Meskipun saya senang belajar dari masukan orang lain, pada kenyataannya tidak selalu mudah mencerna dan menerimanya.
Suatu kali pemimpin saya mengembalikan sejumlah naskah yang sudah saya tulis dengan susah payah disertai komentar yang intinya mengatakan bahwa naskah-naskah itu harus dirombak ulang.
Spontan saya protes dan berusaha membela pendapat saya. Lucunya, ketika pikiran sudah lebih tenang, dan saya membaca ulang komentar-komentar yang diberikan, saya menemukan banyak konsep saya yang memang keliru.
Sambil memperbaikinya, saya bersyukur. Kritik membangun mencegah saya melakukan kesalahan yang memalukan, sekaligus membuka wawasan dan mengasah ketajaman pikiran saya.
Sebuah nasihat bijak mengingatkan kita agar memiliki sikap yang terbuka untuk diajar. Teguran-teguran yang dimaksudkan untuk membangun haruslah didengarkan. Bukan didengarkan sambil lalu, tetapi diterima dengan pikiran terbuka.
Teguran yang membangun itu sama dengan didikan atau pengajaran yang memberikan akal budi. Rugi besar jika kita mengabaikannya, karena berarti kita sedang membuang kesempatan untuk maju.
Sikap yang mau diajar adalah cermin kerendahan hati. Jika seseorang tidak cukup rendah hati untuk menerima masukan dari sesama manusia, mungkinkah ia bisa sepenuh hati mendengarkan didikan Tuhan?
Acap kali pekerjaan dan pelayanan terhambat, dan hubungan dengan orang lain bermasalah, karena kita menolak untuk saling mendengarkan. Kita tidak mau belajar dari orang lain yang Tuhan tempatkan di sekitar kita.
Adakah noda keangkuhan yang mungkin perlu kita bersihkan agar kita dapat dengan jernih melihat masukan-masukan yang bermanfaat di sekitar kita? —ELS
Teguran yang tulus ibarat pisau operasi. Ditujukan untuk memperbaiki, bukan untuk menyakiti.
* * *
Sumber: e-RH, 29/12/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Berkat dari Kritik
==========