Di Desa Bakaran, Juwana, Jawa Tengah orang memiliki kebiasaan ekonomis. Kerbau dan sapi diangon di jalan-jalan, binatang itu buang air besar di sembarang tempat. Tetapi kotoran binatang ternak itu tidak dibiarkan terlalu lama mencolok mata. Segera dibersihkan, dikumpulkan, lalu dijemur untuk digunakan sebagai pediang, bahan bakar pengasapan di kandang.
Kritik seperti kotoran kerbau! Akan dibuang atau dimanfaatkan sebagai pediang atau pupuk kandang?
Kritik biasanya tidak sedap didengar, tidak ada kritik semerdu alunan keroncong. Meski lembut disuarakan, kritik terdengar sumbang, menggetarkan, bahkan mengguncang perasaan.
Kritik sering kali menyengat, merangsang amarah — terlebih kalau kita merasa dikecam atau dicerca.
Tidak ada kritik selezat tiramisu meski dilapisi ‘stiker gula’ berlabel “Kritik Membangun”.
Kritik atau teguran sejatinya untuk mengoreksi, namun dikoreksi tentu membuat kita tidak nyaman.
Anda mungkin bisa mengajukan suatu proposal tentang bagaimana etika mengkritik diri Anda, rambu dan jadwal menegur, ataupun kadar toleransi kecaman yang bisa Anda terima.
Anda mungkin bisa membangun kriteria sendiri, apakah seseorang itu kritikus bijak atau pengecam jahanam. Namun tetap saja Anda tidak kuasa melarang orang mengkritik.
Pepatah Persia mengatakan, “Anak-anak hanya melempar batu ke pohon yang berbuah.” Hal yang sama dilakukan orang-orang, mereka hanya mengkritik apa yang sudah kita lakukan, hasil perbuatan kita.
Jika Anda tidak ingin dikritik, diam saja, jangan melakukan apa pun, artinya Anda memilih untuk ‘mati suri’.
Tidak semua orang mau mendengarkan nasihat Dale Carnegie yang ditulis dalam bukunya, How to Win Friends and Influence People: “Jangan mengkritik, mencerca, atau mengeluh!”
Anda tidak bisa mengeliminasi kritik dengan mengatakan, “Hati-hatilah Anda! Mengkritik itu sama saja mengarahkan satu jari telunjuk ke saya, tetapi tiga jari ke arah Anda sendiri, dan ibu jari Anda ke atas, menunjuk Tuhan atau orang yang Anda anggap bertanggung jawab.”
Tentu saja kritik tidak pernah senikmat pujian. Tidak ada di antara kita yang senang orang lain mengecam, mencerca, atau mengatakan hal-hal negatif.
Jika Anda menolak dan membela diri, tentu saja alamiah. Namun, tidak seorang pun yang sempurna, dan sering kali orang lain yang justru lebih jeli melihat kelemahan dan kesalahan kita.
Kritik tidak seratus persen buruk. Kritik bisa menolong untuk menilai apa yang sudah kita lakukan.
Tentu saja, tidak semua kritik sahih dan bijak. Namun kita tidak perlu langsung apriori, menolak kritik dari siapa pun dan dalam wacana apa pun.
Kita dengarkan dan simak saja, barangkali ada kebenaran yang tersirat di balik kritik itu. Dan, mungkin itulah kesempatan kita untuk mengubah jalur atau menata kembali langkah-langkah kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 1/9/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Kritik
==========