja. Akan tetapi, umat Tuhan perlu memahami makna pekerjaannya.
Pertama, Tuhan sendiri yang memanggil kita untuk bekerja – tentu bekerja yang halal, bukan yang cemar.
Kedua, Tuhan mau kita menjadi berkat bagi sesama, melalui pekerjaan kita.
Ketiga, Tuhan rindu kita bersaksi bahwa Tuhan memelihara, karena dengan bekerja kita tak bergantung kepada orang lain. —AW
Temukan nilai kekal dalam pekerjaan kita agar setiap pekerjaan menjadi bermakna, tak pernah sia-sia.
* * *
Sumber: e-RH, 7/4/2011 (diedit seperlunya)
==========
27 Desember 2012
Dimulai dari Diri Sendiri
Alkisah, seorang pria mengalami masalah yang bertubi-tubi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, eh... digigit anjing lagi.
Rumah tangganya gonjang-ganjing tidak harmonis, karena didapati istrinya memiliki “pria idaman lain”. Belum lagi masalah pekerjaan, ia baru saja terkena imbas perampingan karyawan, alias baru saja di-PHK.
Sungguh, beban pergumulannya sangat berat. Oleh karena itu, ia kemudian merenungkan nasibnya.
Ia mencoba untuk menginstrospeksi diri, “Apa yang sebenarnya salah dalam hidupku? Mengapa setiap yang kukerjakan selalu gagal? Bagaimana caranya agar aku dapat tetap survive dan menjadi orang berhasil?”
Lantas, ia segera mencari jawabannya dengan pergi ke toko buku, dan membeli buku-buku kepribadian, motivasi, dan buku mengenai petunjuk hidup.
Akan tetapi, setelah beberapa saat ia bergulat dengan buku-buku tentang kehidupan tadi, hidupnya sama sekali tidak berubah.
Kemudian secara tiba-tiba terbersit keinginan untuk menemui penulis buku-buku tadi, karena pikirnya mereka yang dapat menulis buku-buku tersebut tentulah orang-orang hebat, yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.
Setelah ia bertanya ke sana kemari, dan mencoba untuk menghubungi para penulis buku tersebut, akhirnya ia berhasil menemui salah seorang penulis buku.
Ia langsung menceritakan segala permasalahan hidupnya dan bertanya, “Pak, berikan saya resep yang dapat membuat hidup saya lancar dan bahagia.”
Si penulis kemudian menjawab, “Oh gampang sekali, kamu tinggal baca buku saya dengan teliti, dan kerjakanlah semua yang tertulis di sana.”
“Sudah Pak, saya sudah membacanya dengan teliti, bahkan saya sangat hafal semua yang tertulis di dalam buku Bapak,” jawab sang pria tadi.
Si penulis terdiam sejenak, lalu ia berkata, “Baiklah, kamu akan saya pertemukan dengan seseorang, dan dialah yang akan memberikan kepadamu resep kehidupan yang bahagia.”
Lalu, ia membawa sang pria masuk ke dalam kamarnya, dan membimbingnya ke sebuah cermin. Tentu saja pria tersebut menjadi bingung.
Si penulis berkata, “Itulah orang yang akan membantumu menunjukkan hidup yang bahagia, dia adalah dirimu sendiri. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membawamu hidup bahagia, selain dirimu dengan integritas diri yang kau miliki.”
Bukankah sering kali kita tidak menyadari bahwa semua permasalahan hidup sebenarnya kita sendirilah yang paling bertanggung jawab? Ya, kita sering tidak memiliki integritas diri yang sungguh-sungguh, sampai-sampai kita mudah sekali diombang-ambingkan oleh keadaan di sekitar kita.
Kita sering berlaku seperti orang-orang yang tidak berpengalaman, tetapi terus saja hidup dalam keadaan tak berpengalaman tersebut.
Oleh karena itu, kita harus memiliki integritas diri yang luar biasa, yaitu senantiasa hidup dalam hikmat Tuhan, sehingga kita mampu menghadapi segala permasalahan hidup ini, dan pada akhirnya hidup kita menjadi bahagia. —Pdt. David Nugrahaning Widi
Integritas diri tidak berasal dari faktor eksternal, melainkan internal, dari dalam diri kita sendiri.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 27/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Rumah tangganya gonjang-ganjing tidak harmonis, karena didapati istrinya memiliki “pria idaman lain”. Belum lagi masalah pekerjaan, ia baru saja terkena imbas perampingan karyawan, alias baru saja di-PHK.
Sungguh, beban pergumulannya sangat berat. Oleh karena itu, ia kemudian merenungkan nasibnya.
Ia mencoba untuk menginstrospeksi diri, “Apa yang sebenarnya salah dalam hidupku? Mengapa setiap yang kukerjakan selalu gagal? Bagaimana caranya agar aku dapat tetap survive dan menjadi orang berhasil?”
Lantas, ia segera mencari jawabannya dengan pergi ke toko buku, dan membeli buku-buku kepribadian, motivasi, dan buku mengenai petunjuk hidup.
Akan tetapi, setelah beberapa saat ia bergulat dengan buku-buku tentang kehidupan tadi, hidupnya sama sekali tidak berubah.
Kemudian secara tiba-tiba terbersit keinginan untuk menemui penulis buku-buku tadi, karena pikirnya mereka yang dapat menulis buku-buku tersebut tentulah orang-orang hebat, yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.
Setelah ia bertanya ke sana kemari, dan mencoba untuk menghubungi para penulis buku tersebut, akhirnya ia berhasil menemui salah seorang penulis buku.
Ia langsung menceritakan segala permasalahan hidupnya dan bertanya, “Pak, berikan saya resep yang dapat membuat hidup saya lancar dan bahagia.”
Si penulis kemudian menjawab, “Oh gampang sekali, kamu tinggal baca buku saya dengan teliti, dan kerjakanlah semua yang tertulis di sana.”
“Sudah Pak, saya sudah membacanya dengan teliti, bahkan saya sangat hafal semua yang tertulis di dalam buku Bapak,” jawab sang pria tadi.
Si penulis terdiam sejenak, lalu ia berkata, “Baiklah, kamu akan saya pertemukan dengan seseorang, dan dialah yang akan memberikan kepadamu resep kehidupan yang bahagia.”
Lalu, ia membawa sang pria masuk ke dalam kamarnya, dan membimbingnya ke sebuah cermin. Tentu saja pria tersebut menjadi bingung.
Si penulis berkata, “Itulah orang yang akan membantumu menunjukkan hidup yang bahagia, dia adalah dirimu sendiri. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membawamu hidup bahagia, selain dirimu dengan integritas diri yang kau miliki.”
Bukankah sering kali kita tidak menyadari bahwa semua permasalahan hidup sebenarnya kita sendirilah yang paling bertanggung jawab? Ya, kita sering tidak memiliki integritas diri yang sungguh-sungguh, sampai-sampai kita mudah sekali diombang-ambingkan oleh keadaan di sekitar kita.
Kita sering berlaku seperti orang-orang yang tidak berpengalaman, tetapi terus saja hidup dalam keadaan tak berpengalaman tersebut.
Oleh karena itu, kita harus memiliki integritas diri yang luar biasa, yaitu senantiasa hidup dalam hikmat Tuhan, sehingga kita mampu menghadapi segala permasalahan hidup ini, dan pada akhirnya hidup kita menjadi bahagia. —Pdt. David Nugrahaning Widi
Integritas diri tidak berasal dari faktor eksternal, melainkan internal, dari dalam diri kita sendiri.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 27/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
18 Desember 2012
Pentingnya Disiplin
Di bawah kepemimpinan Alex Ferguson, tim sepakbola Manchester United bisa bangkit dari keterpurukan dan mengukir berbagai prestasi. Termasuk dua belas kali memenangi Liga Inggris, dua kali memenangi Liga Champions, dan lima kali merebut piala FA.
Tidak hanya itu, Ferguson juga mampu membimbing pemain-pemain muda menjadi pemain-pemain besar dan menjadi pemain termahal di dunia seperti Christiano Ronaldo.
Apa yang menyebabkan Ferguson mencapai prestasi gemilang? Kuncinya ada pada kedisiplinan. Ia mendidik para pemain tidak hanya di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Mulai dari menu makanan, kepribadian, karakter, dan ketahanan fisik.
Ia tak segan-segan menegur dengan keras para pemain yang dianggap melakukan kesalahan sehingga menyebabkan MU mengalami kekalahan. Seperti yang terjadi ketika menghadapi tim satu kota mereka, Manchester City.
Kekalahan ini membuat Ferguson naik darah dan melakukan evaluasi besar-besaran untuk membenahi sistem permainan mereka. Ia membentak mereka satu per satu di hadapan muka mereka.
Ferguson menyebut metode ini sebagai Hair Dryer Treatment, yang dimaksudkan sebagai terapi kejut untuk menegakkan kedisiplinan para pemain MU.
Kedisiplinan sebenarnya sudah ditanamkan oleh orangtua sejak kita masih kecil dan semakin dikembangkan ketika kita duduk di bangku sekolah, di mana kita harus masuk dan mengikuti pelajaran pada waktu yang telah ditentukan.
Kedisiplinan yang ditanamkan dalam diri kita bertujuan agar kita tumbuh menjadi pribadi yang tertib dan berkarakter baik, sehingga di masa mendatang apa yang kita lakukan adalah perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Karakter yang terbentuk dalam kedisiplinan juga akan melahirkan integritas, dan integritas akan mempercepat promosi, sehingga karier yang kita bangun akan semakin cepat berkembang.
Karena itu kembangkanlah kedisiplinan di dalam diri kita: disiplin dalam bekerja, pelayanan, dan semua aspek kehidupan kita. Itulah bekal kita dalam meraih sukses di masa depan. —Pdt. Elisabeth Parinsi
Kita pertama-tama membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaan akan membentuk kita. ~John Dryden
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 17/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Tidak hanya itu, Ferguson juga mampu membimbing pemain-pemain muda menjadi pemain-pemain besar dan menjadi pemain termahal di dunia seperti Christiano Ronaldo.
Alex Ferguson |
Apa yang menyebabkan Ferguson mencapai prestasi gemilang? Kuncinya ada pada kedisiplinan. Ia mendidik para pemain tidak hanya di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Mulai dari menu makanan, kepribadian, karakter, dan ketahanan fisik.
Ia tak segan-segan menegur dengan keras para pemain yang dianggap melakukan kesalahan sehingga menyebabkan MU mengalami kekalahan. Seperti yang terjadi ketika menghadapi tim satu kota mereka, Manchester City.
Kekalahan ini membuat Ferguson naik darah dan melakukan evaluasi besar-besaran untuk membenahi sistem permainan mereka. Ia membentak mereka satu per satu di hadapan muka mereka.
Ferguson menyebut metode ini sebagai Hair Dryer Treatment, yang dimaksudkan sebagai terapi kejut untuk menegakkan kedisiplinan para pemain MU.
Kedisiplinan sebenarnya sudah ditanamkan oleh orangtua sejak kita masih kecil dan semakin dikembangkan ketika kita duduk di bangku sekolah, di mana kita harus masuk dan mengikuti pelajaran pada waktu yang telah ditentukan.
Kedisiplinan yang ditanamkan dalam diri kita bertujuan agar kita tumbuh menjadi pribadi yang tertib dan berkarakter baik, sehingga di masa mendatang apa yang kita lakukan adalah perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Karakter yang terbentuk dalam kedisiplinan juga akan melahirkan integritas, dan integritas akan mempercepat promosi, sehingga karier yang kita bangun akan semakin cepat berkembang.
Karena itu kembangkanlah kedisiplinan di dalam diri kita: disiplin dalam bekerja, pelayanan, dan semua aspek kehidupan kita. Itulah bekal kita dalam meraih sukses di masa depan. —Pdt. Elisabeth Parinsi
Kita pertama-tama membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaan akan membentuk kita. ~John Dryden
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 17/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
15 Desember 2012
Mengutamakan Kejujuran
Alkisah seorang raja sedang mencari pengawas kebun kerajaan dengan cara yang unik. Tiap pelamar diberi sekantong biji untuk ditanam di rumah masing-masing selama waktu tertentu.
Seorang pemudi ikut mendaftar dengan semangat. Biji dari raja ditanamnya hati-hati, disiramnya tiap hari. Namun, betapa sedih hatinya melihat biji itu tak kunjung tumbuh.
Ketika tiba batas waktu untuk melapor ke istana, ia melihat orang-orang membawa tanaman yang indah-indah. Setengah menangis ia mohon ampun kepada raja, karena biji itu tidak mau tumbuh sekalipun ia telah merawatnya tiap hari.
Raja menepuk pundaknya dan berkata, "Semua biji yang kuberikan sebenarnya sudah dipanggang, jadi tidak mungkin tumbuh. Entah dari mana tanaman-tanaman yang mereka bawa itu. Terima kasih sudah membawa kejujuranmu. Hari ini juga kamu resmi menjadi pengawas kebun kerajaanku."
Kejujuran tak hanya menunjukkan ketulusan hati, tetapi juga sikap menghormati orang lain. Karena hormat, kita tidak mau menipu orang itu. Lebih dari menghormati sesama, sesungguhnya sikap jujur berarti menghormati Tuhan.
Ketika seseorang berdusta, ia sebenarnya sedang menghina Tuhan Yang Mahatahu. Memang bersikap jujur di tengah dunia yang sarat ketidakjujuran bisa dipandang sebagai suatu kebodohan di mata manusia. Namun tidak di mata Tuhan. Orang yang jujur justru menunjukkan kesetiaan dan kebaikan di hadapan-Nya.
Ketika diperhadapkan pada pilihan untuk jujur atau tidak, ingatlah bahwa kita tidak saja sedang berurusan dengan manusia, tetapi juga dengan Tuhan. Manusia tidak serbatahu, tetapi Tuhan tahu apakah kita sedang menghormati-Nya atau tidak. —ELS
Jujur itu menghormati Tuhan. Menyatakan bahwa Dia Mahatahu dan menyukai kebenaran.
* * *
Sumber: e-RH, 15/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Karena Menghormati Tuhan
==========
Seorang pemudi ikut mendaftar dengan semangat. Biji dari raja ditanamnya hati-hati, disiramnya tiap hari. Namun, betapa sedih hatinya melihat biji itu tak kunjung tumbuh.
Ketika tiba batas waktu untuk melapor ke istana, ia melihat orang-orang membawa tanaman yang indah-indah. Setengah menangis ia mohon ampun kepada raja, karena biji itu tidak mau tumbuh sekalipun ia telah merawatnya tiap hari.
Raja menepuk pundaknya dan berkata, "Semua biji yang kuberikan sebenarnya sudah dipanggang, jadi tidak mungkin tumbuh. Entah dari mana tanaman-tanaman yang mereka bawa itu. Terima kasih sudah membawa kejujuranmu. Hari ini juga kamu resmi menjadi pengawas kebun kerajaanku."
Kejujuran tak hanya menunjukkan ketulusan hati, tetapi juga sikap menghormati orang lain. Karena hormat, kita tidak mau menipu orang itu. Lebih dari menghormati sesama, sesungguhnya sikap jujur berarti menghormati Tuhan.
Ketika seseorang berdusta, ia sebenarnya sedang menghina Tuhan Yang Mahatahu. Memang bersikap jujur di tengah dunia yang sarat ketidakjujuran bisa dipandang sebagai suatu kebodohan di mata manusia. Namun tidak di mata Tuhan. Orang yang jujur justru menunjukkan kesetiaan dan kebaikan di hadapan-Nya.
Ketika diperhadapkan pada pilihan untuk jujur atau tidak, ingatlah bahwa kita tidak saja sedang berurusan dengan manusia, tetapi juga dengan Tuhan. Manusia tidak serbatahu, tetapi Tuhan tahu apakah kita sedang menghormati-Nya atau tidak. —ELS
Jujur itu menghormati Tuhan. Menyatakan bahwa Dia Mahatahu dan menyukai kebenaran.
* * *
Sumber: e-RH, 15/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Karena Menghormati Tuhan
==========
13 Desember 2012
Hidup di Tepi Air
Ketika saya melintasi Kota Tegal di jalur Pantura, saya sering mampir di SPBU 67. Museum Rekor Indonesia memasukkan SPBU ini sebagai SPBU dengan fasilitas toilet terbanyak dan bersih.
Tersedia 15 kamar mandi / toilet wanita, 12 kamar mandi / toilet pria, dan 40 urinoir pria.
SPBU ini didirikan oleh Sintha Irawaty ketika sudah berusia 80 tahun. Tahun 2004 Museum Rekor Indonesia mencatat Nenek Sintha sebagai pengusaha tertua di Indonesia yang berhasil merintis bisnis SPBU.
Saat berusia 80 tahun, ada banyak orang yang sudah merasa renta, didera depresi, dan diretas bermacam penyakit, bahkan tidak sedikit yang rehat di panti wreda.
Waktulah yang menggiring kita menjadi tua. Tetapi menjalani masa tua tergantung penilaian kita terhadap panggilan hidup.
Apakah kita merasa sudah “habis” dalam kehidupan ini? Apakah kita sudah redup menjawab tantangan hidup? Apakah kita sudah berhenti untuk belajar tetap hidup?
Jika kita masih menjalani panggilan hidup, sesungguhnya kita tidak pantas merasa “habis”, tidak berguna, apalagi merasa terbuang. Seharusnya kita menjadi seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai.
Dengan demikian kita akan hidup bagaikan pohon yang tidak terpengaruh oleh panas terik, yang daunnya tetap hijau. Pohon yang tidak khawatir hidup dalam tahun-tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Tentang menghasilkan buah, kita bisa memetik pelajaran dari kisah cengkeh Afo, hasil reportase Kompas.com edisi 4 Desember 2009. Cengkeh Afo ini merupakan pohon cengkeh tertua di dunia, terdapat di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat Kota Ternate.
Pohon cengkeh Afo sudah berumur 416 tahun, memiliki tinggi 36,60 meter, garis tengah 1,98 meter, dan lingkar pohonnya mencapai 4,26 meter. Dan, yang paling mengagumkan, pohon ini masih menghasilkan sekitar 400 kg cengkeh setiap tahunnya.
Tetap berbuah meskipun sudah tua adalah kerinduan setiap orang. Tidak ingin “habis”. Terus berguna. Tidak menjadi sang mantan.
Raja Daud pun memiliki kerinduan yang sama, ia berseru kepada Tuhan, “Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis.”
Jika kita berbuah, tentu saja kita harus memberikan faedah, tidak “merimbunkan” diri sendiri.
Tuhan pun telah menjamin kita: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”
Jadi, jika kita benar-benar rindu untuk tetap berbuah, teruslah berpaut kepada Tuhan, menapaki jalan yang Tuhan arahkan, dan menjadi berkat bagi banyak orang. —Agus Santosa
Ada orang yang jam kehidupannya “berhenti” pada waktu tertentu dan tetap tinggal selamanya dalam waktu tersebut. ~Sante Boeve
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 13/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Di Tepi Air
==========
Tersedia 15 kamar mandi / toilet wanita, 12 kamar mandi / toilet pria, dan 40 urinoir pria.
SPBU ini didirikan oleh Sintha Irawaty ketika sudah berusia 80 tahun. Tahun 2004 Museum Rekor Indonesia mencatat Nenek Sintha sebagai pengusaha tertua di Indonesia yang berhasil merintis bisnis SPBU.
Saat berusia 80 tahun, ada banyak orang yang sudah merasa renta, didera depresi, dan diretas bermacam penyakit, bahkan tidak sedikit yang rehat di panti wreda.
Waktulah yang menggiring kita menjadi tua. Tetapi menjalani masa tua tergantung penilaian kita terhadap panggilan hidup.
Apakah kita merasa sudah “habis” dalam kehidupan ini? Apakah kita sudah redup menjawab tantangan hidup? Apakah kita sudah berhenti untuk belajar tetap hidup?
Jika kita masih menjalani panggilan hidup, sesungguhnya kita tidak pantas merasa “habis”, tidak berguna, apalagi merasa terbuang. Seharusnya kita menjadi seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai.
Dengan demikian kita akan hidup bagaikan pohon yang tidak terpengaruh oleh panas terik, yang daunnya tetap hijau. Pohon yang tidak khawatir hidup dalam tahun-tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Tentang menghasilkan buah, kita bisa memetik pelajaran dari kisah cengkeh Afo, hasil reportase Kompas.com edisi 4 Desember 2009. Cengkeh Afo ini merupakan pohon cengkeh tertua di dunia, terdapat di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat Kota Ternate.
Pohon cengkeh Afo sudah berumur 416 tahun, memiliki tinggi 36,60 meter, garis tengah 1,98 meter, dan lingkar pohonnya mencapai 4,26 meter. Dan, yang paling mengagumkan, pohon ini masih menghasilkan sekitar 400 kg cengkeh setiap tahunnya.
Tetap berbuah meskipun sudah tua adalah kerinduan setiap orang. Tidak ingin “habis”. Terus berguna. Tidak menjadi sang mantan.
Raja Daud pun memiliki kerinduan yang sama, ia berseru kepada Tuhan, “Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis.”
Jika kita berbuah, tentu saja kita harus memberikan faedah, tidak “merimbunkan” diri sendiri.
Tuhan pun telah menjamin kita: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”
Jadi, jika kita benar-benar rindu untuk tetap berbuah, teruslah berpaut kepada Tuhan, menapaki jalan yang Tuhan arahkan, dan menjadi berkat bagi banyak orang. —Agus Santosa
Ada orang yang jam kehidupannya “berhenti” pada waktu tertentu dan tetap tinggal selamanya dalam waktu tersebut. ~Sante Boeve
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 13/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Di Tepi Air
==========
07 Desember 2012
Terbang Bebas
Seekor anak burung tergeletak di dalam sarang, tidak bisa terbang dan sesekali bercicit lemah. Saya menemukan sarang makhluk kecil ciptaan Tuhan ini di teras rumah saya, jatuh dan sedikit rusak.
Saya membenahi sarang itu agar burung kecil di dalamnya merasa lebih nyaman. Saya sama sekali tidak berniat mengurung burung itu untuk dipelihara.
Lalu saya meletakkan sarang burung itu di bawah pohon di depan rumah, sambil berharap induknya akan segera menemukannya. Tidak lama kemudian, seekor burung melayang-layang, berputar-putar beberapa kali, dan akhirnya hinggap di atas sarang itu.
Ada sukacita yang lembut menyelimuti hati saya saat melihat anak burung itu dibawa terbang oleh induknya. Sarang itu telah kosong, si burung kecil kembali ke habitatnya.
Suatu kebebasan yang indah. Saya belajar dari peristiwa kecil ini, dan bertanya dalam hati, tidakkah kita bisa menjadi dream releaser, membebaskan orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka?
Kita bisa memotivasi anak, kerabat, sahabat, dan teman-teman lainnya menjadi diri mereka sendiri, mendorong mereka memaksimalkan potensi hidupnya. Itu pasti membersitkan kebahagiaan yang indah, mereka bahagia dan kita pun bahagia.
Maxim Gorky mengatakan, “Kebahagiaan selalu tampak kecil ketika kita menggenggamnya di dalam tangan kita, tetapi lepaskanlah, maka kita akan segera sadar betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu.”
Kita bisa membuat hidup ini lebih hidup dengan melepas orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka.
Orangtua bisa menjadi batu pijakan keberhasilan anak-anaknya. Guru bisa menjadi busur bagi murid-muridnya melesat gemilang ke masa depan. Siapa pun bisa menjadi dream releaser jika tidak memasung, memenjarakan, atau mematikan impian orang lain.
Kita sering kali tanpa sadar (pernah) memasung impian orang lain, kita memilih sifat necrofil dengan berusaha mematikan potensi hidup mereka.
Necrofil mencintai yang serba mati, menapasi hidup dengan kematian. Ada banyak cara mematikan hidup seseorang, dan yang terkeji adalah hari demi hari menapasinya dengan kematian.
Suami atau istri memperlakukan pasangannya bak boneka semata. Orangtua membunuh cita-cita mulia anaknya. Guru menistakan gairah belajar siswanya. Manajer memimpin seperti robot cyber tanpa nurani.
Anda bisa membebaskan orang-orang yang Anda kasihi terbang bebas meraih impian mereka. Biarkanlah mereka terbang bebas memaksimalkan potensi hidup mereka, melesat menuju sarang kehidupan mereka sendiri! —Agus Santosa
Setiap orang pernah merangkak, belajar berjalan, lari, dan ingin terbang bebas.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 7/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Saya membenahi sarang itu agar burung kecil di dalamnya merasa lebih nyaman. Saya sama sekali tidak berniat mengurung burung itu untuk dipelihara.
Lalu saya meletakkan sarang burung itu di bawah pohon di depan rumah, sambil berharap induknya akan segera menemukannya. Tidak lama kemudian, seekor burung melayang-layang, berputar-putar beberapa kali, dan akhirnya hinggap di atas sarang itu.
Ada sukacita yang lembut menyelimuti hati saya saat melihat anak burung itu dibawa terbang oleh induknya. Sarang itu telah kosong, si burung kecil kembali ke habitatnya.
Suatu kebebasan yang indah. Saya belajar dari peristiwa kecil ini, dan bertanya dalam hati, tidakkah kita bisa menjadi dream releaser, membebaskan orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka?
Kita bisa memotivasi anak, kerabat, sahabat, dan teman-teman lainnya menjadi diri mereka sendiri, mendorong mereka memaksimalkan potensi hidupnya. Itu pasti membersitkan kebahagiaan yang indah, mereka bahagia dan kita pun bahagia.
Maxim Gorky mengatakan, “Kebahagiaan selalu tampak kecil ketika kita menggenggamnya di dalam tangan kita, tetapi lepaskanlah, maka kita akan segera sadar betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu.”
Kita bisa membuat hidup ini lebih hidup dengan melepas orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka.
Orangtua bisa menjadi batu pijakan keberhasilan anak-anaknya. Guru bisa menjadi busur bagi murid-muridnya melesat gemilang ke masa depan. Siapa pun bisa menjadi dream releaser jika tidak memasung, memenjarakan, atau mematikan impian orang lain.
Kita sering kali tanpa sadar (pernah) memasung impian orang lain, kita memilih sifat necrofil dengan berusaha mematikan potensi hidup mereka.
Necrofil mencintai yang serba mati, menapasi hidup dengan kematian. Ada banyak cara mematikan hidup seseorang, dan yang terkeji adalah hari demi hari menapasinya dengan kematian.
Suami atau istri memperlakukan pasangannya bak boneka semata. Orangtua membunuh cita-cita mulia anaknya. Guru menistakan gairah belajar siswanya. Manajer memimpin seperti robot cyber tanpa nurani.
Anda bisa membebaskan orang-orang yang Anda kasihi terbang bebas meraih impian mereka. Biarkanlah mereka terbang bebas memaksimalkan potensi hidup mereka, melesat menuju sarang kehidupan mereka sendiri! —Agus Santosa
Setiap orang pernah merangkak, belajar berjalan, lari, dan ingin terbang bebas.
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 7/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
04 Desember 2012
Orientasi Uang
Alkisah, seorang pengusaha muda sedang duduk di tepi sebuah lapangan bola. Ia merenungkan kehidupannya yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya dahulu, di mana ia bisa bermain dengan ceria dan menjalani hidup tanpa beban yang berarti – sama seperti anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan itu.
Tak lama kemudian seorang kakek datang menghampirinya dan bertanya, “Apa yang kamu risaukan anak muda?” Ia menjawab, “Aku ingin seperti mereka, bisa menjalani hidup dengan ceria dan tanpa beban. Bagaimana caranya?”
Kakek itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia kemudian pergi dan berkata pada anak-anak yang sedang bermain bola, “Aku punya hadiah seratus ribu rupiah bagi setiap anak yang bisa mencetak gol.”
Mereka pun memulai permainan mereka. Berbeda dengan sebelumnya, di mana mereka bermain dengan riang. Kini mereka saling menjatuhkan, memaki, dan berkata-kata kasar satu sama lain. Beberapa dari mereka menggiring bola sendiri tanpa mau bekerja sama. Perkelahian pun tak dapat dihindarkan.
Kakek itu kembali menemui si pengusaha muda dan berkata, “Hanya karena uang seratus ribu rupiah permainan mendadak berubah, dari fokus pada kesenangan, menjadi permainan yang brutal. Hanya karena seratus ribu rupiah, kebersamaan mereka turun dan memaki sahabatnya.”
“Mereka tidak lagi menikmati permainan karena mereka memfokuskan diri pada uang. Hidupmu kini juga seperti itu. Kamu gelisah, cemas dan kalut karena kamu memfokuskan diri pada uang dan materi, sehingga kamu lupa menikmati setiap perjalanan hidupmu.”
Uang dan materi adalah hal yang penting dalam hidup kita, namun jangan biarkan itu menjadi fokus dalam berkarya. Jika kita memfokuskan hasil kerja pada uang dan materi, kehidupan ini tidak akan tenteram.
Itu hanya akan membawa kita pada ketamakan dan akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Jika suatu saat apa yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan, maka kita akan mudah stres, marah, dan putus asa.
Karena itu, mari lakukan tugas dan tanggung jawab sehari-hari dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab. Sehingga, tidak hanya mendapatkan hasil berupa materi saja, melainkan kedamaian dan kepuasan hidup yang bisa dinikmati sepanjang hidup ini. —Pdt. Elisabeth Parinsi
Seorang yang bijak harus memiliki uang di kepalanya, bukan dalam hatinya. ~Jonathan Swift
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 4/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
Tak lama kemudian seorang kakek datang menghampirinya dan bertanya, “Apa yang kamu risaukan anak muda?” Ia menjawab, “Aku ingin seperti mereka, bisa menjalani hidup dengan ceria dan tanpa beban. Bagaimana caranya?”
Kakek itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia kemudian pergi dan berkata pada anak-anak yang sedang bermain bola, “Aku punya hadiah seratus ribu rupiah bagi setiap anak yang bisa mencetak gol.”
Mereka pun memulai permainan mereka. Berbeda dengan sebelumnya, di mana mereka bermain dengan riang. Kini mereka saling menjatuhkan, memaki, dan berkata-kata kasar satu sama lain. Beberapa dari mereka menggiring bola sendiri tanpa mau bekerja sama. Perkelahian pun tak dapat dihindarkan.
Kakek itu kembali menemui si pengusaha muda dan berkata, “Hanya karena uang seratus ribu rupiah permainan mendadak berubah, dari fokus pada kesenangan, menjadi permainan yang brutal. Hanya karena seratus ribu rupiah, kebersamaan mereka turun dan memaki sahabatnya.”
“Mereka tidak lagi menikmati permainan karena mereka memfokuskan diri pada uang. Hidupmu kini juga seperti itu. Kamu gelisah, cemas dan kalut karena kamu memfokuskan diri pada uang dan materi, sehingga kamu lupa menikmati setiap perjalanan hidupmu.”
Uang dan materi adalah hal yang penting dalam hidup kita, namun jangan biarkan itu menjadi fokus dalam berkarya. Jika kita memfokuskan hasil kerja pada uang dan materi, kehidupan ini tidak akan tenteram.
Itu hanya akan membawa kita pada ketamakan dan akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Jika suatu saat apa yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan, maka kita akan mudah stres, marah, dan putus asa.
Karena itu, mari lakukan tugas dan tanggung jawab sehari-hari dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab. Sehingga, tidak hanya mendapatkan hasil berupa materi saja, melainkan kedamaian dan kepuasan hidup yang bisa dinikmati sepanjang hidup ini. —Pdt. Elisabeth Parinsi
Seorang yang bijak harus memiliki uang di kepalanya, bukan dalam hatinya. ~Jonathan Swift
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 4/12/2012 (diedit seperlunya)
==========
03 Desember 2012
Kemampuan yang Berbeda
Apa yang Anda pikirkan ketika melihat orang cacat? Kasihan? Merasa ia tak bisa apa-apa? Carilah informasi tentang Natalia Partyka, Oscar Pistorius, Ni Nengah Widianingsih, dan Agus Ngaimin, atlet-atlet cacat dengan prestasi kelas dunia.
Nick Vujicic dan Judy Siegle, jutaan orang diinspirasi oleh mereka. Bacalah kisah nyata tentang Joni Eareckson Tada, yang memberdayakan jutaan orang melalui pelayanan Joni and Friends.
Tepatlah jika istilah disabled person (orang yang tak punya kemampuan) diganti dengan istilah differently-abled person (orang dengan kemampuan yang berbeda) atau disingkat diffable.
Entah itu cacat bawaan atau akibat kecelakaan, sulit memahami maksud Tuhan mengizinkannya terjadi. Seperti (Nabi) Ayub, mereka tentu bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan hal buruk menimpa.
Walaupun tak paham, Ayub mengakui bahwa Tuhan berhak untuk bertindak menurut pertimbangan-Nya yang mahabijak. Adakalanya itu berarti memberikan kemenangan, adakalanya itu berarti mengizinkan kegagalan. Namun, Dia layak dihormati karena Dia adalah Tuhan, bukan karena situasi yang dialami manusia.
Belajar dari Ayub, Joni bertekad bahwa sesulit apa pun hari-harinya sebagai penyandang cacat, ia akan selalu mengasihi Tuhan dan membuat Tuhan dihormati tiap orang yang berinteraksi dengannya.
Di Hari Difabel Internasional ini, mari mendoakan para penyandang cacat agar memiliki perspektif dan sikap serupa.
Jika kita mengenal beberapa di antara mereka, pikirkanlah tindakan praktis apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi saluran kasih Tuhan bagi mereka. —ELS
Situasi sulit diizinkan Tuhan terjadi untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
* * *
Sumber: e-RH, 3/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Karunia yang Berbeda
==========
Nick Vujicic dan Judy Siegle, jutaan orang diinspirasi oleh mereka. Bacalah kisah nyata tentang Joni Eareckson Tada, yang memberdayakan jutaan orang melalui pelayanan Joni and Friends.
(Nick Vujicic – depan)
Tepatlah jika istilah disabled person (orang yang tak punya kemampuan) diganti dengan istilah differently-abled person (orang dengan kemampuan yang berbeda) atau disingkat diffable.
Entah itu cacat bawaan atau akibat kecelakaan, sulit memahami maksud Tuhan mengizinkannya terjadi. Seperti (Nabi) Ayub, mereka tentu bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan hal buruk menimpa.
Walaupun tak paham, Ayub mengakui bahwa Tuhan berhak untuk bertindak menurut pertimbangan-Nya yang mahabijak. Adakalanya itu berarti memberikan kemenangan, adakalanya itu berarti mengizinkan kegagalan. Namun, Dia layak dihormati karena Dia adalah Tuhan, bukan karena situasi yang dialami manusia.
Belajar dari Ayub, Joni bertekad bahwa sesulit apa pun hari-harinya sebagai penyandang cacat, ia akan selalu mengasihi Tuhan dan membuat Tuhan dihormati tiap orang yang berinteraksi dengannya.
Di Hari Difabel Internasional ini, mari mendoakan para penyandang cacat agar memiliki perspektif dan sikap serupa.
Jika kita mengenal beberapa di antara mereka, pikirkanlah tindakan praktis apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi saluran kasih Tuhan bagi mereka. —ELS
Situasi sulit diizinkan Tuhan terjadi untuk menyatakan kemuliaan-Nya.
* * *
Sumber: e-RH, 3/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Karunia yang Berbeda
==========
30 November 2012
Menangkap Monyet
Petani Afrika mempunyai kiat ampuh untuk menangkap monyet. Mereka menyediakan semacam stoples yang mulutnya cukup besar bagi tangan monyet untuk masuk ke dalamnya.
Stoples-stoples itu diisi dengan jagung dan kacang-kacangan, makanan kegemaran monyet, dan diletakkan di pinggir ladang. Para petani lalu bersembunyi.
Monyet-monyet segera turun dari dahan pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah merasa aman, mulailah monyet-monyet itu memasukkan tangannya ke dalam stoples yang berisi makanan itu. Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para petani. Mereka menyerbu dan menangkap monyet.
Monyet-monyet sesudah memasukkan tangannya dan menggenggam makanan tidak mau melepaskan kepalannya lagi sekalipun ada bahaya.
Karena mulut stoples tidak cukup besar bagi tangan dalam keadaan terkepal, maka tangan monyet yang terkepal tidak dapat ditarik ke luar, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri dengan bebas dan cepat. Akibatnya mereka ditangkap karena kebodohan dan keserakahan mereka.
Banyak di antara kita seperti monyet-monyet itu, memiliki kelekatan pada sesuatu atau seseorang. Anthony deMelo mengartikan kelekatan sebagai ketergantungan emosional yang disebabkan oleh keyakinan bahwa tanpa sesuatu atau seseorang Anda tidak bisa bahagia.
Lebih lanjut menurutnya kelekatan hanya mendatangkan kesenangan sesaat yang segera diikuti kelelahan karena selalu cemas akan kehilangan “objek” kelekatan itu. Cara menghilangkan kelekatan itu adalah dengan melepaskannya.
Anda melekat pada apa atau siapa? Kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kekasih, keluarga? Apakah karena kelekatan pada hal-hal itu Anda tidak lagi dapat menyenangkan hati Tuhan?
Kecuali itu, kita tahu bahwa tangan yang terkepal tidak bisa menerima karena ia tertutup, tak ada sesuatu pun yang bisa masuk. Tangan seperti itu juga tidak bisa memberi, pun tidak bisa kita jabat.
Sebaliknya tangan terbuka banyak manfaatnya. Bukankah penabur benih harus membuka tangannya agar bisa menyemaikan benih lalu pada gilirannya mendapat panen?
Terkait dengan keterbukaan, kita juga harus membuka pikiran jika ingin memperoleh pengetahuan, atau menerima kritik supaya bisa bertumbuh. Atau membuka hati jika menginginkan cinta. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 30/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tangan Mengepal
==========
Stoples-stoples itu diisi dengan jagung dan kacang-kacangan, makanan kegemaran monyet, dan diletakkan di pinggir ladang. Para petani lalu bersembunyi.
Monyet-monyet segera turun dari dahan pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah merasa aman, mulailah monyet-monyet itu memasukkan tangannya ke dalam stoples yang berisi makanan itu. Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para petani. Mereka menyerbu dan menangkap monyet.
Monyet-monyet sesudah memasukkan tangannya dan menggenggam makanan tidak mau melepaskan kepalannya lagi sekalipun ada bahaya.
Karena mulut stoples tidak cukup besar bagi tangan dalam keadaan terkepal, maka tangan monyet yang terkepal tidak dapat ditarik ke luar, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri dengan bebas dan cepat. Akibatnya mereka ditangkap karena kebodohan dan keserakahan mereka.
Banyak di antara kita seperti monyet-monyet itu, memiliki kelekatan pada sesuatu atau seseorang. Anthony deMelo mengartikan kelekatan sebagai ketergantungan emosional yang disebabkan oleh keyakinan bahwa tanpa sesuatu atau seseorang Anda tidak bisa bahagia.
Lebih lanjut menurutnya kelekatan hanya mendatangkan kesenangan sesaat yang segera diikuti kelelahan karena selalu cemas akan kehilangan “objek” kelekatan itu. Cara menghilangkan kelekatan itu adalah dengan melepaskannya.
Anda melekat pada apa atau siapa? Kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kekasih, keluarga? Apakah karena kelekatan pada hal-hal itu Anda tidak lagi dapat menyenangkan hati Tuhan?
Kecuali itu, kita tahu bahwa tangan yang terkepal tidak bisa menerima karena ia tertutup, tak ada sesuatu pun yang bisa masuk. Tangan seperti itu juga tidak bisa memberi, pun tidak bisa kita jabat.
Sebaliknya tangan terbuka banyak manfaatnya. Bukankah penabur benih harus membuka tangannya agar bisa menyemaikan benih lalu pada gilirannya mendapat panen?
Terkait dengan keterbukaan, kita juga harus membuka pikiran jika ingin memperoleh pengetahuan, atau menerima kritik supaya bisa bertumbuh. Atau membuka hati jika menginginkan cinta. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.org, 30/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Tangan Mengepal
==========
22 November 2012
Budaya Meniru
Sekelompok anak muda sangat antusias membicarakan teknologi handphone yang maju demikian pesat. Jika salah satu di antara mereka punya handphone terbaru dengan fitur yang lebih canggih, yang lain akan tertarik dan berkeinginan membelinya juga.
Mental menginginkan dan meniru kepemilikan dan perilaku orang lain memang tertanam dalam diri manusia, sejak dulu.
Tuhan melihat kecenderungan manusia dalam meniru hal-hal yang ada dan terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan berbagai peraturan untuk ditaati. Di antaranya, peraturan agar kita tidak meniru perbuatan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
Meniru bisa merupakan sesuatu yang baik, tetapi apa yang ditiru, itu yang mesti diwaspadai. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita diminta untuk meniru teladan Nabi Besar kita masing-masing.
Firman Tuhan harus selalu dijadikan patokan guna mengevaluasi apakah perbuatan, kebiasaan, gaya hidup, adat istiadat, dan berbagai hal lain di sekitar kita layak ditiru atau tidak.
Pikirkanlah beberapa praktik hidup yang kita adopsi selama ini. Adakah yang harus kita ubah karena tidak sesuai dengan firman Tuhan? —YKP
Hati-hati dengan apa yang anda tiru. Ujilah segala hal dengan firman Tuhan lebih dahulu.
* * *
Sumber: e-RH, 22/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
Mental menginginkan dan meniru kepemilikan dan perilaku orang lain memang tertanam dalam diri manusia, sejak dulu.
Tuhan melihat kecenderungan manusia dalam meniru hal-hal yang ada dan terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan berbagai peraturan untuk ditaati. Di antaranya, peraturan agar kita tidak meniru perbuatan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.
Meniru bisa merupakan sesuatu yang baik, tetapi apa yang ditiru, itu yang mesti diwaspadai. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita diminta untuk meniru teladan Nabi Besar kita masing-masing.
Firman Tuhan harus selalu dijadikan patokan guna mengevaluasi apakah perbuatan, kebiasaan, gaya hidup, adat istiadat, dan berbagai hal lain di sekitar kita layak ditiru atau tidak.
Pikirkanlah beberapa praktik hidup yang kita adopsi selama ini. Adakah yang harus kita ubah karena tidak sesuai dengan firman Tuhan? —YKP
Hati-hati dengan apa yang anda tiru. Ujilah segala hal dengan firman Tuhan lebih dahulu.
* * *
Sumber: e-RH, 22/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
17 November 2012
Sukses Tanpa Iri Hati
Kita sangat mengenal istilah “gaya katak” dalam dunia kerja. “Gaya katak” disematkan pada orang-orang yang suka menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi dan mimpinya. Ia akan menyikut kanan kiri, menginjak bawahannya, lalu mendongakkan kepala untuk mendapatkan pujian atau jabatan.
Kita sangat marah dan jengkel kepada orang-orang yang melakukan “gaya katak”. Namun, bagaimana dengan perilaku dan kinerja kita sendiri?
Perilaku kita mungkin tidak separah orang yang mempraktikkan “gaya katak”, tetapi mungkin kita mengusung semangat “iri hati” dalam mengejar karier. “Iri hati” menjadi dasar kita untuk meraih kesuksesan dalam dunia kerja.
Kita bersaing karena ingin jabatan yang lebih tinggi dari orang lain. Kita berprestasi karena ingin kursi yang lebih empuk dari orang lain. Kita bekerja dengan keras supaya jabatan tetap aman dan tidak kalah oleh orang lain. Kesuksesan yang kita genggam adalah hasil dari rasa “iri hati” dan ambisi tidak mau kalah dari yang lain.
Sebagaimana ditulis oleh Salomo (Nabi Sulaiman): “Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin.”
Tanpa sadar kita sering terjebak dalam nafsu egoisme yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Kita dipanggil untuk tidak larut dalam persaingan dunia kerja yang penuh intrik dan keegoisan, melainkan diajarkan untuk tetap tenang bersama Tuhan.
Kita tidak ikut-ikutan orang yang mengejar karier dengan “gaya katak”, tidak iri hati kepada mereka, dan tidak jatuh dalam semangat “iri hati” yang egois.
Kita melakukan segala tugas pekerjaan dengan baik, bukan sekadar mengejar jabatan dan niat untuk tidak kalah dari orang lain, melainkan menunaikan tugas panggilan dari Tuhan.
Kita menghasilkan kinerja yang bagus, bukan semata-mata untuk diri sendiri dan perusahaan, melainkan untuk kemuliaan Tuhan. Kita meraih kesuksesan bukan karena iri hati, namun berdasarkan keyakinan dan keberserahan kepada Tuhan. —N. L. Utomo
Kesuksesan lahir bukan dari rasa iri hati, melainkan karya dan upaya yang terbaik untuk menyenangkan hati Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 17/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
Kita sangat marah dan jengkel kepada orang-orang yang melakukan “gaya katak”. Namun, bagaimana dengan perilaku dan kinerja kita sendiri?
Perilaku kita mungkin tidak separah orang yang mempraktikkan “gaya katak”, tetapi mungkin kita mengusung semangat “iri hati” dalam mengejar karier. “Iri hati” menjadi dasar kita untuk meraih kesuksesan dalam dunia kerja.
Kita bersaing karena ingin jabatan yang lebih tinggi dari orang lain. Kita berprestasi karena ingin kursi yang lebih empuk dari orang lain. Kita bekerja dengan keras supaya jabatan tetap aman dan tidak kalah oleh orang lain. Kesuksesan yang kita genggam adalah hasil dari rasa “iri hati” dan ambisi tidak mau kalah dari yang lain.
Sebagaimana ditulis oleh Salomo (Nabi Sulaiman): “Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin.”
Tanpa sadar kita sering terjebak dalam nafsu egoisme yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Kita dipanggil untuk tidak larut dalam persaingan dunia kerja yang penuh intrik dan keegoisan, melainkan diajarkan untuk tetap tenang bersama Tuhan.
Kita tidak ikut-ikutan orang yang mengejar karier dengan “gaya katak”, tidak iri hati kepada mereka, dan tidak jatuh dalam semangat “iri hati” yang egois.
Kita melakukan segala tugas pekerjaan dengan baik, bukan sekadar mengejar jabatan dan niat untuk tidak kalah dari orang lain, melainkan menunaikan tugas panggilan dari Tuhan.
Kita menghasilkan kinerja yang bagus, bukan semata-mata untuk diri sendiri dan perusahaan, melainkan untuk kemuliaan Tuhan. Kita meraih kesuksesan bukan karena iri hati, namun berdasarkan keyakinan dan keberserahan kepada Tuhan. —N. L. Utomo
Kesuksesan lahir bukan dari rasa iri hati, melainkan karya dan upaya yang terbaik untuk menyenangkan hati Tuhan.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 17/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
09 November 2012
Ukuran Sukses
Apa ukuran kesuksesan yang diberikan kepada seseorang di zaman ini? Seseorang dikatakan sukses, kalau memiliki tiga “ta” yaitu: harta, takhta, dan wanita.
Kesuksesan diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, takhta atau kekuasaan yang besar, dan mudahnya mendapatkan wanita yang diingini. Maka, tidak heran bahwa banyak orang zaman ini berlomba-lomba untuk meraih tiga “ta” dalam hidupnya.
Orang-orang berjuang tanpa lelah seolah tidak mempunyai rasa cukup, mereka berusaha meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Mereka melupakan rasa kebenaran, keadilan, dan kepedulian kepada orang lain.
Kasus-kasus korupsi selalu menghiasi halaman depan koran dan layar kaca, isu-isu sara menjadi komoditas untuk merebut kekuasaan, berita kandasnya rumah tangga karena perselingkuhan juga menjadi topik hangat. Mereka merasa bahwa tiga “ta” akan memberikan jaminan kehidupan yang sungguh nikmat dan menyenangkan.
Raja Salomo (Nabi Sulaiman) digambarkan sebagai orang yang telah sukses, karena dia telah menguasai tiga “ta”. Dia memiliki harta yang berlimpah-limpah, mempunyai pengaruh yang luar biasa besar, dan banyak wanita.
Dia memuaskan diri dengan segala kesenangan duniawi sebagai hasil jerih payahnya. Namun, apa yang dikatakannya? “Lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).
Dia tidak asal bicara tentang kesia-siaan, melainkan telah mengalami dan menyelidikinya. Lalu, apa artinya buat kita? Apakah kita tidak usah berjerih lelah dan hidup santai-santai saja? Tidak! Kita tidak diajar untuk hidup santai dan bermalas-malasan, tetapi dituntun untuk melihat kehidupan dengan lebih bijaksana.
Kita dipanggil untuk tetap bekerja, berkarya, dan berupaya dengan segala jerih lelah. Namun, bukan hanya untuk harta atau kekayaan di bawah matahari, melainkan yang utama mengumpulkan kekayaan di atas matahari.
Segala jerih lelah pekerjaan kita, bukan untuk memuaskan hasrat duniawi, tetapi sarana bersaksi tentang kebaikan Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan. —N. L. Utomo
Ukuran sukses kita, bukan banyaknya kekayaan di bawah matahari melainkan banyaknya kekayaan di atas matahari.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 9/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Kesia-siaan di bawah Matahari
==========
Kesuksesan diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, takhta atau kekuasaan yang besar, dan mudahnya mendapatkan wanita yang diingini. Maka, tidak heran bahwa banyak orang zaman ini berlomba-lomba untuk meraih tiga “ta” dalam hidupnya.
Orang-orang berjuang tanpa lelah seolah tidak mempunyai rasa cukup, mereka berusaha meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Mereka melupakan rasa kebenaran, keadilan, dan kepedulian kepada orang lain.
Kasus-kasus korupsi selalu menghiasi halaman depan koran dan layar kaca, isu-isu sara menjadi komoditas untuk merebut kekuasaan, berita kandasnya rumah tangga karena perselingkuhan juga menjadi topik hangat. Mereka merasa bahwa tiga “ta” akan memberikan jaminan kehidupan yang sungguh nikmat dan menyenangkan.
Raja Salomo (Nabi Sulaiman) digambarkan sebagai orang yang telah sukses, karena dia telah menguasai tiga “ta”. Dia memiliki harta yang berlimpah-limpah, mempunyai pengaruh yang luar biasa besar, dan banyak wanita.
Dia memuaskan diri dengan segala kesenangan duniawi sebagai hasil jerih payahnya. Namun, apa yang dikatakannya? “Lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).
Dia tidak asal bicara tentang kesia-siaan, melainkan telah mengalami dan menyelidikinya. Lalu, apa artinya buat kita? Apakah kita tidak usah berjerih lelah dan hidup santai-santai saja? Tidak! Kita tidak diajar untuk hidup santai dan bermalas-malasan, tetapi dituntun untuk melihat kehidupan dengan lebih bijaksana.
Kita dipanggil untuk tetap bekerja, berkarya, dan berupaya dengan segala jerih lelah. Namun, bukan hanya untuk harta atau kekayaan di bawah matahari, melainkan yang utama mengumpulkan kekayaan di atas matahari.
Segala jerih lelah pekerjaan kita, bukan untuk memuaskan hasrat duniawi, tetapi sarana bersaksi tentang kebaikan Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan. —N. L. Utomo
Ukuran sukses kita, bukan banyaknya kekayaan di bawah matahari melainkan banyaknya kekayaan di atas matahari.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 9/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Kesia-siaan di bawah Matahari
==========
08 November 2012
Komitmen Sejati
Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, berulang kali saya menyaksikan banyak orang, termasuk kenalan-kenalan saya yang baru beberapa bulan bekerja, memutuskan untuk berhenti dengan berbagai macam alasan.
Alasan paling klasik yang sering muncul adalah karena mereka menginginkan gaji yang lebih tinggi. Padahal di awal-awal bekerja, mereka begitu antusias dan menggebu-gebu dalam bekerja, tetapi lambat laun semangat itu luntur dan kerajinannya pun mulai kendor.
Apakah mengharapkan gaji yang lebih tinggi itu salah? Tentu saja tidak! Tetapi apakah untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi itu dapat dicapai dengan cara instan, dengan cara pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya? Tentu tidak juga, bukan?
Justru jika kita seperti “kutu loncat”, yang sebulan bekerja di satu perusahaan, lantas sebulan pindah ke peusahaan lain, dan selanjutnya pindah lagi ke perusahaan lain, bukankah kita sebenarnya layak disebut sebagai orang-orang yang tidak berkomitmen dengan pekerjaan yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita?
Tuhan sudah memberi kita anugerah pekerjaan yang begitu luar biasa, di tengah-tengah banyaknya saudara kita yang lain, yang sampai hari ini masih antre melamar pekerjaan dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain.
Untuk itulah, sebagai wujud syukur kita, tentunya kita mau berkomitmen untuk menekuni apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.
Jangan sampai kerajinan kita kendor. Sebaliknya, teruslah bekerja, berkarya, dan melayani dengan semangat yang menyala-nyala. Itu baru namanya kita memiliki komitmen yang sejati. —Pdt. David Nugrahaning Widi
Semakin kita setia dalam kerja dan karya kita, semakin kita dipercaya oleh-Nya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
Alasan paling klasik yang sering muncul adalah karena mereka menginginkan gaji yang lebih tinggi. Padahal di awal-awal bekerja, mereka begitu antusias dan menggebu-gebu dalam bekerja, tetapi lambat laun semangat itu luntur dan kerajinannya pun mulai kendor.
Apakah mengharapkan gaji yang lebih tinggi itu salah? Tentu saja tidak! Tetapi apakah untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi itu dapat dicapai dengan cara instan, dengan cara pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya? Tentu tidak juga, bukan?
Justru jika kita seperti “kutu loncat”, yang sebulan bekerja di satu perusahaan, lantas sebulan pindah ke peusahaan lain, dan selanjutnya pindah lagi ke perusahaan lain, bukankah kita sebenarnya layak disebut sebagai orang-orang yang tidak berkomitmen dengan pekerjaan yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita?
Tuhan sudah memberi kita anugerah pekerjaan yang begitu luar biasa, di tengah-tengah banyaknya saudara kita yang lain, yang sampai hari ini masih antre melamar pekerjaan dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain.
Untuk itulah, sebagai wujud syukur kita, tentunya kita mau berkomitmen untuk menekuni apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.
Jangan sampai kerajinan kita kendor. Sebaliknya, teruslah bekerja, berkarya, dan melayani dengan semangat yang menyala-nyala. Itu baru namanya kita memiliki komitmen yang sejati. —Pdt. David Nugrahaning Widi
Semakin kita setia dalam kerja dan karya kita, semakin kita dipercaya oleh-Nya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 8/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
05 November 2012
Percayailah Orang Muda!
Dua orang siswa yang berasal dari sekolah yang dahulu terkenal sebagai langganan tawuran ditanya pendapatnya. Salah seorang menjawab dengan mantap, bahwa sekarang adalah zamannya berprestasi.
Duel Daud melawan Goliat yang terkenal memberi kita dua prinsip penting tentang bagaimana bentuk dukungan dan bantuan yang perlu diberikan kepada orang-orang muda agar mereka dapat berprestasi gemilang.
Pertama, izinkanlah mereka menjadi dirinya sendiri. Raja Saul mencoba “mencetak” Daud menjadi orang yang persis seperti dirinya. Ia mengenakan baju dan semua perlengkapan perangnya kepada Daud dan berpikir bahwa dengan itu Daud akan menang.
Apa yang terjadi? Daud tidak dapat berjalan, tidak bisa maju bertempur. Kalau saja Saul tetap memaksa Daud untuk memakai perlengkapan itu, maka dalam sekejap Daud pasti sudah mati.
Orang-orang muda membutuhkan kerelaan orang-orang yang lebih tua untuk mengizinkan mereka menjadi dirinya sendiri dan tidak memaksakan suatu kondisi tertentu pada dirinya.
Orang muda bukan orang tua. Mereka adalah dirinya sendiri. Memaksa mereka menjadi sesuatu yang bukan dirinya sendiri akan membuat mereka lumpuh dan kalah.
Kedua, izinkanlah mereka menghadapi tantangan hidupnya menurut cara yang cocok dengan dirinya. Daripada memakai baju dan perlengkapan perang yang “belum pernah” ia pakai sebelumnya, Daud lebih suka menghadapi Goliat dengan cara yang sudah ia kenal betul: dengan batu dan ketapel!
Walau terlihat tidak seimbang dengan lawan yang memakai perlengkapan tempur lengkap namun karena Daud sangat ahli mempergunakannya, maka dengan cara itu pula ia maju berduel. Dan Daud menang!
Orang-orang muda membutuhkan keberanian dari orang-orang tua untuk percaya bahwa orang-orang muda punya cara sendiri, dan ampuh, untuk mengatasi tantangan di zaman mereka hidup.
Mereka bukan tidak punya cara. Mereka punya, bahkan bisa begitu banyak. Yang dibutuhkan adalah menuntun mereka mengenalinya serta meyakinkan diri kita sendiri bahwa dengan cara-cara yang mereka miliki, mereka pasti mampu melewati tantangan hidupnya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 5/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
Duel Daud melawan Goliat yang terkenal memberi kita dua prinsip penting tentang bagaimana bentuk dukungan dan bantuan yang perlu diberikan kepada orang-orang muda agar mereka dapat berprestasi gemilang.
(Daud melawan Goliat)
Pertama, izinkanlah mereka menjadi dirinya sendiri. Raja Saul mencoba “mencetak” Daud menjadi orang yang persis seperti dirinya. Ia mengenakan baju dan semua perlengkapan perangnya kepada Daud dan berpikir bahwa dengan itu Daud akan menang.
Apa yang terjadi? Daud tidak dapat berjalan, tidak bisa maju bertempur. Kalau saja Saul tetap memaksa Daud untuk memakai perlengkapan itu, maka dalam sekejap Daud pasti sudah mati.
Orang-orang muda membutuhkan kerelaan orang-orang yang lebih tua untuk mengizinkan mereka menjadi dirinya sendiri dan tidak memaksakan suatu kondisi tertentu pada dirinya.
Orang muda bukan orang tua. Mereka adalah dirinya sendiri. Memaksa mereka menjadi sesuatu yang bukan dirinya sendiri akan membuat mereka lumpuh dan kalah.
Kedua, izinkanlah mereka menghadapi tantangan hidupnya menurut cara yang cocok dengan dirinya. Daripada memakai baju dan perlengkapan perang yang “belum pernah” ia pakai sebelumnya, Daud lebih suka menghadapi Goliat dengan cara yang sudah ia kenal betul: dengan batu dan ketapel!
Walau terlihat tidak seimbang dengan lawan yang memakai perlengkapan tempur lengkap namun karena Daud sangat ahli mempergunakannya, maka dengan cara itu pula ia maju berduel. Dan Daud menang!
Orang-orang muda membutuhkan keberanian dari orang-orang tua untuk percaya bahwa orang-orang muda punya cara sendiri, dan ampuh, untuk mengatasi tantangan di zaman mereka hidup.
Mereka bukan tidak punya cara. Mereka punya, bahkan bisa begitu banyak. Yang dibutuhkan adalah menuntun mereka mengenalinya serta meyakinkan diri kita sendiri bahwa dengan cara-cara yang mereka miliki, mereka pasti mampu melewati tantangan hidupnya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 5/11/2012 (diedit seperlunya)
==========
01 November 2012
Masalah
Masalah itu seperti debu yang beterbangan di udara. Ada miliaran butir debu yang lembut mengambang di udara. Terlihat jelas saat kita menerawang, atau ketika terang matahari menyinari gugusan debu.
Sungguh menakjubkan, butiran-butiran debu itu tidak memedihkan mata, juga tidak menyesakkan napas. Tuhan seakan telah memasang imunitas yang membuat mata dan napas kita prima, tidak rentan oleh debu.
Tentu mustahil kita hidup terbebas dari debu-debu lembut di sekitar kita. Dan seperti debu di udara, juga mustahil kita hidup bersih dari masalah. Selama hidup ini masih melaju, kita tidak mungkin steril dari masalah. Jangan lari atau sembunyi, kita harus berani menghadapi setiap masalah yang menghadang kita.
Janganlah naif, takut, atau masa bodoh, tetapi juga jangan terlalu hanyut dan panik saat menghadapi masalah. Seberat apa pun tekanan dan setegang apa pun prosesnya, setiap masalah harus dihadapi dengan berani, jangan pengecut!
William Hasley mengatakan, “Setiap masalah menjadi lebih kecil apabila kita tidak menghindarinya melainkan menghadapinya. Sentuhlah tanaman widuri, maka tanaman itu akan menusuk kita, remaslah dengan berani, maka durinya pun remuk.”
Ketika kita berani menghadapi masalah, itu sekaligus cara terbaik untuk memaksimalkan potensi diri kita. Ada pernyataan James Bilkey yang bijak, katanya: “Kita tidak akan pernah menjadi orang yang maksimal jika tekanan, ketegangan, dan disiplin dicabut dari hidup kita.”
Tekanan dan ketegangan dari setiap masalah akan menguji iman, dan iman yang teruji akan melahirkan ketekunan. Akhirnya, ketekunan akan memaksimalkan potensi diri kita, menjadi sempurna.
Tentang ketekunan, kita bisa belajar dari tradisi rumah tangga di Jepang. Konon, sebelum menggunakan mangkok keramik tradisional yang masih baru, para ibu di Jepang memiliki kebiasaan unik. Mereka terlebih dahulu akan mengauskan bagian bawah mangkok yang masih kasar, tujuannya agar tidak menggores permukaan meja.
Caranya, dengan menggosok-gosokkan “pantat” dua buah mangkok yang masih baru secara hati-hati dan tekun, sampai bagian itu halus. Inilah proses pengausan yang dalam tradisi Jepang disebut suri-awase, melembutkan yang kasar dengan tekun dan hati-hati.
Ada fase suri-awase yang harus kita jalani saat menghadapi masalah, yaitu tekun dan hati-hati. Perlahan dan pasti kita harus berani mengauskan setiap masalah dalam hidup ini.
Marilah mengenali dan menelisik masalah kita dengan tekun, hati-hati, dan dalam pimpinan Tuhan. Sudahkah tepat pandangan dan sikap hati Anda dalam mengambil keputusan? Semoga Anda mencapai solusi terbaik. —Agus Santosa
Di dalam setiap masalah ada benih solusinya sendiri. Jika Anda tidak mempunyai masalah, Anda tidak mempunyai benih apa pun. —Norman Vincent Peale
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 1/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Suri-Awase
==========
Sungguh menakjubkan, butiran-butiran debu itu tidak memedihkan mata, juga tidak menyesakkan napas. Tuhan seakan telah memasang imunitas yang membuat mata dan napas kita prima, tidak rentan oleh debu.
Tentu mustahil kita hidup terbebas dari debu-debu lembut di sekitar kita. Dan seperti debu di udara, juga mustahil kita hidup bersih dari masalah. Selama hidup ini masih melaju, kita tidak mungkin steril dari masalah. Jangan lari atau sembunyi, kita harus berani menghadapi setiap masalah yang menghadang kita.
Janganlah naif, takut, atau masa bodoh, tetapi juga jangan terlalu hanyut dan panik saat menghadapi masalah. Seberat apa pun tekanan dan setegang apa pun prosesnya, setiap masalah harus dihadapi dengan berani, jangan pengecut!
William Hasley mengatakan, “Setiap masalah menjadi lebih kecil apabila kita tidak menghindarinya melainkan menghadapinya. Sentuhlah tanaman widuri, maka tanaman itu akan menusuk kita, remaslah dengan berani, maka durinya pun remuk.”
Ketika kita berani menghadapi masalah, itu sekaligus cara terbaik untuk memaksimalkan potensi diri kita. Ada pernyataan James Bilkey yang bijak, katanya: “Kita tidak akan pernah menjadi orang yang maksimal jika tekanan, ketegangan, dan disiplin dicabut dari hidup kita.”
Tekanan dan ketegangan dari setiap masalah akan menguji iman, dan iman yang teruji akan melahirkan ketekunan. Akhirnya, ketekunan akan memaksimalkan potensi diri kita, menjadi sempurna.
Tentang ketekunan, kita bisa belajar dari tradisi rumah tangga di Jepang. Konon, sebelum menggunakan mangkok keramik tradisional yang masih baru, para ibu di Jepang memiliki kebiasaan unik. Mereka terlebih dahulu akan mengauskan bagian bawah mangkok yang masih kasar, tujuannya agar tidak menggores permukaan meja.
Caranya, dengan menggosok-gosokkan “pantat” dua buah mangkok yang masih baru secara hati-hati dan tekun, sampai bagian itu halus. Inilah proses pengausan yang dalam tradisi Jepang disebut suri-awase, melembutkan yang kasar dengan tekun dan hati-hati.
Ada fase suri-awase yang harus kita jalani saat menghadapi masalah, yaitu tekun dan hati-hati. Perlahan dan pasti kita harus berani mengauskan setiap masalah dalam hidup ini.
Marilah mengenali dan menelisik masalah kita dengan tekun, hati-hati, dan dalam pimpinan Tuhan. Sudahkah tepat pandangan dan sikap hati Anda dalam mengambil keputusan? Semoga Anda mencapai solusi terbaik. —Agus Santosa
Di dalam setiap masalah ada benih solusinya sendiri. Jika Anda tidak mempunyai masalah, Anda tidak mempunyai benih apa pun. —Norman Vincent Peale
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 1/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Suri-Awase
==========
26 September 2012
Kolonel Sanders
Tentu Anda tahu KFC (Kentucky Fried Chicken). Tetapi, tahukah Anda kisah luar biasa di balik kesuksesan KFC?
Kolonel Harland Sanders lahir pada tanggal 9 September 1890. Dia adalah seorang tentara Angkatan Darat Amerika Serikat. Namun nasibnya cukup mengenaskan. Pada saat pensiun, ia tidak memiliki uang sepeser pun, kecuali uang tunjangan hari tuanya yang semakin menipis.
Akan tetapi, realitas seperti itu tidak membuat Kolonel Sanders berputus asa, berdiam diri, atau meratapi nasibnya. Di usianya yang ke-66, dengan keahliannya dalam masak-memasak, ditambah ia memiliki resep ayam olahan dari ibunya, ia tetap memiliki semangat menyala-nyala untuk menjalani kehidupannya.
Kira-kira apa yang dilakukan oleh Kolonel Sanders? Ia menjual semua propertinya, lalu berkeliling dari kota ke kota, dari restoran ke restoran untuk menawarkan resepnya itu. Namun sayang, lebih dari seribu restoran menolak resep yang ditawarkannya.
Kolonel Sanders pantang menyerah begitu saja. Ia terus berkeliling hingga tiba di restoran ke-1.009 yang mau membeli dan mengembangkan resepnya itu menjadi usaha waralaba dengan nama KFC.
Singkat kisah, KFC berkembang pesat, bahkan kini lebih dari satu miliar ayam goreng dari resep Kolonel Sanders tersebut dinikmati setiap tahunnya. Bukan hanya di Amerika Utara saja, tetapi tersedia di hampir 80 negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap memiliki semangat yang menyala-nyala di usianya yang sudah tidak muda lagi? Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap sabar dan terus bertekun, walaupun mengalami penolakan dari restoran-restoran? Jawabannya adalah karena ia memiliki motivasi yang kuat.
Ya, Kolonel Sanders memiliki motivasi yang kuat untuk dapat terus survive menjalani hidup dan kehidupannya. Tanpa motivasi yang kuat, tentulah Kolonel Sanders tidak akan pernah meraih sukses seperti sekarang ini.
Bagaimana dengan kita? Apakah dalam menjalani hidup dan kehidupan yang penuh perjuangan ini kita juga memiliki motivasi yang kuat untuk tetap dapat survive?
Memang tak dapat kita pungkiri, hidup yang kita jalani tidak selalu mulus, pasti ada juga liku-likunya, bahkan mungkin banyak kerikil atau batu-batu yang tajam seperti yang dialami oleh Kolonel Sanders.
Namun demikian, tidak berarti kita boleh berputus asa dan berdiam diri meratapi nasib. Kita harus memiliki motivasi yang kuat, sehingga kita dapat terus bertekun, sampai kita dapat menghasilkan buah yang matang.
Dengan demikian, maka hidup kita akan menjadi sempurna dan tak kekurangan suatu apa pun. —Pdt. David Nugrahaning Widi
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 26/9/2012 (diedit sedikit)
==========
Kolonel Harland Sanders lahir pada tanggal 9 September 1890. Dia adalah seorang tentara Angkatan Darat Amerika Serikat. Namun nasibnya cukup mengenaskan. Pada saat pensiun, ia tidak memiliki uang sepeser pun, kecuali uang tunjangan hari tuanya yang semakin menipis.
Akan tetapi, realitas seperti itu tidak membuat Kolonel Sanders berputus asa, berdiam diri, atau meratapi nasibnya. Di usianya yang ke-66, dengan keahliannya dalam masak-memasak, ditambah ia memiliki resep ayam olahan dari ibunya, ia tetap memiliki semangat menyala-nyala untuk menjalani kehidupannya.
(Kolonel Sanders)
Kira-kira apa yang dilakukan oleh Kolonel Sanders? Ia menjual semua propertinya, lalu berkeliling dari kota ke kota, dari restoran ke restoran untuk menawarkan resepnya itu. Namun sayang, lebih dari seribu restoran menolak resep yang ditawarkannya.
Kolonel Sanders pantang menyerah begitu saja. Ia terus berkeliling hingga tiba di restoran ke-1.009 yang mau membeli dan mengembangkan resepnya itu menjadi usaha waralaba dengan nama KFC.
Singkat kisah, KFC berkembang pesat, bahkan kini lebih dari satu miliar ayam goreng dari resep Kolonel Sanders tersebut dinikmati setiap tahunnya. Bukan hanya di Amerika Utara saja, tetapi tersedia di hampir 80 negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap memiliki semangat yang menyala-nyala di usianya yang sudah tidak muda lagi? Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap sabar dan terus bertekun, walaupun mengalami penolakan dari restoran-restoran? Jawabannya adalah karena ia memiliki motivasi yang kuat.
Ya, Kolonel Sanders memiliki motivasi yang kuat untuk dapat terus survive menjalani hidup dan kehidupannya. Tanpa motivasi yang kuat, tentulah Kolonel Sanders tidak akan pernah meraih sukses seperti sekarang ini.
Bagaimana dengan kita? Apakah dalam menjalani hidup dan kehidupan yang penuh perjuangan ini kita juga memiliki motivasi yang kuat untuk tetap dapat survive?
Memang tak dapat kita pungkiri, hidup yang kita jalani tidak selalu mulus, pasti ada juga liku-likunya, bahkan mungkin banyak kerikil atau batu-batu yang tajam seperti yang dialami oleh Kolonel Sanders.
Namun demikian, tidak berarti kita boleh berputus asa dan berdiam diri meratapi nasib. Kita harus memiliki motivasi yang kuat, sehingga kita dapat terus bertekun, sampai kita dapat menghasilkan buah yang matang.
Dengan demikian, maka hidup kita akan menjadi sempurna dan tak kekurangan suatu apa pun. —Pdt. David Nugrahaning Widi
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 26/9/2012 (diedit sedikit)
==========
19 September 2012
Kedondong, Durian, atau Anggur?
Membaca judul di atas mungkin Anda akan mengernyitkan kening, bertanya-tanya, “Ini akan membahas jenis buah, manfaat buah, atau hal-hal terkait buah?”
Anda benar pada tebakan terakhir, yaitu hal-hal terkait buah. Sesungguhnya buah-buah ini bisa digunakan untuk menggambarkan tipe orang berdasarkan pengenalan atau penilaian Tuhan dan manusia.
Karakter adalah pengenalan Tuhan atas diri kita. Reputasi adalah penilaian manusia terhadap diri kita (Leonard Ravenhill). Keduanya tidak selalu sejalan.
Ada orang bertipe kedondong, artinya halus di luar, penuh “serat” di dalam. Tipe ini adalah orang yang reputasinya baik, tetapi sebenarnya karakternya jelek.
Orang yang termasuk tipe ini pandai memoles, berdalih, bersilat kata, menutupi isi hati yang jahat. Mereka hanya mencari muka dan pujian dari manusia.
Namun di mata Tuhan tipe ini bagaikan kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran. Di sebelah luar tampak benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
Sebaliknya ada orang yang bertipe durian. Kasar dan penuh duri di luar, tetapi sebetulnya hatinya baik, “legit”, bak buah durian. Tipe ini karakternya baik, tetapi reputasinya tidak baik. Ini bisa terjadi karena orang merusak reputasinya melalui gunjingan atau fitnah.
Orang paling senang diibaratkan seperti buah anggur. Bisa dimakan dengan kulitnya, dengan biji-bijinya. Kita tidak bisa melakukan hal itu terhadap buah kedondong atau durian, bukan?
Orang bertipe buah anggur, halus atau baik di luar, halus atau baik pula di dalam. Ini adalah orang yang karakter dan reputasinya sejalan, sama-sama baik.
Masih ada satu tipe lagi, yaitu orang yang karakter maupun reputasinya sejalan, tetapi sama-sama jelek. Dengan buah apa mereka digambarkan? Terus terang saya tidak tahu. Apakah Anda tahu?
Orang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari hatinya yang baik dan orang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari hatinya yang jahat. Tuhan mengetahui rahasia hati kita. Mari serahkan hati kita untuk diubah menjadi lebih baik oleh-Nya. —Liana Poedjihastuti
Termasuk tipe orang yang manakah aku?
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 19/9/2012 (diedit seperlunya)
==========
Anda benar pada tebakan terakhir, yaitu hal-hal terkait buah. Sesungguhnya buah-buah ini bisa digunakan untuk menggambarkan tipe orang berdasarkan pengenalan atau penilaian Tuhan dan manusia.
Karakter adalah pengenalan Tuhan atas diri kita. Reputasi adalah penilaian manusia terhadap diri kita (Leonard Ravenhill). Keduanya tidak selalu sejalan.
Ada orang bertipe kedondong, artinya halus di luar, penuh “serat” di dalam. Tipe ini adalah orang yang reputasinya baik, tetapi sebenarnya karakternya jelek.
Orang yang termasuk tipe ini pandai memoles, berdalih, bersilat kata, menutupi isi hati yang jahat. Mereka hanya mencari muka dan pujian dari manusia.
Namun di mata Tuhan tipe ini bagaikan kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran. Di sebelah luar tampak benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
Sebaliknya ada orang yang bertipe durian. Kasar dan penuh duri di luar, tetapi sebetulnya hatinya baik, “legit”, bak buah durian. Tipe ini karakternya baik, tetapi reputasinya tidak baik. Ini bisa terjadi karena orang merusak reputasinya melalui gunjingan atau fitnah.
(durian)
Orang paling senang diibaratkan seperti buah anggur. Bisa dimakan dengan kulitnya, dengan biji-bijinya. Kita tidak bisa melakukan hal itu terhadap buah kedondong atau durian, bukan?
Orang bertipe buah anggur, halus atau baik di luar, halus atau baik pula di dalam. Ini adalah orang yang karakter dan reputasinya sejalan, sama-sama baik.
Masih ada satu tipe lagi, yaitu orang yang karakter maupun reputasinya sejalan, tetapi sama-sama jelek. Dengan buah apa mereka digambarkan? Terus terang saya tidak tahu. Apakah Anda tahu?
Orang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari hatinya yang baik dan orang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari hatinya yang jahat. Tuhan mengetahui rahasia hati kita. Mari serahkan hati kita untuk diubah menjadi lebih baik oleh-Nya. —Liana Poedjihastuti
Termasuk tipe orang yang manakah aku?
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 19/9/2012 (diedit seperlunya)
==========
17 September 2012
Manusia ABC
Ada tiga tipe manusia. Tipe A = Antusias. Orang yang selalu semangat menjalani hidupnya. Juga dengan semangat dan bergairah melakukan setiap tugas yang diberikan kepadanya.
Jikalau dia ditugaskan pergi ke daerah terpencil dan sulit, dia akan selalu menunjukkan sikap optimistis dan menjalaninya dengan mantap.
Hasil kerjanya pun excellent. Orang seperti ini akan menginspirasi orang lain yang ada di sekitarnya dengan gairah dan semangat yang ditularkannya.
Tipe B = Biasa. Orang seperti ini bekerja hanya untuk menjalankan tugas yang diberikan ke pundaknya. Ia melakukannya sama persis seperti prosedur yang sudah digariskan.
Tidak ada kreativitas atau aktif mencari sesuatu yang baru, yang dapat menghasilkan terobosan yang diciptakannya. Prestasi kerjanya pun sedang-sedang saja, alias rata-rata seperti kebanyakan orang.
Tipe “biasa” dalam kelompok tidak akan menginspirasi orang, tetapi dapat didorong prestasinya agar maju dan maksimal, kalau dia mau berubah.
Tipe C = Cuek bebek. Tipe orang yang acuh tak acuh. Pokoknya hanya mengerjakan apa yang sanggup dilakukan oleh tangannya. Kalau ada tugas yang diberikan, tetapi tidak terjangkau oleh tangannya, ia tidak akan mengerjakan pekerjaan itu dengan perasaan tidak bersalah. Prestasinya di bawah rata rata.
-----
Ketiga tipe orang ini akan berbeda dalam mengisi dan memaknai hidupnya.
Orang yang antusias akan optimistis menjalani hidup dan hari-hari di depannya dengan keyakinan diri yang mantap. Meskipun menghadapi kesulitan, tetapi ia akan mengubah kesulitan itu menjadi peluang.
Orang yang “biasa” saja akan menjalani hidupnya tidak seserius orang yang pertama.
Lalu bagaimana dengan orang tipe cuek bebek? Dalam hati mereka berkata, “Emangnya gue pikirin...”
Sebuah nasihat mengajar kita agar menghitung hari-hari hidup kita serta menjalaninya dengan bijaksana, karena hidup manusia itu singkat.
Dalam hidup yang singkat tersebut kita harus mengisinya dengan cara, sikap, dan hasil yang bermakna. —Pdt. Agus Wiyanto
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 10/1/12 (diedit seperlunya)
==========
Jikalau dia ditugaskan pergi ke daerah terpencil dan sulit, dia akan selalu menunjukkan sikap optimistis dan menjalaninya dengan mantap.
Hasil kerjanya pun excellent. Orang seperti ini akan menginspirasi orang lain yang ada di sekitarnya dengan gairah dan semangat yang ditularkannya.
Tipe B = Biasa. Orang seperti ini bekerja hanya untuk menjalankan tugas yang diberikan ke pundaknya. Ia melakukannya sama persis seperti prosedur yang sudah digariskan.
Tidak ada kreativitas atau aktif mencari sesuatu yang baru, yang dapat menghasilkan terobosan yang diciptakannya. Prestasi kerjanya pun sedang-sedang saja, alias rata-rata seperti kebanyakan orang.
Tipe “biasa” dalam kelompok tidak akan menginspirasi orang, tetapi dapat didorong prestasinya agar maju dan maksimal, kalau dia mau berubah.
Tipe C = Cuek bebek. Tipe orang yang acuh tak acuh. Pokoknya hanya mengerjakan apa yang sanggup dilakukan oleh tangannya. Kalau ada tugas yang diberikan, tetapi tidak terjangkau oleh tangannya, ia tidak akan mengerjakan pekerjaan itu dengan perasaan tidak bersalah. Prestasinya di bawah rata rata.
-----
Ketiga tipe orang ini akan berbeda dalam mengisi dan memaknai hidupnya.
Orang yang antusias akan optimistis menjalani hidup dan hari-hari di depannya dengan keyakinan diri yang mantap. Meskipun menghadapi kesulitan, tetapi ia akan mengubah kesulitan itu menjadi peluang.
Orang yang “biasa” saja akan menjalani hidupnya tidak seserius orang yang pertama.
Lalu bagaimana dengan orang tipe cuek bebek? Dalam hati mereka berkata, “Emangnya gue pikirin...”
Sebuah nasihat mengajar kita agar menghitung hari-hari hidup kita serta menjalaninya dengan bijaksana, karena hidup manusia itu singkat.
Dalam hidup yang singkat tersebut kita harus mengisinya dengan cara, sikap, dan hasil yang bermakna. —Pdt. Agus Wiyanto
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 10/1/12 (diedit seperlunya)
==========
14 September 2012
Rencana Hidup
Seorang ibu menemukan sebutir telur, lalu ia memanggil ketiga anaknya, dan mengatakan kepada mereka, “Anak-anakku, mulai sekarang kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan apa pun. Lihatlah, ibu telah menemukan sebutir telur... dan inilah yang akan kita lakukan.”
Si kecil menyela, “Hore! kita akan makan telur.” Segera ibu itu berucap, “O, tidak... tidak, kita tidak akan memakan telur ini, tetapi kita akan mengeramkannya dengan ayam tetangga dan membiarkannya menetas menjadi seekor anak ayam. Kita juga tidak akan memakan anak ayam itu. Kita biarkan ia bertumbuh, bertelur, dan menetas, maka kita akan memiliki banyak ayam dan telur.”
“Jadi, kita bisa makan ayam kan bu?” tanya salah seorang anaknya. “Tidak juga,” jawab si ibu bersemangat, “Kita akan menjualnya. Hasil penjualan itu akan kita gunakan untuk membeli seekor anak sapi. Kita akan memeliharanya. Dan sapi itu akan beranak banyak dan kita akan segera memiliki kawanan sapi. Kita akan menjual sapi-sapi itu dan membeli sebuah ladang... demikian kita akan terus membeli... dan... menjual.” Si ibu berbicara dengan begitu bersemangat, sehingga telur itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai... pecah!
Bagaimana perasaan si ibu dan anak-anaknya ketika mendapati telur itu pecah? Willi Hoffsuemmer tidak menceritakannya. Tetapi Hoffsuemmer menyimpulkan, bahwa rencana hidup sering kali terjadi seperti itu: orang membuat banyak rencana dan janji muluk-muluk yang bahkan tidak dapat bertahan sampai hari berikutnya. Mereka seperti telur yang jatuh dan hancur itu. Menyedihkan bukan?
Apakah rencana hidup yang pernah kita canangkan telah kita realisasikan? Ataukah rencana tetap tinggal rencana? Mengapa kita belum merealisasikan rencana kita? Tergoda untuk menundanya? Malas?
Alangkah baiknya jika kita mengevaluasi apa yang sudah dan belum kita lakukan sesuai komitmen kita, agar kita bisa maju, meski perlahan-lahan, tetapi pasti. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/1/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Niat Tahun Baru
==========
Si kecil menyela, “Hore! kita akan makan telur.” Segera ibu itu berucap, “O, tidak... tidak, kita tidak akan memakan telur ini, tetapi kita akan mengeramkannya dengan ayam tetangga dan membiarkannya menetas menjadi seekor anak ayam. Kita juga tidak akan memakan anak ayam itu. Kita biarkan ia bertumbuh, bertelur, dan menetas, maka kita akan memiliki banyak ayam dan telur.”
“Jadi, kita bisa makan ayam kan bu?” tanya salah seorang anaknya. “Tidak juga,” jawab si ibu bersemangat, “Kita akan menjualnya. Hasil penjualan itu akan kita gunakan untuk membeli seekor anak sapi. Kita akan memeliharanya. Dan sapi itu akan beranak banyak dan kita akan segera memiliki kawanan sapi. Kita akan menjual sapi-sapi itu dan membeli sebuah ladang... demikian kita akan terus membeli... dan... menjual.” Si ibu berbicara dengan begitu bersemangat, sehingga telur itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai... pecah!
Bagaimana perasaan si ibu dan anak-anaknya ketika mendapati telur itu pecah? Willi Hoffsuemmer tidak menceritakannya. Tetapi Hoffsuemmer menyimpulkan, bahwa rencana hidup sering kali terjadi seperti itu: orang membuat banyak rencana dan janji muluk-muluk yang bahkan tidak dapat bertahan sampai hari berikutnya. Mereka seperti telur yang jatuh dan hancur itu. Menyedihkan bukan?
Apakah rencana hidup yang pernah kita canangkan telah kita realisasikan? Ataukah rencana tetap tinggal rencana? Mengapa kita belum merealisasikan rencana kita? Tergoda untuk menundanya? Malas?
Alangkah baiknya jika kita mengevaluasi apa yang sudah dan belum kita lakukan sesuai komitmen kita, agar kita bisa maju, meski perlahan-lahan, tetapi pasti. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 31/1/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Niat Tahun Baru
==========
07 September 2012
Mengapa Cobaanku Berat?
Seumpama Anda ingin memilih seseorang untuk melakukan suatu tugas besar, kompleks, dan berat yang menuntut tenaga, waktu, dan kecakapan yang tidak kecil, siapa yang akan Anda pilih? Tentu Anda tidak akan memilih dengan sembarangan atau “asal comot” bukan?
Anda akan memilih dengan hati-hati, menimbang-nimbang dengan saksama apakah orang itu cocok untuk tugas tersebut. Semakin besar tugas dan tanggung jawabnya, semakin teliti kita memilih orang yang akan melakukannya.
Maksudnya jelas, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sepertinya demikian pula dengan Tuhan. Tentulah dengan kebijaksanaan-Nya, Ia memberi tugas khusus, berat, dan besar kepada orang-orang pilihan-Nya.
Di pihak lain, bagaimana respons orang yang dipilih untuk melakukan tugas berat itu? Paling tidak ada dua respons. Ada yang merasa mendapat kehormatan karena dipilih untuk menjalankan tugas itu, tetapi ada banyak juga yang merasa keberatan.
Demikian pula respons kita ketika mendapat cobaan berat. Ada yang bersyukur karena merasa mendapat kehormatan, tetapi lebih banyak yang mengeluh, mengomel, marah, merasa terganggu, dan keberatan.
Ada banyak orang menganggap cobaan adalah peristiwa atau kejadian yang menyakitkan, masalah, penderitaan, dan sejenisnya. Sering kali kita mendengar orang yang mengalami peristiwa sedih berkata, “Ini cobaan yang harus aku jalani.”
Peristiwa-peristiwa yang menyakitkan sesungguhnya layak untuk disyukuri karena oleh merekalah kita bertumbuh. Sayang tidak semua orang bisa menangkap hal ini. Lebih banyak yang berkeluh kesah, menggerutu, dan marah ketika peristiwa sedih datang menghampiri.
Peristiwa gembira memang membahagiakan, tetapi jarang menuntun pada pertumbuhan.
Peristiwa yang menyakitkan merupakan pelajaran bagi kita karena menyingkapkan banyak hal yang tidak kita ketahui sebelumnya, dan membuka peluang untuk bertumbuh.
Di-PHK, kehilangan, patah hati, penolakan, penyakit, bahkan kesalahan dan dosa kita sekalipun dapat membantu kita bertumbuh. Semuanya merupakan rahmat, tidak hanya bagi kita pribadi tetapi juga bagi orang lain. Di balik setiap cobaan tersembunyi rahmat besar bagi kita dan sesama.
Daripada mengeluh, marah, atau malah berputus asa, mari bersyukur atas cobaan (ujian) yang Tuhan berikan kepada kita. Betapa Tuhan sangat mencintai kita dengan memberikan cobaan yang berat itu karena Ia percaya bahwa kita dapat melakukan tugas-tugas besar. —Liana Poedjihastuti
Ingatlah peristiwa yang paling mengecewakan, menyedihkan dan menyakitkan yang pernah atau sedang Anda alami. Percayalah pasti ada rahmat pertumbuhan di baliknya. Cobalah untuk menemukan suatu peluang atau potensi untuk tumbuh yang dahulu tidak Anda lihat atau ketahui.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 16/3/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Mengapa Salibku Berat?
==========
Anda akan memilih dengan hati-hati, menimbang-nimbang dengan saksama apakah orang itu cocok untuk tugas tersebut. Semakin besar tugas dan tanggung jawabnya, semakin teliti kita memilih orang yang akan melakukannya.
Maksudnya jelas, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sepertinya demikian pula dengan Tuhan. Tentulah dengan kebijaksanaan-Nya, Ia memberi tugas khusus, berat, dan besar kepada orang-orang pilihan-Nya.
Di pihak lain, bagaimana respons orang yang dipilih untuk melakukan tugas berat itu? Paling tidak ada dua respons. Ada yang merasa mendapat kehormatan karena dipilih untuk menjalankan tugas itu, tetapi ada banyak juga yang merasa keberatan.
Demikian pula respons kita ketika mendapat cobaan berat. Ada yang bersyukur karena merasa mendapat kehormatan, tetapi lebih banyak yang mengeluh, mengomel, marah, merasa terganggu, dan keberatan.
Ada banyak orang menganggap cobaan adalah peristiwa atau kejadian yang menyakitkan, masalah, penderitaan, dan sejenisnya. Sering kali kita mendengar orang yang mengalami peristiwa sedih berkata, “Ini cobaan yang harus aku jalani.”
Peristiwa-peristiwa yang menyakitkan sesungguhnya layak untuk disyukuri karena oleh merekalah kita bertumbuh. Sayang tidak semua orang bisa menangkap hal ini. Lebih banyak yang berkeluh kesah, menggerutu, dan marah ketika peristiwa sedih datang menghampiri.
Peristiwa gembira memang membahagiakan, tetapi jarang menuntun pada pertumbuhan.
Peristiwa yang menyakitkan merupakan pelajaran bagi kita karena menyingkapkan banyak hal yang tidak kita ketahui sebelumnya, dan membuka peluang untuk bertumbuh.
Di-PHK, kehilangan, patah hati, penolakan, penyakit, bahkan kesalahan dan dosa kita sekalipun dapat membantu kita bertumbuh. Semuanya merupakan rahmat, tidak hanya bagi kita pribadi tetapi juga bagi orang lain. Di balik setiap cobaan tersembunyi rahmat besar bagi kita dan sesama.
Daripada mengeluh, marah, atau malah berputus asa, mari bersyukur atas cobaan (ujian) yang Tuhan berikan kepada kita. Betapa Tuhan sangat mencintai kita dengan memberikan cobaan yang berat itu karena Ia percaya bahwa kita dapat melakukan tugas-tugas besar. —Liana Poedjihastuti
Ingatlah peristiwa yang paling mengecewakan, menyedihkan dan menyakitkan yang pernah atau sedang Anda alami. Percayalah pasti ada rahmat pertumbuhan di baliknya. Cobalah untuk menemukan suatu peluang atau potensi untuk tumbuh yang dahulu tidak Anda lihat atau ketahui.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 16/3/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Mengapa Salibku Berat?
==========
03 September 2012
Bekerja dengan Gembira
Mungkin Anda pernah memerhatikan ketika sedang berada di kantor pelayanan publik, selalu saja ada tipe pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan wajah datar tanpa ekspresi, tidak ramah, jauh dari menyenangkan. Mereka ini menebarkan aura kejengkelan yang pada gilirannya berujung pada ketidaknyamanan bagi yang dilayani.
Awalnya saya juga merasa tidak nyaman dalam situasi seperti itu, namun kemudian karena terlalu sering bertemu dengan tipe pekerja seperti ini, saya mulai bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada pekerja yang demikian?
Lalu sampailah saya pada asumsi bahwa mungkin tugas-tugas mereka yang menyebabkan sikap kerja yang demikian. Bayangkan jika sepanjang hari tugasnya hanya membubuhkan stempel pada kertas dokumen, atau membuka dan menutup pintu, atau melakukan wawancara dengan pertanyaan yang itu-itu saja kepada puluhan bahkan ratusan orang setiap hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Seperti robot.
Bisa dipahami jika mereka kemudian menjadi jemu, mungkin tanpa mereka sadari dan inginkan. Menunggu mutasi yang tak kunjung tiba. Saya mulai berempati kepada para pekerja tipe ini.
Memang pekerjaan di samping memberikan penghasilan, juga bisa untuk mengaktualisasi dan mengembangkan bakat dan kreativitas kita. Bisa pula memberi pengaruh kepada masyarakat di sekitar kita, bahkan dunia. Memungkinkan kita membina relasi dan bekerja sama dengan orang lain.
Tetapi sesungguhnya pekerjaan juga bisa membebani. Bagaimana tidak? Tempat kerja dirasakan bukan sebagai tempat bekerja sama, melainkan tempat saling “menjegal” karena menjadi tempat persaingan yang tidak sehat.
Kita juga tidak dapat mengembangkan bakat dan kreativitas, serta mematikan minat kita, jika ada keharusan spesialisasi yang sesuai dengan pengembangan perusahaan.
Sudah begitu, kadang kita juga mempersulit diri sendiri karena memaksa diri melakukan lebih dari yang seharusnya. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil yang tidak perlu, dan tidak mau mendelegasikan tugas yang sebenarnya bisa didelegasikan. Kita juga merasa kesal, bahkan marah ketika pekerjaan yang kita lakukan tidak dihargai dengan imbalan yang memadai.
Jika pekerjaan terasa berat dan membebani, cobalah lakukan kiat menurut Corinne Updegraff Wells ini. Pertama-tama, pastikan kita tahu mengapa kita melakukan pekerjaan itu. Kemudian, pikirkan cara-cara menyelesaikan pekerjaan itu. Akhirnya, bagilah pekerjaan itu menjadi tugas-tugas yang lebih kecil. Kerjakan hanya satu bagian pada setiap kesempatan, jangan sekaligus.
Di atas semua itu, menurut Charles Ringma, yang terpenting adalah kita harus membawa roh yang tenang ke tempat kerja, roh yang damai dengan Tuhan, nyaman dengan diri sendiri, dan mau melayani orang lain.
Dengan demikian kita tidak hanya sekadar tidak jemu, melainkan menebarkan semangat dan kegembiraan di tempat kerja. Hati yang gembira membuat muka berseri-seri. —Liana Poedjihastuti
Apakah aku melakukan tugas-tugasku dengan gembira ataukah aku merasa jemu?
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 3/9/12 (diedit sedikit)
==========
Awalnya saya juga merasa tidak nyaman dalam situasi seperti itu, namun kemudian karena terlalu sering bertemu dengan tipe pekerja seperti ini, saya mulai bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada pekerja yang demikian?
Lalu sampailah saya pada asumsi bahwa mungkin tugas-tugas mereka yang menyebabkan sikap kerja yang demikian. Bayangkan jika sepanjang hari tugasnya hanya membubuhkan stempel pada kertas dokumen, atau membuka dan menutup pintu, atau melakukan wawancara dengan pertanyaan yang itu-itu saja kepada puluhan bahkan ratusan orang setiap hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Seperti robot.
Bisa dipahami jika mereka kemudian menjadi jemu, mungkin tanpa mereka sadari dan inginkan. Menunggu mutasi yang tak kunjung tiba. Saya mulai berempati kepada para pekerja tipe ini.
Memang pekerjaan di samping memberikan penghasilan, juga bisa untuk mengaktualisasi dan mengembangkan bakat dan kreativitas kita. Bisa pula memberi pengaruh kepada masyarakat di sekitar kita, bahkan dunia. Memungkinkan kita membina relasi dan bekerja sama dengan orang lain.
Tetapi sesungguhnya pekerjaan juga bisa membebani. Bagaimana tidak? Tempat kerja dirasakan bukan sebagai tempat bekerja sama, melainkan tempat saling “menjegal” karena menjadi tempat persaingan yang tidak sehat.
Kita juga tidak dapat mengembangkan bakat dan kreativitas, serta mematikan minat kita, jika ada keharusan spesialisasi yang sesuai dengan pengembangan perusahaan.
Sudah begitu, kadang kita juga mempersulit diri sendiri karena memaksa diri melakukan lebih dari yang seharusnya. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil yang tidak perlu, dan tidak mau mendelegasikan tugas yang sebenarnya bisa didelegasikan. Kita juga merasa kesal, bahkan marah ketika pekerjaan yang kita lakukan tidak dihargai dengan imbalan yang memadai.
Jika pekerjaan terasa berat dan membebani, cobalah lakukan kiat menurut Corinne Updegraff Wells ini. Pertama-tama, pastikan kita tahu mengapa kita melakukan pekerjaan itu. Kemudian, pikirkan cara-cara menyelesaikan pekerjaan itu. Akhirnya, bagilah pekerjaan itu menjadi tugas-tugas yang lebih kecil. Kerjakan hanya satu bagian pada setiap kesempatan, jangan sekaligus.
Di atas semua itu, menurut Charles Ringma, yang terpenting adalah kita harus membawa roh yang tenang ke tempat kerja, roh yang damai dengan Tuhan, nyaman dengan diri sendiri, dan mau melayani orang lain.
Dengan demikian kita tidak hanya sekadar tidak jemu, melainkan menebarkan semangat dan kegembiraan di tempat kerja. Hati yang gembira membuat muka berseri-seri. —Liana Poedjihastuti
Apakah aku melakukan tugas-tugasku dengan gembira ataukah aku merasa jemu?
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 3/9/12 (diedit sedikit)
==========
01 September 2012
Cara Menyikapi Kritik
Di Desa Bakaran, Juwana, Jawa Tengah orang memiliki kebiasaan ekonomis. Kerbau dan sapi diangon di jalan-jalan, binatang itu buang air besar di sembarang tempat. Tetapi kotoran binatang ternak itu tidak dibiarkan terlalu lama mencolok mata. Segera dibersihkan, dikumpulkan, lalu dijemur untuk digunakan sebagai pediang, bahan bakar pengasapan di kandang.
Kritik seperti kotoran kerbau! Akan dibuang atau dimanfaatkan sebagai pediang atau pupuk kandang?
Kritik biasanya tidak sedap didengar, tidak ada kritik semerdu alunan keroncong. Meski lembut disuarakan, kritik terdengar sumbang, menggetarkan, bahkan mengguncang perasaan.
Kritik sering kali menyengat, merangsang amarah — terlebih kalau kita merasa dikecam atau dicerca.
Tidak ada kritik selezat tiramisu meski dilapisi ‘stiker gula’ berlabel “Kritik Membangun”.
Kritik atau teguran sejatinya untuk mengoreksi, namun dikoreksi tentu membuat kita tidak nyaman.
Anda mungkin bisa mengajukan suatu proposal tentang bagaimana etika mengkritik diri Anda, rambu dan jadwal menegur, ataupun kadar toleransi kecaman yang bisa Anda terima.
Anda mungkin bisa membangun kriteria sendiri, apakah seseorang itu kritikus bijak atau pengecam jahanam. Namun tetap saja Anda tidak kuasa melarang orang mengkritik.
Pepatah Persia mengatakan, “Anak-anak hanya melempar batu ke pohon yang berbuah.” Hal yang sama dilakukan orang-orang, mereka hanya mengkritik apa yang sudah kita lakukan, hasil perbuatan kita.
Jika Anda tidak ingin dikritik, diam saja, jangan melakukan apa pun, artinya Anda memilih untuk ‘mati suri’.
Tidak semua orang mau mendengarkan nasihat Dale Carnegie yang ditulis dalam bukunya, How to Win Friends and Influence People: “Jangan mengkritik, mencerca, atau mengeluh!”
Anda tidak bisa mengeliminasi kritik dengan mengatakan, “Hati-hatilah Anda! Mengkritik itu sama saja mengarahkan satu jari telunjuk ke saya, tetapi tiga jari ke arah Anda sendiri, dan ibu jari Anda ke atas, menunjuk Tuhan atau orang yang Anda anggap bertanggung jawab.”
Tentu saja kritik tidak pernah senikmat pujian. Tidak ada di antara kita yang senang orang lain mengecam, mencerca, atau mengatakan hal-hal negatif.
Jika Anda menolak dan membela diri, tentu saja alamiah. Namun, tidak seorang pun yang sempurna, dan sering kali orang lain yang justru lebih jeli melihat kelemahan dan kesalahan kita.
Kritik tidak seratus persen buruk. Kritik bisa menolong untuk menilai apa yang sudah kita lakukan.
Tentu saja, tidak semua kritik sahih dan bijak. Namun kita tidak perlu langsung apriori, menolak kritik dari siapa pun dan dalam wacana apa pun.
Kita dengarkan dan simak saja, barangkali ada kebenaran yang tersirat di balik kritik itu. Dan, mungkin itulah kesempatan kita untuk mengubah jalur atau menata kembali langkah-langkah kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 1/9/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Kritik
==========
Kritik seperti kotoran kerbau! Akan dibuang atau dimanfaatkan sebagai pediang atau pupuk kandang?
Kritik biasanya tidak sedap didengar, tidak ada kritik semerdu alunan keroncong. Meski lembut disuarakan, kritik terdengar sumbang, menggetarkan, bahkan mengguncang perasaan.
Kritik sering kali menyengat, merangsang amarah — terlebih kalau kita merasa dikecam atau dicerca.
Tidak ada kritik selezat tiramisu meski dilapisi ‘stiker gula’ berlabel “Kritik Membangun”.
Kritik atau teguran sejatinya untuk mengoreksi, namun dikoreksi tentu membuat kita tidak nyaman.
Anda mungkin bisa mengajukan suatu proposal tentang bagaimana etika mengkritik diri Anda, rambu dan jadwal menegur, ataupun kadar toleransi kecaman yang bisa Anda terima.
Anda mungkin bisa membangun kriteria sendiri, apakah seseorang itu kritikus bijak atau pengecam jahanam. Namun tetap saja Anda tidak kuasa melarang orang mengkritik.
Pepatah Persia mengatakan, “Anak-anak hanya melempar batu ke pohon yang berbuah.” Hal yang sama dilakukan orang-orang, mereka hanya mengkritik apa yang sudah kita lakukan, hasil perbuatan kita.
Jika Anda tidak ingin dikritik, diam saja, jangan melakukan apa pun, artinya Anda memilih untuk ‘mati suri’.
Tidak semua orang mau mendengarkan nasihat Dale Carnegie yang ditulis dalam bukunya, How to Win Friends and Influence People: “Jangan mengkritik, mencerca, atau mengeluh!”
Anda tidak bisa mengeliminasi kritik dengan mengatakan, “Hati-hatilah Anda! Mengkritik itu sama saja mengarahkan satu jari telunjuk ke saya, tetapi tiga jari ke arah Anda sendiri, dan ibu jari Anda ke atas, menunjuk Tuhan atau orang yang Anda anggap bertanggung jawab.”
Tentu saja kritik tidak pernah senikmat pujian. Tidak ada di antara kita yang senang orang lain mengecam, mencerca, atau mengatakan hal-hal negatif.
Jika Anda menolak dan membela diri, tentu saja alamiah. Namun, tidak seorang pun yang sempurna, dan sering kali orang lain yang justru lebih jeli melihat kelemahan dan kesalahan kita.
Kritik tidak seratus persen buruk. Kritik bisa menolong untuk menilai apa yang sudah kita lakukan.
Tentu saja, tidak semua kritik sahih dan bijak. Namun kita tidak perlu langsung apriori, menolak kritik dari siapa pun dan dalam wacana apa pun.
Kita dengarkan dan simak saja, barangkali ada kebenaran yang tersirat di balik kritik itu. Dan, mungkin itulah kesempatan kita untuk mengubah jalur atau menata kembali langkah-langkah kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 1/9/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Kritik
==========
30 Agustus 2012
Sang Sempurna
Konon ada suku Indian yang memiliki tradisi menggelar kompetisi menjadi “Sang Sempurna”.
Hari itu, saat fajar merekah, ada tiga pemuda bertubuh tegap, kekar, dan cerdas siap berlomba. Mereka ditantang mendaki gunung-gunung, setinggi yang bisa mereka jelajahi, sejauh yang sanggup mereka jalani. Ketiga pemuda itu harus menjelajah dan mendaki gunung tanpa alat bantu, dan hanya boleh membawa bekal sekantong madu.
Pemuda pertama telah pulang sore hari, ia membawa ranting pinus, bukti ia sudah mendaki gunung yang tinggi. Hari pun berganti, menjelang pagi pemuda kedua datang membawa sepotong cadas keras, bukti bahwa ia sudah mendaki gunung tertinggi.
Hari kembali larut dalam kesunyian malam, pemuda ketiga belum juga datang. Sehari kemudian dari kejauhan tampak pemuda itu berjalan tertatih-tatih. Ia tidak membawa apa pun, tidak membawa ranting pinus ataupun cadas keras.
“Tetua, aku sudah mendaki gunung yang sangat tinggi, tempat di mana aku tidak menemukan pohon maupun semak belukar. Aku tidak melihat bunga-bunga tumbuh di sana, aku hanya menemukan batu karang dan tanah kering,” lapor pemuda itu kepada kepala suku.
Lalu dengan nada bangga ia berkata, “Tetapi aku telah melihat lautan luas yang menyatu dengan langit. Di malam hari aku melihat rembulan begitu dekat dengan wajahku. Aku menyentuh rembulan. Aku juga dikelilingi bintang-bintang...!”
Kepala suku sangat bahagia, katanya, “Anakku, engkau sudah merasakan berat dan kerasnya berjuang menjadi sempurna, dan ketika engkau tidak lagi peduli untuk membawa bukti kesempurnaan, itu menandakan bahwa engkau tidak lagi butuh pengakuan karena engkau telah menyatu dengan kehidupan yang sempurna.”
Tuhan pun mau Anda dan saya sempurna. Kita sempurna di hadapan Tuhan, bukan di mata manusia. Kita sempurna bukan karena ingin membuktikan bahwa kita sempurna, melainkan sempurna menurut pandangan Tuhan.
Tidak untuk mencari pengakuan sebagai manusia yang paling hebat atau orang saleh nomor satu. Namun kita adalah umat Tuhan yang memiliki kasih seluas lautan untuk menjadi garam dan terang dunia.
Itulah “Sang Sempurna” yang Tuhan mau, yakni orang percaya yang mengasihi kawan maupun lawan, sekutu maupun seteru.
“Sang Sempurna” dapat mengasihi semua orang, seperti Tuhan yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. —Agus Santosa
Berikanlah yang terbaik yang Anda miliki kepada Yang Tertinggi yang Anda ketahui — dan kerjakanlah itu sekarang! ~Ralph Sockman
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 30/8/12 (diedit seperlunya)
==========
Hari itu, saat fajar merekah, ada tiga pemuda bertubuh tegap, kekar, dan cerdas siap berlomba. Mereka ditantang mendaki gunung-gunung, setinggi yang bisa mereka jelajahi, sejauh yang sanggup mereka jalani. Ketiga pemuda itu harus menjelajah dan mendaki gunung tanpa alat bantu, dan hanya boleh membawa bekal sekantong madu.
Pemuda pertama telah pulang sore hari, ia membawa ranting pinus, bukti ia sudah mendaki gunung yang tinggi. Hari pun berganti, menjelang pagi pemuda kedua datang membawa sepotong cadas keras, bukti bahwa ia sudah mendaki gunung tertinggi.
Hari kembali larut dalam kesunyian malam, pemuda ketiga belum juga datang. Sehari kemudian dari kejauhan tampak pemuda itu berjalan tertatih-tatih. Ia tidak membawa apa pun, tidak membawa ranting pinus ataupun cadas keras.
“Tetua, aku sudah mendaki gunung yang sangat tinggi, tempat di mana aku tidak menemukan pohon maupun semak belukar. Aku tidak melihat bunga-bunga tumbuh di sana, aku hanya menemukan batu karang dan tanah kering,” lapor pemuda itu kepada kepala suku.
Lalu dengan nada bangga ia berkata, “Tetapi aku telah melihat lautan luas yang menyatu dengan langit. Di malam hari aku melihat rembulan begitu dekat dengan wajahku. Aku menyentuh rembulan. Aku juga dikelilingi bintang-bintang...!”
Kepala suku sangat bahagia, katanya, “Anakku, engkau sudah merasakan berat dan kerasnya berjuang menjadi sempurna, dan ketika engkau tidak lagi peduli untuk membawa bukti kesempurnaan, itu menandakan bahwa engkau tidak lagi butuh pengakuan karena engkau telah menyatu dengan kehidupan yang sempurna.”
Tuhan pun mau Anda dan saya sempurna. Kita sempurna di hadapan Tuhan, bukan di mata manusia. Kita sempurna bukan karena ingin membuktikan bahwa kita sempurna, melainkan sempurna menurut pandangan Tuhan.
Tidak untuk mencari pengakuan sebagai manusia yang paling hebat atau orang saleh nomor satu. Namun kita adalah umat Tuhan yang memiliki kasih seluas lautan untuk menjadi garam dan terang dunia.
Itulah “Sang Sempurna” yang Tuhan mau, yakni orang percaya yang mengasihi kawan maupun lawan, sekutu maupun seteru.
“Sang Sempurna” dapat mengasihi semua orang, seperti Tuhan yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. —Agus Santosa
Berikanlah yang terbaik yang Anda miliki kepada Yang Tertinggi yang Anda ketahui — dan kerjakanlah itu sekarang! ~Ralph Sockman
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 30/8/12 (diedit seperlunya)
==========
26 Agustus 2012
Mozart pun Berlatih!
Siapa yang tidak kagum dengan Wolfgang Amadeus Mozart? Genius dari Austria yang pada usia enam tahun sudah tur keliling Eropa untuk bermain biola dan piano di depan para bangsawan. Namun, tak banyak yang tahu bahwa kehebatan bermusiknya ialah buah dari rangkaian latihan yang tekun.
Dalam bukunya Genius Explained, Michael Howe, psikolog dari Universitas Exeter, menemukan bahwa Mozart sudah menghabiskan waktu sedikitnya 3.500 jam untuk berlatih sebelum usianya yang keenam.
Kita kerap kali meremehkan kekuatan dari disiplin berlatih dalam berbagai kegiatan kita.
Pada zaman Salomo (Nabi Sulaiman), para pelayan musik di rumah Tuhan adalah orang-orang yang terpilih. Mereka adalah para ahli seni yang pandai dan mahir bernyanyi serta memainkan alat musik. Akan tetapi, mereka pun mementingkan latihan — sebab nyanyian mereka ditujukan kepada Tuhan.
Predikat mereka sebagai ahli seni bukanlah dalih untuk tidak berlatih. Sebaliknya, karena mereka ahli seni, maka mereka menyadari pentingnya latihan.
Apa yang sedang Tuhan percayakan kepada kita saat ini? Mari kerjakan dengan kesadaran penuh untuk terus mengasah diri setiap hari.
Agar dapat menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang andal di mana pun dan dalam bidang apa pun, kita perlu melatih kemampuan yang sudah Dia berikan dengan serius dan setia, tidak hanya mengandalkan semangat dan bakat belaka.
Rencanakan dengan sengaja dan sediakan waktu untuk meningkatkan wawasan, serta melatih keterampilan, secara efektif dan terus-menerus, tidak hanya saat ada waktu luang sisa atau selagi mood.
Pelayanan kita dalam berbagai bidang adalah bagi Tuhan, Sang Raja Semesta, yang patut menerima kemampuan terbaik kita. --JIM
Bagi seorang pelayan Tuhan yang sejati, latihan bukanlah imbuhan melainkan kebutuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 28/7/12 (diedit seperlunya)
==========
Dalam bukunya Genius Explained, Michael Howe, psikolog dari Universitas Exeter, menemukan bahwa Mozart sudah menghabiskan waktu sedikitnya 3.500 jam untuk berlatih sebelum usianya yang keenam.
Kita kerap kali meremehkan kekuatan dari disiplin berlatih dalam berbagai kegiatan kita.
Pada zaman Salomo (Nabi Sulaiman), para pelayan musik di rumah Tuhan adalah orang-orang yang terpilih. Mereka adalah para ahli seni yang pandai dan mahir bernyanyi serta memainkan alat musik. Akan tetapi, mereka pun mementingkan latihan — sebab nyanyian mereka ditujukan kepada Tuhan.
Predikat mereka sebagai ahli seni bukanlah dalih untuk tidak berlatih. Sebaliknya, karena mereka ahli seni, maka mereka menyadari pentingnya latihan.
Apa yang sedang Tuhan percayakan kepada kita saat ini? Mari kerjakan dengan kesadaran penuh untuk terus mengasah diri setiap hari.
Agar dapat menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang andal di mana pun dan dalam bidang apa pun, kita perlu melatih kemampuan yang sudah Dia berikan dengan serius dan setia, tidak hanya mengandalkan semangat dan bakat belaka.
Rencanakan dengan sengaja dan sediakan waktu untuk meningkatkan wawasan, serta melatih keterampilan, secara efektif dan terus-menerus, tidak hanya saat ada waktu luang sisa atau selagi mood.
Pelayanan kita dalam berbagai bidang adalah bagi Tuhan, Sang Raja Semesta, yang patut menerima kemampuan terbaik kita. --JIM
Bagi seorang pelayan Tuhan yang sejati, latihan bukanlah imbuhan melainkan kebutuhan.
* * *
Sumber: e-RH, 28/7/12 (diedit seperlunya)
==========
25 Agustus 2012
Kreativitas
Pujangga Maya Angelo menyatakan, “Anda tidak bisa menghabiskan kreativitas. Semakin Anda menggunakannya, semakin banyaklah ia.”
Sayangnya, terlalu sering kreativitas dirusak daripada dipupuk. Cara berpikir yang baru, persepsi yang baru, sikap mempertanyakan; harus didorong agar bertumbuh. Kreativitas memberikan nilai tambah bagi orang lain.
Seorang penata rambut pernah didatangi seorang artis muda yang akan menghadiri pertemuan selebriti. Artis itu meminta dia untuk menata rambutnya. Saat penata rambut datang di rumah artis, ia sekilas memerhatikan baju dan aksesori yang dikenakan si artis.
Dengan cepat dia mengambil pita dari dalam tasnya lalu dengan hanya menggunakan sikat dan sisir, dalam waktu tiga puluh menit ia selesai menata rambut si artis.
Sang aktris mengagumi tatanan rambutnya seraya berkata, “Wow, cantik sekali saya!” Lalu dia bertanya, “Berapa saya harus membayar Anda?”
Jawab penata rambut itu: ”Dua puluh juta rupiah.” “Wah, kalau dengan harga semahal itu saya tidak mau membayar hanya untuk sehelai pita,” jawab si artis.
Keduanya saling berpandangan sejenak. “Boleh,” jawab penata rambut sambil bergerak melepas pita dari rambut sang artis. Rambut artis itu kembali tak beraturan dan kacau. Sambil melenggang di sampingnya penata rambut itu berkata, “Nih, pitanya cuma-cuma.”
Kreativitas yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran yang baik untuk membangun orang-orang di sekeliling kita, memberikan nilai tambah. Kreativitas semacam itu mampu memberi pengaruh bagi orang lain.
Isilah pikiran Anda dengan hal-hal yang bernilai, yang patut dipuji, yakni hal-hal yang benar, yang terhormat, yang adil, murni, manis, dan baik.
Mari kita lengkapi diri kita dengan cara berpikir seperti itu. Mengikuti cara berpikir seperti ini akan memengaruhi kreativitas, yang akan bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari. —Lydia Ong
Tuhan memberikan kepada kita potensi untuk berpikir kreatif. Kreativitas dapat meningatkan kemampuan Anda.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 25/8/12 (dipersingkat)
==========
Sayangnya, terlalu sering kreativitas dirusak daripada dipupuk. Cara berpikir yang baru, persepsi yang baru, sikap mempertanyakan; harus didorong agar bertumbuh. Kreativitas memberikan nilai tambah bagi orang lain.
Seorang penata rambut pernah didatangi seorang artis muda yang akan menghadiri pertemuan selebriti. Artis itu meminta dia untuk menata rambutnya. Saat penata rambut datang di rumah artis, ia sekilas memerhatikan baju dan aksesori yang dikenakan si artis.
Dengan cepat dia mengambil pita dari dalam tasnya lalu dengan hanya menggunakan sikat dan sisir, dalam waktu tiga puluh menit ia selesai menata rambut si artis.
Sang aktris mengagumi tatanan rambutnya seraya berkata, “Wow, cantik sekali saya!” Lalu dia bertanya, “Berapa saya harus membayar Anda?”
Jawab penata rambut itu: ”Dua puluh juta rupiah.” “Wah, kalau dengan harga semahal itu saya tidak mau membayar hanya untuk sehelai pita,” jawab si artis.
Keduanya saling berpandangan sejenak. “Boleh,” jawab penata rambut sambil bergerak melepas pita dari rambut sang artis. Rambut artis itu kembali tak beraturan dan kacau. Sambil melenggang di sampingnya penata rambut itu berkata, “Nih, pitanya cuma-cuma.”
Kreativitas yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran yang baik untuk membangun orang-orang di sekeliling kita, memberikan nilai tambah. Kreativitas semacam itu mampu memberi pengaruh bagi orang lain.
Isilah pikiran Anda dengan hal-hal yang bernilai, yang patut dipuji, yakni hal-hal yang benar, yang terhormat, yang adil, murni, manis, dan baik.
Mari kita lengkapi diri kita dengan cara berpikir seperti itu. Mengikuti cara berpikir seperti ini akan memengaruhi kreativitas, yang akan bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari. —Lydia Ong
Tuhan memberikan kepada kita potensi untuk berpikir kreatif. Kreativitas dapat meningatkan kemampuan Anda.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 25/8/12 (dipersingkat)
==========
20 Agustus 2012
Tiga Model Bekerja
Arvan Pradiansyah, penulis buku “I Love Monday”, menggambarkan tiga paradigma bekerja. Model pertama adalah melihat pekerjaan sebagai job. Model 2: melihat pekerjaan sebagai career. Model 3: melihat pekerjaan sebagai calling — panggilan atau penugasan Tuhan untuk dilakukan.
Pertanyaan pokoknya, siapa yang mengarahkan kita dalam bekerja? Orang lain atau diri kita sendiri? Ke mana arah yang akan kita capai dalam pekerjaan itu? Kita adalah sutradara yang berhak menentukan ke mana kita akan mengarahkan pekerjaan itu.
Jika pekerjaan ditempatkan sebagai job yang dilakukan, maka kita akan diarahkan oleh orang lain. Kita melakukan segala sesuatu yang diminta oleh pemberi kerja. Ada rasa terpaksa dan perasaan ogah menjalaninya. Apalagi di bawah kontrol plus tekanan dan tuntutan untuk memenuhi target, maka kita akan menjadi pusing menjalaninya.
Dengan tercapainya target itu, kita akan mendapatkan bonus. Dengan bonus dan gaji, Anda akan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan hidup Anda. Bekerja tampak begitu menyiksa di bawah kendali skenario orang lain.
Cara kedua, pekerjaan sebagai career akan membuat kita bersemangat dibandingkan yang pertama. Karena kita adalah sutradara yang merumuskan skenario sukses. Apalagi kalau ada jenjang prestasi plus kumulasi penghargaan dan bonus yang diterima. Karier menanjak dan memberikan nilai tersendiri bagi yang menjalaninya.
Cara ketiga, bekerja adalah melayani orang lain dan menghasilkan manfaat yang nyata. Bukan diri kita yang membuat skenario, tetapi menggabungkan dengan skenario Tuhan. Yang ini akan menghasilkan rasa bahagia. Hasilnya pun akan dirasakan oleh orang lain yang menggunakan jasa kita.
Ada perasaan positif terhadap pekerjaan ketika kita menyatukan badan, pikiran, dan gairah. Cara ketiga ini menciptakan rasa bahagia bagi diri sendiri yang menjalani, dan menghasilkan manfaat bagi orang lain, sehingga memberikan rasa berharga dan bermakna bagi kita. —Pdt. Agus Wiyanto
Lakukan pekerjaan Anda dengan tuntas dan setia.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/8/12 (diedit seperlunya)
==========
Pertanyaan pokoknya, siapa yang mengarahkan kita dalam bekerja? Orang lain atau diri kita sendiri? Ke mana arah yang akan kita capai dalam pekerjaan itu? Kita adalah sutradara yang berhak menentukan ke mana kita akan mengarahkan pekerjaan itu.
Jika pekerjaan ditempatkan sebagai job yang dilakukan, maka kita akan diarahkan oleh orang lain. Kita melakukan segala sesuatu yang diminta oleh pemberi kerja. Ada rasa terpaksa dan perasaan ogah menjalaninya. Apalagi di bawah kontrol plus tekanan dan tuntutan untuk memenuhi target, maka kita akan menjadi pusing menjalaninya.
Dengan tercapainya target itu, kita akan mendapatkan bonus. Dengan bonus dan gaji, Anda akan mendapatkan penghasilan untuk kebutuhan hidup Anda. Bekerja tampak begitu menyiksa di bawah kendali skenario orang lain.
Cara kedua, pekerjaan sebagai career akan membuat kita bersemangat dibandingkan yang pertama. Karena kita adalah sutradara yang merumuskan skenario sukses. Apalagi kalau ada jenjang prestasi plus kumulasi penghargaan dan bonus yang diterima. Karier menanjak dan memberikan nilai tersendiri bagi yang menjalaninya.
Cara ketiga, bekerja adalah melayani orang lain dan menghasilkan manfaat yang nyata. Bukan diri kita yang membuat skenario, tetapi menggabungkan dengan skenario Tuhan. Yang ini akan menghasilkan rasa bahagia. Hasilnya pun akan dirasakan oleh orang lain yang menggunakan jasa kita.
Ada perasaan positif terhadap pekerjaan ketika kita menyatukan badan, pikiran, dan gairah. Cara ketiga ini menciptakan rasa bahagia bagi diri sendiri yang menjalani, dan menghasilkan manfaat bagi orang lain, sehingga memberikan rasa berharga dan bermakna bagi kita. —Pdt. Agus Wiyanto
Lakukan pekerjaan Anda dengan tuntas dan setia.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/8/12 (diedit seperlunya)
==========
13 Agustus 2012
Menjadi yang Terbaik
Hidup adalah untaian perubahan. Bahkan sepanjang siklus hidup manusia, selalu ditandai dengan perubahan demi perubahan. Perubahan yang satu usai, disusul dengan perubahan lain.
Penambahan usia disertai perubahan fisik, pertumbuhan kematangan cara berpikir dan kedewasaan seseorang. Ada perubahan alamiah, sesuai dengan siklus “hukum alam”: bayi - kanak-kanak - remaja - dewasa - lanjut usia.
Ada pula perubahan yang direncanakan oleh manusia supaya menjadi semakin baik, semakin sempurna, semakin memberikan pengaruh positif kepada orang lain di sekitarnya.
Menjadi yang baik perlu usaha dan kerja keras. Teruslah menambah wawasan pengetahuan, keterampilan, kompetensi dalam bidang Anda.
Kembangkanlah wawasan pemikiran. Sekaligus tajamkan hati nurani Anda untuk melahirkan kepekaan dan rasa belas kasihan kepada orang lain di sekitar Anda, serta kembangkan perilaku dan sikap.
Pandukanlah otak, hati, dan perilaku sesuai dengan firman Tuhan.
Perubahan selalu memiliki dua sisi: positif dan negatif. Ada tantangan yang mengasyikkan dan ada pula rintangan yang harus diatasi.
Buanglah ungkapan: saya “sekadar” mahasiswa, sekadar dosen, sekadar pegawai, sekadar manajer, sekadar arsitek. Karena ungkapan itu hanya akan menempatkan Anda sebagai pelengkap, di tengah aneka peran yang dimainkan orang lain. Anda pun hanya puas menjalani tugas itu tanpa gairah jika Anda berkata “aku hanya ...”
Menakjubkan bahwa seorang tukang becak di Yogyakarta dapat menyekolahkan anaknya di Universitas Gajah Mada hingga lulus menjadi dokter. Apa rahasianya? Dibandingkan dengan tukang becak lainnya, ia bukan hanya tukang becak biasa. Ia punya pikiran dan wawasan yang jauh melampaui rekan-rekannya. —Pdt. Agus Wiyanto
Mari menjadi yang terbaik.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 13/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Menjadi yang Baik
==========
Penambahan usia disertai perubahan fisik, pertumbuhan kematangan cara berpikir dan kedewasaan seseorang. Ada perubahan alamiah, sesuai dengan siklus “hukum alam”: bayi - kanak-kanak - remaja - dewasa - lanjut usia.
Ada pula perubahan yang direncanakan oleh manusia supaya menjadi semakin baik, semakin sempurna, semakin memberikan pengaruh positif kepada orang lain di sekitarnya.
Menjadi yang baik perlu usaha dan kerja keras. Teruslah menambah wawasan pengetahuan, keterampilan, kompetensi dalam bidang Anda.
Kembangkanlah wawasan pemikiran. Sekaligus tajamkan hati nurani Anda untuk melahirkan kepekaan dan rasa belas kasihan kepada orang lain di sekitar Anda, serta kembangkan perilaku dan sikap.
Pandukanlah otak, hati, dan perilaku sesuai dengan firman Tuhan.
Perubahan selalu memiliki dua sisi: positif dan negatif. Ada tantangan yang mengasyikkan dan ada pula rintangan yang harus diatasi.
Buanglah ungkapan: saya “sekadar” mahasiswa, sekadar dosen, sekadar pegawai, sekadar manajer, sekadar arsitek. Karena ungkapan itu hanya akan menempatkan Anda sebagai pelengkap, di tengah aneka peran yang dimainkan orang lain. Anda pun hanya puas menjalani tugas itu tanpa gairah jika Anda berkata “aku hanya ...”
Menakjubkan bahwa seorang tukang becak di Yogyakarta dapat menyekolahkan anaknya di Universitas Gajah Mada hingga lulus menjadi dokter. Apa rahasianya? Dibandingkan dengan tukang becak lainnya, ia bukan hanya tukang becak biasa. Ia punya pikiran dan wawasan yang jauh melampaui rekan-rekannya. —Pdt. Agus Wiyanto
Mari menjadi yang terbaik.
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 13/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Menjadi yang Baik
==========
26 Juli 2012
Topeng
Topeng merupakan benda yang tak asing bagi kita. Dengan mudah kita bisa menemukan berbagai bentuk dan ukurannya di toko-toko, galeri benda seni, atau di beberapa rumah.
Ada orang-orang yang begitu mencintai topeng, sampai-sampai memiliki koleksi topeng. Terkait dengan seni pertunjukan, topeng digunakan orang saat menari, sandiwara, dan lain sebagainya. Bagi penjahat, topeng digunakan untuk menyembunyikan identitas diri.
Dari sudut pandang psikologi, topeng atau mask atau persona adalah bagaimana kita menampilkan diri atau memperlihatkan diri kita kepada dunia. Persona menunjuk pada semua “topeng sosial” yang berbeda-beda yang kita kenakan dalam situasi dan kelompok yang berbeda.
Topeng bertujuan melindungi ego dari negative images (kesan negatif). Menurut psikiater Swiss, Carl Gustav Jung, persona mungkin muncul dalam mimpi dan mengambil sejumlah bentuk yang berbeda-beda.
Semua orang dalam hidupnya, dalam kadar tertentu, mengenakan “topeng”. Lazimnya topeng digunakan untuk sopan santun. Ketika suasana membosankan, kita mengenakan topeng wajah nyaman.
Dalam kadar “tipis” atau “ringan” topeng memberi manfaat dalam membina relasi. Tetapi jika topeng digunakan secara terus-menerus, berlama-lama, dia akan menjadi semacam bentuk pertahanan diri (defense mehcanism), yang bisa menghambat pertumbuhan pribadi orang itu.
Topeng menyembunyikan wajah, menyembunyikan jati diri. Topeng atau permainan peran menyembunyikan perasaan dan diri kita yang sebenarnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kita menyembunyikan diri kita? Mengapa kita tidak menginginkan orang lain mengetahui siapa diri kita? Yang lebih parah adalah mengapa kita takut terhadap diri sendiri?
Kita mengenakan topeng karena kita takut bersikap terbuka. Kita tidak mau terbuka karena takut terluka atau melukai orang yang kita sayangi.
Sesungguhnya keterbukaan merupakan kunci bagi pertumbuhan diri dan relasi dengan orang lain. Hanya dengan bersikap terbuka, menerima dan mencintai diri sendiri, barulah kita bisa terbuka, menerima, dan mencintai sesama.
Syukurlah Tuhan bisa melihat apa yang ada di balik topeng. Ia mengetahui rahasia hati. Kita tak perlu berpura-pura atau bermain peran di hadapan Tuhan. Kita bisa menjadi diri kita sendiri dan Tuhan tetap mencintai kita apa adanya.
Terbuka di hadapan Tuhan bukan hal yang mudah. Itu berarti mengizinkan Tuhan berkarya di dalam hidup kita: mengambil hal-hal yang tidak berkenan di mata-Nya, tetapi sekaligus memberikan hal-hal yang baik menurut Dia.
Bersediakah kita terbuka di hadapan hadirat-Nya? —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 23/7/12 (diedit sedikit)
==========
Ada orang-orang yang begitu mencintai topeng, sampai-sampai memiliki koleksi topeng. Terkait dengan seni pertunjukan, topeng digunakan orang saat menari, sandiwara, dan lain sebagainya. Bagi penjahat, topeng digunakan untuk menyembunyikan identitas diri.
Dari sudut pandang psikologi, topeng atau mask atau persona adalah bagaimana kita menampilkan diri atau memperlihatkan diri kita kepada dunia. Persona menunjuk pada semua “topeng sosial” yang berbeda-beda yang kita kenakan dalam situasi dan kelompok yang berbeda.
Topeng bertujuan melindungi ego dari negative images (kesan negatif). Menurut psikiater Swiss, Carl Gustav Jung, persona mungkin muncul dalam mimpi dan mengambil sejumlah bentuk yang berbeda-beda.
Semua orang dalam hidupnya, dalam kadar tertentu, mengenakan “topeng”. Lazimnya topeng digunakan untuk sopan santun. Ketika suasana membosankan, kita mengenakan topeng wajah nyaman.
Dalam kadar “tipis” atau “ringan” topeng memberi manfaat dalam membina relasi. Tetapi jika topeng digunakan secara terus-menerus, berlama-lama, dia akan menjadi semacam bentuk pertahanan diri (defense mehcanism), yang bisa menghambat pertumbuhan pribadi orang itu.
Topeng menyembunyikan wajah, menyembunyikan jati diri. Topeng atau permainan peran menyembunyikan perasaan dan diri kita yang sebenarnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kita menyembunyikan diri kita? Mengapa kita tidak menginginkan orang lain mengetahui siapa diri kita? Yang lebih parah adalah mengapa kita takut terhadap diri sendiri?
Kita mengenakan topeng karena kita takut bersikap terbuka. Kita tidak mau terbuka karena takut terluka atau melukai orang yang kita sayangi.
Sesungguhnya keterbukaan merupakan kunci bagi pertumbuhan diri dan relasi dengan orang lain. Hanya dengan bersikap terbuka, menerima dan mencintai diri sendiri, barulah kita bisa terbuka, menerima, dan mencintai sesama.
Syukurlah Tuhan bisa melihat apa yang ada di balik topeng. Ia mengetahui rahasia hati. Kita tak perlu berpura-pura atau bermain peran di hadapan Tuhan. Kita bisa menjadi diri kita sendiri dan Tuhan tetap mencintai kita apa adanya.
Terbuka di hadapan Tuhan bukan hal yang mudah. Itu berarti mengizinkan Tuhan berkarya di dalam hidup kita: mengambil hal-hal yang tidak berkenan di mata-Nya, tetapi sekaligus memberikan hal-hal yang baik menurut Dia.
Bersediakah kita terbuka di hadapan hadirat-Nya? —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 23/7/12 (diedit sedikit)
==========
21 Juli 2012
Pemahat
Konon Tuhan pernah membuka diri, mendengarkan doa-doa seorang pemahat yang tinggal di sebuah gunung. Ia pemahat yang piawai, setiap karyanya selalu memancarkan keindahan yang elegan.
Suatu pagi, saat memahat di tengah kesunyian, sayup-sayup sang pemahat mendengar warga dusun di lembah yang mengelu-elukan seorang raja. Ia berhenti memahat dan bergabung dengan warga dusun.
Sang pemahat memandang penuh kekaguman ketika iringan raja melintas di depannya. Jubah sutra membungkus tubuh raja, mahkota berlian melilit kepala, penuh pesona, dan dipuja rakyat.
“Tuhan, aku ingin memiliki kemuliaan dan kekuasaan seperti raja,” ia meminta dalam doanya. **Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.** Ia mengabulkan permintaan pemahat.
Sang pemahat menjadi raja penuh kemuliaan. Ia diarak melintasi kerumunan rakyat, dan begitu bahagia. Saat melambaikan tangan di bawah terik matahari, ia berpeluh. Katanya sambil memandang ke langit, “Tuhan, bolehkah aku menjadi matahari?”
Tuhan memenuhi hasratnya. Dia menjadi matahari yang memancarkan cahaya ke alam semesta. Ia bahagia menjadi matahari sampai suatu saat segumpal awan besar menutupinya. Sinarnya tak bisa menjangkau bumi, dan ia pun berpikir bahwa awan lebih hebat daripada matahari.
“Ah, aku ingin menjadi awan saja.” Jadilah ia awan. Sekarang ia bisa menghalangi matahari dan merasa sangat kuat. Ia menjadi awan besar dan mencurahkan air hujan ke segenap ciptaan Tuhan. Satwa, fauna, dan manusia basah kuyup olehnya.
Namun, ada sebuah batu besar yang sama sekali tak terpengaruh oleh kekuatannya. Batu itu tegar di bawah guyuran hujan deras. Ia pun berdoa ingin menjadi batu, dan jadilah ia batu besar.
Sampai suatu hari seorang lelaki mendekatinya, sambil membawa sebuah tas penuh alat-alat untuk memahat. Lelaki itu mengeluarkan pahat dan palu, lalu mulai memahatnya.
“Jadi, inikah makhluk yang lebih kuat dari batu? Oh, Tuhan aku ingin sekali menjadi pemahat yang piawai!” Doa itu pun dikabulkan Tuhan.
Akhirnya, si batu kembali kepada fitrah pemahat. Ia menemukan kembali jati dirinya sebagai pemahat. Ia memahat batu-batu tegar yang tak goyah oleh hujan dan tak retak karena sinar matahari. Talenta ini disyukurinya sebagai rahmat Tuhan terbaik dalam hidupnya.
Sang pemahat menyadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi raja, walaupun ada orang yang menjadi “matahari”. Tetapi yang terpenting seseorang harus bisa mengenali jati dirinya.
Sang pemahat benar. Jika kita mengenali jati diri, maka kita akan selalu mensyukuri rahmat terbaik dan karunia terhebat dari Tuhan bagi kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/7/12 (diedit seperlunya)
==========
Suatu pagi, saat memahat di tengah kesunyian, sayup-sayup sang pemahat mendengar warga dusun di lembah yang mengelu-elukan seorang raja. Ia berhenti memahat dan bergabung dengan warga dusun.
Sang pemahat memandang penuh kekaguman ketika iringan raja melintas di depannya. Jubah sutra membungkus tubuh raja, mahkota berlian melilit kepala, penuh pesona, dan dipuja rakyat.
“Tuhan, aku ingin memiliki kemuliaan dan kekuasaan seperti raja,” ia meminta dalam doanya. **Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.** Ia mengabulkan permintaan pemahat.
Sang pemahat menjadi raja penuh kemuliaan. Ia diarak melintasi kerumunan rakyat, dan begitu bahagia. Saat melambaikan tangan di bawah terik matahari, ia berpeluh. Katanya sambil memandang ke langit, “Tuhan, bolehkah aku menjadi matahari?”
Tuhan memenuhi hasratnya. Dia menjadi matahari yang memancarkan cahaya ke alam semesta. Ia bahagia menjadi matahari sampai suatu saat segumpal awan besar menutupinya. Sinarnya tak bisa menjangkau bumi, dan ia pun berpikir bahwa awan lebih hebat daripada matahari.
“Ah, aku ingin menjadi awan saja.” Jadilah ia awan. Sekarang ia bisa menghalangi matahari dan merasa sangat kuat. Ia menjadi awan besar dan mencurahkan air hujan ke segenap ciptaan Tuhan. Satwa, fauna, dan manusia basah kuyup olehnya.
Namun, ada sebuah batu besar yang sama sekali tak terpengaruh oleh kekuatannya. Batu itu tegar di bawah guyuran hujan deras. Ia pun berdoa ingin menjadi batu, dan jadilah ia batu besar.
Sampai suatu hari seorang lelaki mendekatinya, sambil membawa sebuah tas penuh alat-alat untuk memahat. Lelaki itu mengeluarkan pahat dan palu, lalu mulai memahatnya.
“Jadi, inikah makhluk yang lebih kuat dari batu? Oh, Tuhan aku ingin sekali menjadi pemahat yang piawai!” Doa itu pun dikabulkan Tuhan.
Akhirnya, si batu kembali kepada fitrah pemahat. Ia menemukan kembali jati dirinya sebagai pemahat. Ia memahat batu-batu tegar yang tak goyah oleh hujan dan tak retak karena sinar matahari. Talenta ini disyukurinya sebagai rahmat Tuhan terbaik dalam hidupnya.
Sang pemahat menyadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi raja, walaupun ada orang yang menjadi “matahari”. Tetapi yang terpenting seseorang harus bisa mengenali jati dirinya.
Sang pemahat benar. Jika kita mengenali jati diri, maka kita akan selalu mensyukuri rahmat terbaik dan karunia terhebat dari Tuhan bagi kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/7/12 (diedit seperlunya)
==========
21 Juni 2012
Sabuk Putih
Jigoro Kano, pencipta ilmu bela diri Yudo, dikenal memiliki kemauan yang luar biasa dalam belajar. Ia mempelajari Jujitsu yang hampir punah, lalu mengubah seni bela diri ini dengan memasukkan prinsip-prinsip olahraga modern, yang kemudian dikenal sebagai Yudo. Saat ini Yudo menjadi bela diri resmi polisi Jepang dan merupakan olahraga bela diri Timur pertama yang dipertandingkan di Olimpiade.
Menjelang kematiannya, Kano memanggil murid-muridnya untuk menyampaikan kata-kata terakhir, pintanya, “Jika kalian menguburkan aku, jangan kuburkan aku dengan sabuk hitam. Kuburkan aku dengan sabuk putih.” Sabuk putih adalah simbol yudoka pemula—murid yang belum piawai dan masih harus banyak berlatih. Inilah pelajaran tentang kerendahan hati dan kerelaan untuk belajar yang luar biasa.
Sabuk putih Kano hendak mengajarkan kepada kita, bahwa siapa pun yang berhenti belajar artinya menjadi tua, layu, kedaluwarsa, dan merapatkan diri pada kebodohan. Jika berhenti belajar hanya kebodohan yang kita raih. Jangan biarkan kebodohan membelenggu kita. Bebaskanlah diri kita dari kebodohan dengan tetap belajar. Kita tidak hanya lebih pandai, prima dan segar, tetapi hidup kita jauh lebih berkualitas.
Kita sesungguhnya memiliki banyak sekali modus belajar. Semasa kanak-kanak kita bermain untuk belajar tentang kehidupan. Kita juga memasuki arena pertandingan dan perlombaan untuk belajar menerima kekalahan, dan merasakan nikmatnya menjadi pemenang. Semakin dewasa kita pun belajar menjalani segmen demi segmen kehidupan ini untuk menjadi lebih baik dan benar, menolak dan menjauhkan diri dari kefasikan.
Marilah membiasakan diri mengenakan ‘sabuk putih’, senantisa menjadi pembelajar. Kebiasaan belajar (termasuk mempelajari firman Tuhan – red) akan membuat hidup kita semakin penuh hikmat; kita semakin tahu kebenaran dan kehendak Tuhan. Selamat menjadi pembelajar di “universitas” kehidupan ini. —Agus Santosa
Siapa pun yang berhenti belajar artinya sudah tua, entah itu terjadi pada usia 20 tahun ataupun 80 tahun. Siapa pun yang terus belajar tidak hanya tetap muda, tetapi secara konsisten lebih berharga, terlepas dari kondisi fisiknya. — Harvey Ullman
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 21/6/12 (dipersingkat)
==========
Menjelang kematiannya, Kano memanggil murid-muridnya untuk menyampaikan kata-kata terakhir, pintanya, “Jika kalian menguburkan aku, jangan kuburkan aku dengan sabuk hitam. Kuburkan aku dengan sabuk putih.” Sabuk putih adalah simbol yudoka pemula—murid yang belum piawai dan masih harus banyak berlatih. Inilah pelajaran tentang kerendahan hati dan kerelaan untuk belajar yang luar biasa.
Sabuk putih Kano hendak mengajarkan kepada kita, bahwa siapa pun yang berhenti belajar artinya menjadi tua, layu, kedaluwarsa, dan merapatkan diri pada kebodohan. Jika berhenti belajar hanya kebodohan yang kita raih. Jangan biarkan kebodohan membelenggu kita. Bebaskanlah diri kita dari kebodohan dengan tetap belajar. Kita tidak hanya lebih pandai, prima dan segar, tetapi hidup kita jauh lebih berkualitas.
Kita sesungguhnya memiliki banyak sekali modus belajar. Semasa kanak-kanak kita bermain untuk belajar tentang kehidupan. Kita juga memasuki arena pertandingan dan perlombaan untuk belajar menerima kekalahan, dan merasakan nikmatnya menjadi pemenang. Semakin dewasa kita pun belajar menjalani segmen demi segmen kehidupan ini untuk menjadi lebih baik dan benar, menolak dan menjauhkan diri dari kefasikan.
Marilah membiasakan diri mengenakan ‘sabuk putih’, senantisa menjadi pembelajar. Kebiasaan belajar (termasuk mempelajari firman Tuhan – red) akan membuat hidup kita semakin penuh hikmat; kita semakin tahu kebenaran dan kehendak Tuhan. Selamat menjadi pembelajar di “universitas” kehidupan ini. —Agus Santosa
Siapa pun yang berhenti belajar artinya sudah tua, entah itu terjadi pada usia 20 tahun ataupun 80 tahun. Siapa pun yang terus belajar tidak hanya tetap muda, tetapi secara konsisten lebih berharga, terlepas dari kondisi fisiknya. — Harvey Ullman
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 21/6/12 (dipersingkat)
==========
Langganan:
Postingan (Atom)