20 Maret 2013

Risiko

Di pedalaman Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, seorang petani duduk di serambi gubuknya yang hampir roboh. Datanglah seorang asing yang meminta segelas air.

Setelah minum, untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, orang asing itu mencoba menyenangkan hati si petani dengan bertanya, “Bagaimana keadaan tanaman kapasmu tahun ini?”

Petani itu menjawab, “Aku tidak menanam sebatang pun.” Orang asing itu untuk sejenak tertegun, tapi kemudian segera menanggapi, “Tidak menanam sebatang pun?” “Tidak, aku khawatir ada hama penggerek,” jelas petani itu.

Lalu orang asing itu bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana dengan tananam jagungmu?” Si petani dengan agak ogah-ogahan menjelaskan, “Jagung juga tidak aku tanam. Aku cemas kalau hujan tidak akan turun.”

Masih mencoba agar bisa menyenangkan si petani, orang asing itu bertanya lagi, “Baiklah, bagaimana dengan tanaman kentangmu?” Segera petani itu menjawab, “Aku sama sekali tidak menanamnya sebab aku khawatir akan hama kentang.”

Dengan penasaran orang asing itu bertanya, “Kalau begitu, apa yang kau tanam tahun ini?” Jawab petani itu dengan enteng, “Tidak ada. Aku hanya tidak mau mengambil risiko.”

Cerita Jacob Braude ini mengingatkan saya pada perumpamaan Yesus tentang talenta yang tertulis di dalam Matius 25:14-30. Kita mungkin telah hafal isi perumpamaan yang terkenal ini. Bukankah kisah petani di atas mirip dengan hamba yang menerima satu talenta?

Hamba yang menerima satu talenta itu pergi dan menggali lobang di dalam tanah lalu menyembunyikan uang tuannya. Apa sebabnya? Tampak jelas dari jawabannya, “...aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah.” Hamba itu takut mengambil risiko.

perumpamaan tentang talenta

Tidak sedikit di antara kita yang juga tidak berani mengambil risiko. Golongan ini lebih suka jalan yang datar-datar saja, yang penting aman, apalagi kalau bisa nyaman.

Bagaimanapun juga, dalam hidup ini —termasuk dalam pekerjaan— risiko selalu ada.

Leo F. Buscaglia mendeskripsikan orang yang tidak mau mengambil risiko sebagai berikut: “The person who risks nothing does nothing, has nothing, is nothing, and becomes nothing. He may avoid suffering and sorrow; but he simply cannot learn, feel, change, grow, love, and live.

Talenta apa saja yang sudah dikaruniakan Tuhan kepada Anda untuk dikembangkan? Ataukah Anda hanya menyimpan talenta itu, tidak melakukan apa-apa dengannya karena takut mengambil risiko? Apakah Anda termasuk orang yang berani, gegabah, atau takut mengambil risiko?

* * *

Penulis: Liana Poedjihastuti

Sumber: KristusHidup.org, 19/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

19 Maret 2013

1.000 Kelereng

Jeffrey Davis menulis buku berjudul 1,000 Marbles (1.000 Kelereng), karena tergugah ajakan seorang penyiar senior dalam acara radionya. Si penyiar mengajak para pendengar untuk selalu menata prioritas karena masa hidup manusia ada batasnya.

Jika seseorang hidup hingga usia 75 tahun, maka dikalikan dengan 52 (jumlah minggu dalam setahun), berarti orang itu memiliki 3.900 pekan yang bisa ia pergunakan dengan cara terbaik.

1.000 Kelereng

Saat itu si penyiar sudah berusia 55 tahun. Jadi, andai ia diberi hidup sampai usia 75, berarti ia tinggal punya 1.000 minggu lagi!

Ia bergegas ke toko mainan. Membeli 1.000 kelereng. Lalu menaruhnya di stoples kaca. Setiap minggu ia akan mengeluarkan satu kelereng dan membuangnya.

Sejak itu, berkurangnya kelereng di dalam stoples memperingatkannya betapa ia harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Ia mesti menata prioritas hidup secara benar dan mengutamakan hal yang terpenting.

kelereng yang tersisa

Tanpa menata prioritas, kita akan membuang banyak waktu secara percuma untuk hal yang kurang penting atau bahkan yang tak berguna.

Sebaliknya, prioritas yang benar mengarahkan kita pada tujuan utama kita, yaitu: memuliakan nama Tuhan, melalui segala hal dalam hidup kita.

Sudahkah kita mencari Kerajaan Allah? Sudahkah keluarga kita memuliakan Dia? Sudahkah pekerjaan kita memancarkan kemurahan-Nya? Sudahkah pelayanan kita menyatakan kebesaran kuasa-Nya?

Carilah dahulu Kerajaan Allah. Maka, semua yang kita perlukan, tak usah kita khawatirkan, karena Dia akan mencukupkan.

Jangan tenggelam dalam aktivitas dan rutinitas, berilah prioritas pada Tuhan di tempat teratas.

* * *

Penulis: Agustina Wijayani | e-RH, 19/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

18 Maret 2013

Sekolah Padang Gurun

Eric Wilson, seorang dosen, ingin hidup lebih bahagia. Berbagai cara dicobanya. Ia membaca berbagai buku, mencoba banyak tersenyum, mengucapkan kata-kata positif, dan menonton film komedi. Semuanya tidak menolong.

Akhirnya, ia mengarang buku berjudul Against Happiness (Melawan Kebahagiaan). Menurutnya, kebahagiaan tidak bisa dikejar atau dibuat. Ia akan muncul sendiri setelah kita berhasil menghadapi persoalan sulit, ketidakpuasan, bahkan penderitaan. Jadi, jalan untuk mencapai kebahagiaan ialah harus melalui kesulitan!


Nabi Musa menghabiskan masa mudanya di istana Firaun. Hidupnya nyaman, tetapi tidak bahagia. Suatu saat, datanglah jalan yang sulit. Setelah membunuh seorang Mesir, Musa ketakutan lalu melarikan diri ke padang gurun.

Hidupnya berubah drastis. Dulu serba ada, kini serba tidak punya. Anak raja Mesir itu kini hanyalah seorang pendatang di Midian. Namun, di padang gurun itu justru Musa belajar banyak tentang kesendirian; tentang kerasnya kehidupan gurun; tentang susahnya menghadapi orang sulit.

Tanpa disadarinya, Tuhan menempatkan dan menempanya di sekolah padang gurun itu untuk mempersiapkannya menjadi pemimpin umat. Musa akhirnya berjumpa Tuhan dan menemukan kebahagiaan ketika menjalani panggilannya.

Nabi Musa

Kebahagiaan muncul ketika kita berjuang, lalu berhasil. Oleh sebab itu, jangan menggerutu jika Anda sedang ditempa oleh Tuhan melewati "sekolah padang gurun".

Berjuanglah. Syukurilah tiap pengalaman hidup yang sulit. Belajarlah sesuatu dari sana dengan terus meyakini bahwa setelah "lulus" nanti, kebahagiaan menanti! —JTI

Tanpa perjuangan, tidak ada kebahagiaan.

* * *

Sumber: e-RH, 13/6/2011 (diedit seperlunya)

==========

13 Maret 2013

100.000 Kata!

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa rata-rata setiap orang punya 700 kesempatan untuk berbicara kepada orang lain setiap hari.

Orang yang banyak bicara memakai 12.000 kalimat atau kira-kira 100.000 kata dalam sehari! Bayangkan, berapa banyak masalah yang timbul dalam sehari oleh 100.000 kata-kata, dan berapa banyak berkat yang dihasilkannya?


Hati-hati dengan perkataan! Ada banyak orang terluka karena kata-kata yang tidak tepat dan tidak bijaksana.

Sebagai orangtua, kadang kita tidak menyadari bahwa perkataan kita menyakiti anak-anak kita.

Sebagai orang percaya, kadangkala perkataan kita menjadi batu sandungan bagi orang yang mendengarnya. Tanpa sadar dari mulut kita keluar perkataan sinis, tajam, keras, pedas, bahkan perkataan kotor yang tidak seharusnya keluar dari mulut kita.

Belum lagi ada orang yang hobi menggosip. Bisa dibayangkan akibatnya.

Tuhan menghendaki kita benar-benar bertanggung jawab atas setiap kata yang kita ucapkan, sementara selama ini mungkin kita tak peduli dengan kata-kata yang meluncur dari mulut kita. Kita tak pernah peduli apakah kata-kata kita menjadi berkat, atau sebaliknya, menyakiti hati orang lain.

Tuhan menghendaki agar yang keluar dari mulut kita itu adalah kata-kata yang manis, menguatkan, membangun, dan bisa menjadi berkat bagi orang yang mendengarnya.

Untuk menjaga perkataan memang bukan hal mudah, tetapi kalau kita mau melatih lidah dan perkataan kita untuk mengucapkan hal-hal yang baik dan benar, yakinlah bahwa itu akan meminimalkan kesalahan dari perkataan yang keluar dari mulut kita. —PK

Sudahkah kita bertangung jawab atas setiap kata yang keluar dari mulut kita?

* * *

Sumber: e-RH, 4/6/2011 (diedit seperlunya)

==========

09 Maret 2013

Jujur Itu Mujur

Ketika sampai di rumah, seorang pensiunan di kota Braunschweig, Jerman sangat terkejut. Ia membeli daging seharga Rp69.000, namun ternyata kantong yang dibawanya pulang berisi uang sebanyak Rp24.700.000.

Rupanya secara tak sengaja pegawai toko memberinya bungkusan yang salah. Segera ia menelepon polisi dan mengembalikan uang itu. Sebagai imbalan atas kejujurannya, ia mendapatkan hadiah sekeranjang sosis dan uang Rp1.200.000.


Firman Tuhan menyatakan bahwa kejujuran bukan hanya bermanfaat untuk orang yang bersangkutan, namun meluas ke lingkungan tempat tinggalnya.

Tindakan yang jujur bersumber dari hati yang tulus, kesediaan untuk mempraktikkan kebenaran, dan penghargaan pada proses kerja yang berbuah langgeng.

Orang fasik, sebaliknya, mengejar hasil yang melimpah secara manipulatif. Kejujuran mendatangkan berkat; kefasikan merusak masyarakat.

Komunitas apa pun tidak mungkin berkembang menjadi maju dan nyaman untuk didiami jika tidak dibangun di atas dasar kejujuran dan ketulusan warganya.

Menurut sebuah survei, keunggulan suatu negara dan kepuasan warganya tidak ditentukan oleh kekayaan alam yang mereka miliki. Penentunya adalah bangunan relasi masyarakat yang berlandaskan kejujuran, kerja keras, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan dan penegak hukum, serta adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Anda rindu bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul? Sebagai orang beriman, kita dapat berperan dengan mengedepankan kejujuran dalam berkarya.

Kejujuran mendatangkan berkat. Kefasikan merusak masyarakat.

* * *

Penulis: Susanto

Sumber: e-RH, 9/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

04 Maret 2013

Balok di Mata

Seorang buta dan seorang juling sedang bertengkar. "Ayo kita berkelahi di lapangan, siapa menang, dia yang benar," kata si buta. Si juling menjawab, "Siapa takut?"

Ketika mereka sampai di lapangan, si buta berteriak, "Hei pengecut, jangan sembunyi di tempat gelap, hadapi aku." Tapi si juling segera menyahut, "Kau yang pengecut, kenapa kau membawa teman? Kalau kau lelaki sejati, majulah satu lawan satu."

Padahal, tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Si buta menganggap si juling bersembunyi, sedang si juling melihat seolah-olah ada dua lawan di hadapannya, padahal tidak.


Dalam kehidupan, kita bisa mengalami dan menyaksikan hal konyol semacam ini. Orang munafik bisa selalu menemukan kelemahan dan ketidakberesan orang lain. Sedangkan kesalahan dan kedegilan hatinya sendiri yang lebih besar tak mampu dikenalinya.

Kita akan merasa tidak nyaman jika dekat dengan orang seperti ini. Sebab ia bisa menemukan hal-hal yang dianggapnya tidak beres, tetapi ia tidak mampu dan tidak mau mengakui kelemahannya sendiri.

Bagaimana menghadapi orang seperti ini? Apakah dengan menjauhinya, sebab mengurus orang seperti ini hanya menguras energi?

Stop, jangan tergesa bertindak demikian. Sebab, jangan-jangan kita sendiri orang munafik itu. Sebuah nasihat mengingatkan: "Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu."

Artinya, setelah memeriksa diri sendiri, barulah kita dimampukan menolong orang lain yang punya kesalahan, sebagai saudara. Caranya? Dengan kasih, dan tidak menghakimi. —SST

Periksa diri sendiri sebelum menghakimi. Itu yang menolong kita untuk dapat selalu mengasihi.

* * *

Sumber: e-RH, 11/5/2011 (diedit seperlunya)

Judul asli: Balok di Matamu

==========

03 Maret 2013

Masih Ingin Lebih

Sebuah dongeng. Seorang pemburu telah berjasa menyelamatkan kuda kesayangan raja dari terkaman harimau. Sebagai hadiah, raja memberikan kepadanya hadiah berupa tanah, seluas yang bisa ia kelilingi dengan berlari dalam tiga hari.

Maka, bergegaslah sang pemburu berlari. Siang malam ia berlari tiada henti, demi mendapat tanah seluas-luasnya. Tidak peduli lapar dan haus, hujan dan terik matahari.

Rasanya masih kurang luas, masih kurang luas. Sampai akhirnya tibalah hari ketiga, sang pemburu jatuh tersungkur lalu mati karena kelelahan.

Begitulah kalau kita terjebak dalam ambisi yang tanpa batas. Kita dipacu untuk terus bekerja dengan teramat keras. Kita didorong untuk menumpuk harta benda dengan tidak kenal lelah, tidak kenal henti. Sampai-sampai bisa lupa keluarga, lupa kesehatan, bahkan juga lupa Tuhan.


Seperti si pemburu yang terus berlari dan berlari, demi memenuhi ambisi mendapatkan tanah seluas-luasnya. Sudah mendapat banyak, tetapi masih ingin lebih banyak lagi. Ketika tiba di ujung jalan, kita baru tersadar betapa sia-sianya semua itu. Namun, sudah terlambat.

Itu pula pesan yang ingin disampaikan Yesus dalam perumpamaan tentang “orang kaya yang bodoh” (dicatat dalam Perjanjian Baru). Bahwa harta kekayaan sebesar apa pun tidak bisa dijadikan sandaran hidup sepenuhnya dan seutuhnya. Sebab Tuhan bisa memanggil kita kapan saja.

Apabila saat itu tiba, selesai jugalah segala urusan kita dengan harta benda di dunia ini. Maka, penting sekali untuk kita tidak membiarkan diri terjebak dalam pementingan harta benda yang berlebihan. —AYA

Keserakahan adalah awal kehancuran.

* * *

Sumber: e-RH, 8/5/2011 (diedit seperlunya)

==========

Artikel Terbaru Blog Ini