Konon Tuhan pernah membuka diri, mendengarkan doa-doa seorang pemahat yang tinggal di sebuah gunung. Ia pemahat yang piawai, setiap karyanya selalu memancarkan keindahan yang elegan.
Suatu pagi, saat memahat di tengah kesunyian, sayup-sayup sang pemahat mendengar warga dusun di lembah yang mengelu-elukan seorang raja. Ia berhenti memahat dan bergabung dengan warga dusun.
Sang pemahat memandang penuh kekaguman ketika iringan raja melintas di depannya. Jubah sutra membungkus tubuh raja, mahkota berlian melilit kepala, penuh pesona, dan dipuja rakyat.
“Tuhan, aku ingin memiliki kemuliaan dan kekuasaan seperti raja,” ia meminta dalam doanya. **Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.** Ia mengabulkan permintaan pemahat.
Sang pemahat menjadi raja penuh kemuliaan. Ia diarak melintasi kerumunan rakyat, dan begitu bahagia. Saat melambaikan tangan di bawah terik matahari, ia berpeluh. Katanya sambil memandang ke langit, “Tuhan, bolehkah aku menjadi matahari?”
Tuhan memenuhi hasratnya. Dia menjadi matahari yang memancarkan cahaya ke alam semesta. Ia bahagia menjadi matahari sampai suatu saat segumpal awan besar menutupinya. Sinarnya tak bisa menjangkau bumi, dan ia pun berpikir bahwa awan lebih hebat daripada matahari.
“Ah, aku ingin menjadi awan saja.” Jadilah ia awan. Sekarang ia bisa menghalangi matahari dan merasa sangat kuat. Ia menjadi awan besar dan mencurahkan air hujan ke segenap ciptaan Tuhan. Satwa, fauna, dan manusia basah kuyup olehnya.
Namun, ada sebuah batu besar yang sama sekali tak terpengaruh oleh kekuatannya. Batu itu tegar di bawah guyuran hujan deras. Ia pun berdoa ingin menjadi batu, dan jadilah ia batu besar.
Sampai suatu hari seorang lelaki mendekatinya, sambil membawa sebuah tas penuh alat-alat untuk memahat. Lelaki itu mengeluarkan pahat dan palu, lalu mulai memahatnya.
“Jadi, inikah makhluk yang lebih kuat dari batu? Oh, Tuhan aku ingin sekali menjadi pemahat yang piawai!” Doa itu pun dikabulkan Tuhan.
Akhirnya, si batu kembali kepada fitrah pemahat. Ia menemukan kembali jati dirinya sebagai pemahat. Ia memahat batu-batu tegar yang tak goyah oleh hujan dan tak retak karena sinar matahari. Talenta ini disyukurinya sebagai rahmat Tuhan terbaik dalam hidupnya.
Sang pemahat menyadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi raja, walaupun ada orang yang menjadi “matahari”. Tetapi yang terpenting seseorang harus bisa mengenali jati dirinya.
Sang pemahat benar. Jika kita mengenali jati diri, maka kita akan selalu mensyukuri rahmat terbaik dan karunia terhebat dari Tuhan bagi kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/7/12 (diedit seperlunya)
==========