Ketika sesuatu berjalan tak seperti yang diharapkan, semuanya menjadi salah, atau terjadi kegagalan, maka kecenderungan alami manusia adalah mencari seseorang yang bisa disalahkan.
Bahkan sejak dari Taman Eden. Ketika dosa terjadi, Adam menyalahkan Hawa. Hawa menyalahkan ular.
Apabila seseorang gagal menyelesaikan pekerjaan sesuai batas waktu yang ditetapkan, apa yang biasanya ia lakukan? Secara refleks ia akan menudingkan jarinya ke orang lain. Atau, kalau tidak ada orang lain, ia akan menudingkan jarinya pada situasi yang di luar kekuasaannya.
Kita akan lebih cepat berkembang apabila tak punya kebiasaan melimpahkan kesalahan kepada orang lain.
Ketika Anda gagal, pikirkan MENGAPA Anda gagal, bukan SIAPA yang salah. Pandang situasi dengan objektif supaya lain kali kita bisa lebih baik.
Bob Biehl menganjurkan daftar pertanyaan untuk membantu menganalisis kegagalan: 1. Pelajaran apa yang saya petik?; 2. Apakah saya berterima kasih atas pengalaman ini?; 3. Siapa lagi yang telah gagal seperti ini sebelumnya, dan bagaimana orang itu bisa menolong saya?; 4. Apakah saya gagal karena seseorang, karena situasi, atau karena diri sendiri?; 5. Apa saya benar-benar gagal, atau saya mengejar standar yang terlalu tinggi?
Orang yang menyalahkan orang lain atas kegagalan mereka takkan pernah mengatasinya.
Untuk mencapai potensi dan karakter yang diinginkan Tuhan, kita harus terus memperbaiki diri. Kita tak dapat melakukannya jika tidak mengambil tanggung jawab atas perbuatan kita dan belajar dari kesalahan.
Bukankah Tuhan tak pernah menolak mengampuni saat kita bersalah? Mengapa kita tidak berani mengaku dengan jujur?
Saat Anda berbuat kesalahan dan gagal, tanyakan mengapa, bukan siapa.
* * *
Penulis: PK | e-RH, 5/10/2011
(diedit seperlunya)
==========