Sebuah dongeng. Seorang pemburu telah berjasa menyelamatkan kuda kesayangan raja dari terkaman harimau. Sebagai hadiah, raja memberikan kepadanya hadiah berupa tanah, seluas yang bisa ia kelilingi dengan berlari dalam tiga hari.
Maka, bergegaslah sang pemburu berlari. Siang malam ia berlari tiada henti, demi mendapat tanah seluas-luasnya. Tidak peduli lapar dan haus, hujan dan terik matahari.
Rasanya masih kurang luas, masih kurang luas. Sampai akhirnya tibalah hari ketiga, sang pemburu jatuh tersungkur lalu mati karena kelelahan.
Begitulah kalau kita terjebak dalam ambisi yang tanpa batas. Kita dipacu untuk terus bekerja dengan teramat keras. Kita didorong untuk menumpuk harta benda dengan tidak kenal lelah, tidak kenal henti. Sampai-sampai bisa lupa keluarga, lupa kesehatan, bahkan juga lupa Tuhan.
Seperti si pemburu yang terus berlari dan berlari, demi memenuhi ambisi mendapatkan tanah seluas-luasnya. Sudah mendapat banyak, tetapi masih ingin lebih banyak lagi. Ketika tiba di ujung jalan, kita baru tersadar betapa sia-sianya semua itu. Namun, sudah terlambat.
Itu pula pesan yang ingin disampaikan Yesus dalam perumpamaan tentang “orang kaya yang bodoh” (dicatat dalam Perjanjian Baru). Bahwa harta kekayaan sebesar apa pun tidak bisa dijadikan sandaran hidup sepenuhnya dan seutuhnya. Sebab Tuhan bisa memanggil kita kapan saja.
Apabila saat itu tiba, selesai jugalah segala urusan kita dengan harta benda di dunia ini. Maka, penting sekali untuk kita tidak membiarkan diri terjebak dalam pementingan harta benda yang berlebihan. —AYA
Keserakahan adalah awal kehancuran.
* * *
Sumber: e-RH, 8/5/2011 (diedit seperlunya)
==========