30 November 2012

Menangkap Monyet

Petani Afrika mempunyai kiat ampuh untuk menangkap monyet. Mereka menyediakan semacam stoples yang mulutnya cukup besar bagi tangan monyet untuk masuk ke dalamnya.

Stoples-stoples itu diisi dengan jagung dan kacang-kacangan, makanan kegemaran monyet, dan diletakkan di pinggir ladang. Para petani lalu bersembunyi.

Monyet-monyet segera turun dari dahan pohon, menoleh ke kiri dan ke kanan. Setelah merasa aman, mulailah monyet-monyet itu memasukkan tangannya ke dalam stoples yang berisi makanan itu. Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para petani. Mereka menyerbu dan menangkap monyet.


Monyet-monyet sesudah memasukkan tangannya dan menggenggam makanan tidak mau melepaskan kepalannya lagi sekalipun ada bahaya.

Karena mulut stoples tidak cukup besar bagi tangan dalam keadaan terkepal, maka tangan monyet yang terkepal tidak dapat ditarik ke luar, sehingga mereka tidak dapat melarikan diri dengan bebas dan cepat. Akibatnya mereka ditangkap karena kebodohan dan keserakahan mereka.

Banyak di antara kita seperti monyet-monyet itu, memiliki kelekatan pada sesuatu atau seseorang. Anthony deMelo mengartikan kelekatan sebagai ketergantungan emosional yang disebabkan oleh keyakinan bahwa tanpa sesuatu atau seseorang Anda tidak bisa bahagia.

Lebih lanjut menurutnya kelekatan hanya mendatangkan kesenangan sesaat yang segera diikuti kelelahan karena selalu cemas akan kehilangan “objek” kelekatan itu. Cara menghilangkan kelekatan itu adalah dengan melepaskannya.

Anda melekat pada apa atau siapa? Kekayaan, kehormatan, kekuasaan, kekasih, keluarga? Apakah karena kelekatan pada hal-hal itu Anda tidak lagi dapat menyenangkan hati Tuhan?

Kecuali itu, kita tahu bahwa tangan yang terkepal tidak bisa menerima karena ia tertutup, tak ada sesuatu pun yang bisa masuk. Tangan seperti itu juga tidak bisa memberi, pun tidak bisa kita jabat.

Sebaliknya tangan terbuka banyak manfaatnya. Bukankah penabur benih harus membuka tangannya agar bisa menyemaikan benih lalu pada gilirannya mendapat panen?

Terkait dengan keterbukaan, kita juga harus membuka pikiran jika ingin memperoleh pengetahuan, atau menerima kritik supaya bisa bertumbuh. Atau membuka hati jika menginginkan cinta. —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 30/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Tangan Mengepal

==========

22 November 2012

Budaya Meniru

Sekelompok anak muda sangat antusias membicarakan teknologi handphone yang maju demikian pesat. Jika salah satu di antara mereka punya handphone terbaru dengan fitur yang lebih canggih, yang lain akan tertarik dan berkeinginan membelinya juga.

Mental menginginkan dan meniru kepemilikan dan perilaku orang lain memang tertanam dalam diri manusia, sejak dulu.


Tuhan melihat kecenderungan manusia dalam meniru hal-hal yang ada dan terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, Tuhan memberikan berbagai peraturan untuk ditaati. Di antaranya, peraturan agar kita tidak meniru perbuatan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan.

Meniru bisa merupakan sesuatu yang baik, tetapi apa yang ditiru, itu yang mesti diwaspadai. Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kita diminta untuk meniru teladan Nabi Besar kita masing-masing.

Firman Tuhan harus selalu dijadikan patokan guna mengevaluasi apakah perbuatan, kebiasaan, gaya hidup, adat istiadat, dan berbagai hal lain di sekitar kita layak ditiru atau tidak.

Pikirkanlah beberapa praktik hidup yang kita adopsi selama ini. Adakah yang harus kita ubah karena tidak sesuai dengan firman Tuhan? —YKP

Hati-hati dengan apa yang anda tiru. Ujilah segala hal dengan firman Tuhan lebih dahulu.

* * *

Sumber: e-RH, 22/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

17 November 2012

Sukses Tanpa Iri Hati

Kita sangat mengenal istilah “gaya katak” dalam dunia kerja. “Gaya katak” disematkan pada orang-orang yang suka menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi dan mimpinya. Ia akan menyikut kanan kiri, menginjak bawahannya, lalu mendongakkan kepala untuk mendapatkan pujian atau jabatan.

Kita sangat marah dan jengkel kepada orang-orang yang melakukan “gaya katak”. Namun, bagaimana dengan perilaku dan kinerja kita sendiri?

Perilaku kita mungkin tidak separah orang yang mempraktikkan “gaya katak”, tetapi mungkin kita mengusung semangat “iri hati” dalam mengejar karier. “Iri hati” menjadi dasar kita untuk meraih kesuksesan dalam dunia kerja.


Kita bersaing karena ingin jabatan yang lebih tinggi dari orang lain. Kita berprestasi karena ingin kursi yang lebih empuk dari orang lain. Kita bekerja dengan keras supaya jabatan tetap aman dan tidak kalah oleh orang lain. Kesuksesan yang kita genggam adalah hasil dari rasa “iri hati” dan ambisi tidak mau kalah dari yang lain.

Sebagaimana ditulis oleh Salomo (Nabi Sulaiman): “Aku tahu juga bahwa manusia bekerja begitu keras, hanya karena iri hati melihat hasil usaha tetangganya. Semua itu sia-sia belaka seperti usaha mengejar angin.”

Tanpa sadar kita sering terjebak dalam nafsu egoisme yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Kita dipanggil untuk tidak larut dalam persaingan dunia kerja yang penuh intrik dan keegoisan, melainkan diajarkan untuk tetap tenang bersama Tuhan.

Kita tidak ikut-ikutan orang yang mengejar karier dengan “gaya katak”, tidak iri hati kepada mereka, dan tidak jatuh dalam semangat “iri hati” yang egois.

Kita melakukan segala tugas pekerjaan dengan baik, bukan sekadar mengejar jabatan dan niat untuk tidak kalah dari orang lain, melainkan menunaikan tugas panggilan dari Tuhan.

Kita menghasilkan kinerja yang bagus, bukan semata-mata untuk diri sendiri dan perusahaan, melainkan untuk kemuliaan Tuhan. Kita meraih kesuksesan bukan karena iri hati, namun berdasarkan keyakinan dan keberserahan kepada Tuhan. —N. L. Utomo

Kesuksesan lahir bukan dari rasa iri hati, melainkan karya dan upaya yang terbaik untuk menyenangkan hati Tuhan.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 17/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

09 November 2012

Ukuran Sukses

Apa ukuran kesuksesan yang diberikan kepada seseorang di zaman ini? Seseorang dikatakan sukses, kalau memiliki tiga “ta” yaitu: harta, takhta, dan wanita.

Kesuksesan diukur dari banyaknya harta yang dimiliki, takhta atau kekuasaan yang besar, dan mudahnya mendapatkan wanita yang diingini. Maka, tidak heran bahwa banyak orang zaman ini berlomba-lomba untuk meraih tiga “ta” dalam hidupnya.


Orang-orang berjuang tanpa lelah seolah tidak mempunyai rasa cukup, mereka berusaha meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Mereka melupakan rasa kebenaran, keadilan, dan kepedulian kepada orang lain.

Kasus-kasus korupsi selalu menghiasi halaman depan koran dan layar kaca, isu-isu sara menjadi komoditas untuk merebut kekuasaan, berita kandasnya rumah tangga karena perselingkuhan juga menjadi topik hangat. Mereka merasa bahwa tiga “ta” akan memberikan jaminan kehidupan yang sungguh nikmat dan menyenangkan.

Raja Salomo (Nabi Sulaiman) digambarkan sebagai orang yang telah sukses, karena dia telah menguasai tiga “ta”. Dia memiliki harta yang berlimpah-limpah, mempunyai pengaruh yang luar biasa besar, dan banyak wanita.

Dia memuaskan diri dengan segala kesenangan duniawi sebagai hasil jerih payahnya. Namun, apa yang dikatakannya? “Lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Dia tidak asal bicara tentang kesia-siaan, melainkan telah mengalami dan menyelidikinya. Lalu, apa artinya buat kita? Apakah kita tidak usah berjerih lelah dan hidup santai-santai saja? Tidak! Kita tidak diajar untuk hidup santai dan bermalas-malasan, tetapi dituntun untuk melihat kehidupan dengan lebih bijaksana.

Kita dipanggil untuk tetap bekerja, berkarya, dan berupaya dengan segala jerih lelah. Namun, bukan hanya untuk harta atau kekayaan di bawah matahari, melainkan yang utama mengumpulkan kekayaan di atas matahari.

Segala jerih lelah pekerjaan kita, bukan untuk memuaskan hasrat duniawi, tetapi sarana bersaksi tentang kebaikan Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan. —N. L. Utomo

Ukuran sukses kita, bukan banyaknya kekayaan di bawah matahari melainkan banyaknya kekayaan di atas matahari.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 9/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Kesia-siaan di bawah Matahari

==========

08 November 2012

Komitmen Sejati

Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, berulang kali saya menyaksikan banyak orang, termasuk kenalan-kenalan saya yang baru beberapa bulan bekerja, memutuskan untuk berhenti dengan berbagai macam alasan.

Alasan paling klasik yang sering muncul adalah karena mereka menginginkan gaji yang lebih tinggi. Padahal di awal-awal bekerja, mereka begitu antusias dan menggebu-gebu dalam bekerja, tetapi lambat laun semangat itu luntur dan kerajinannya pun mulai kendor.


Apakah mengharapkan gaji yang lebih tinggi itu salah? Tentu saja tidak! Tetapi apakah untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi itu dapat dicapai dengan cara instan, dengan cara pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya? Tentu tidak juga, bukan?

Justru jika kita seperti “kutu loncat”, yang sebulan bekerja di satu perusahaan, lantas sebulan pindah ke peusahaan lain, dan selanjutnya pindah lagi ke perusahaan lain, bukankah kita sebenarnya layak disebut sebagai orang-orang yang tidak berkomitmen dengan pekerjaan yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada kita?

Tuhan sudah memberi kita anugerah pekerjaan yang begitu luar biasa, di tengah-tengah banyaknya saudara kita yang lain, yang sampai hari ini masih antre melamar pekerjaan dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain.

Untuk itulah, sebagai wujud syukur kita, tentunya kita mau berkomitmen untuk menekuni apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.

Jangan sampai kerajinan kita kendor. Sebaliknya, teruslah bekerja, berkarya, dan melayani dengan semangat yang menyala-nyala. Itu baru namanya kita memiliki komitmen yang sejati. —Pdt. David Nugrahaning Widi

Semakin kita setia dalam kerja dan karya kita, semakin kita dipercaya oleh-Nya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 8/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

05 November 2012

Percayailah Orang Muda!

Dua orang siswa yang berasal dari sekolah yang dahulu terkenal sebagai langganan tawuran ditanya pendapatnya. Salah seorang menjawab dengan mantap, bahwa sekarang adalah zamannya berprestasi.

Duel Daud melawan Goliat yang terkenal memberi kita dua prinsip penting tentang bagaimana bentuk dukungan dan bantuan yang perlu diberikan kepada orang-orang muda agar mereka dapat berprestasi gemilang.

(Daud melawan Goliat)

Pertama, izinkanlah mereka menjadi dirinya sendiri. Raja Saul mencoba “mencetak” Daud menjadi orang yang persis seperti dirinya. Ia mengenakan baju dan semua perlengkapan perangnya kepada Daud dan berpikir bahwa dengan itu Daud akan menang.

Apa yang terjadi? Daud tidak dapat berjalan, tidak bisa maju bertempur. Kalau saja Saul tetap memaksa Daud untuk memakai perlengkapan itu, maka dalam sekejap Daud pasti sudah mati.

Orang-orang muda membutuhkan kerelaan orang-orang yang lebih tua untuk mengizinkan mereka menjadi dirinya sendiri dan tidak memaksakan suatu kondisi tertentu pada dirinya.

Orang muda bukan orang tua. Mereka adalah dirinya sendiri. Memaksa mereka menjadi sesuatu yang bukan dirinya sendiri akan membuat mereka lumpuh dan kalah.

Kedua, izinkanlah mereka menghadapi tantangan hidupnya menurut cara yang cocok dengan dirinya. Daripada memakai baju dan perlengkapan perang yang “belum pernah” ia pakai sebelumnya, Daud lebih suka menghadapi Goliat dengan cara yang sudah ia kenal betul: dengan batu dan ketapel!

Walau terlihat tidak seimbang dengan lawan yang memakai perlengkapan tempur lengkap namun karena Daud sangat ahli mempergunakannya, maka dengan cara itu pula ia maju berduel. Dan Daud menang!

Orang-orang muda membutuhkan keberanian dari orang-orang tua untuk percaya bahwa orang-orang muda punya cara sendiri, dan ampuh, untuk mengatasi tantangan di zaman mereka hidup.

Mereka bukan tidak punya cara. Mereka punya, bahkan bisa begitu banyak. Yang dibutuhkan adalah menuntun mereka mengenalinya serta meyakinkan diri kita sendiri bahwa dengan cara-cara yang mereka miliki, mereka pasti mampu melewati tantangan hidupnya. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 5/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

01 November 2012

Masalah

Masalah itu seperti debu yang beterbangan di udara. Ada miliaran butir debu yang lembut mengambang di udara. Terlihat jelas saat kita menerawang, atau ketika terang matahari menyinari gugusan debu.

Sungguh menakjubkan, butiran-butiran debu itu tidak memedihkan mata, juga tidak menyesakkan napas. Tuhan seakan telah memasang imunitas yang membuat mata dan napas kita prima, tidak rentan oleh debu.

Tentu mustahil kita hidup terbebas dari debu-debu lembut di sekitar kita. Dan seperti debu di udara, juga mustahil kita hidup bersih dari masalah. Selama hidup ini masih melaju, kita tidak mungkin steril dari masalah. Jangan lari atau sembunyi, kita harus berani menghadapi setiap masalah yang menghadang kita.


Janganlah naif, takut, atau masa bodoh, tetapi juga jangan terlalu hanyut dan panik saat menghadapi masalah. Seberat apa pun tekanan dan setegang apa pun prosesnya, setiap masalah harus dihadapi dengan berani, jangan pengecut!

William Hasley mengatakan, “Setiap masalah menjadi lebih kecil apabila kita tidak menghindarinya melainkan menghadapinya. Sentuhlah tanaman widuri, maka tanaman itu akan menusuk kita, remaslah dengan berani, maka durinya pun remuk.”

Ketika kita berani menghadapi masalah, itu sekaligus cara terbaik untuk memaksimalkan potensi diri kita. Ada pernyataan James Bilkey yang bijak, katanya: “Kita tidak akan pernah menjadi orang yang maksimal jika tekanan, ketegangan, dan disiplin dicabut dari hidup kita.”

Tekanan dan ketegangan dari setiap masalah akan menguji iman, dan iman yang teruji akan melahirkan ketekunan. Akhirnya, ketekunan akan memaksimalkan potensi diri kita, menjadi sempurna.

Tentang ketekunan, kita bisa belajar dari tradisi rumah tangga di Jepang. Konon, sebelum menggunakan mangkok keramik tradisional yang masih baru, para ibu di Jepang memiliki kebiasaan unik. Mereka terlebih dahulu akan mengauskan bagian bawah mangkok yang masih kasar, tujuannya agar tidak menggores permukaan meja.

Caranya, dengan menggosok-gosokkan “pantat” dua buah mangkok yang masih baru secara hati-hati dan tekun, sampai bagian itu halus. Inilah proses pengausan yang dalam tradisi Jepang disebut suri-awase, melembutkan yang kasar dengan tekun dan hati-hati.

Ada fase suri-awase yang harus kita jalani saat menghadapi masalah, yaitu tekun dan hati-hati. Perlahan dan pasti kita harus berani mengauskan setiap masalah dalam hidup ini.

Marilah mengenali dan menelisik masalah kita dengan tekun, hati-hati, dan dalam pimpinan Tuhan. Sudahkah tepat pandangan dan sikap hati Anda dalam mengambil keputusan? Semoga Anda mencapai solusi terbaik. —Agus Santosa

Di dalam setiap masalah ada benih solusinya sendiri. Jika Anda tidak mempunyai masalah, Anda tidak mempunyai benih apa pun. —Norman Vincent Peale

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 1/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Suri-Awase

==========

Artikel Terbaru Blog Ini