Topeng merupakan benda yang tak asing bagi kita. Dengan mudah kita bisa menemukan berbagai bentuk dan ukurannya di toko-toko, galeri benda seni, atau di beberapa rumah.
Ada orang-orang yang begitu mencintai topeng, sampai-sampai memiliki koleksi topeng. Terkait dengan seni pertunjukan, topeng digunakan orang saat menari, sandiwara, dan lain sebagainya. Bagi penjahat, topeng digunakan untuk menyembunyikan identitas diri.
Dari sudut pandang psikologi, topeng atau mask atau persona adalah bagaimana kita menampilkan diri atau memperlihatkan diri kita kepada dunia. Persona menunjuk pada semua “topeng sosial” yang berbeda-beda yang kita kenakan dalam situasi dan kelompok yang berbeda.
Topeng bertujuan melindungi ego dari negative images (kesan negatif). Menurut psikiater Swiss, Carl Gustav Jung, persona mungkin muncul dalam mimpi dan mengambil sejumlah bentuk yang berbeda-beda.
Semua orang dalam hidupnya, dalam kadar tertentu, mengenakan “topeng”. Lazimnya topeng digunakan untuk sopan santun. Ketika suasana membosankan, kita mengenakan topeng wajah nyaman.
Dalam kadar “tipis” atau “ringan” topeng memberi manfaat dalam membina relasi. Tetapi jika topeng digunakan secara terus-menerus, berlama-lama, dia akan menjadi semacam bentuk pertahanan diri (defense mehcanism), yang bisa menghambat pertumbuhan pribadi orang itu.
Topeng menyembunyikan wajah, menyembunyikan jati diri. Topeng atau permainan peran menyembunyikan perasaan dan diri kita yang sebenarnya.
Pertanyaannya adalah mengapa kita menyembunyikan diri kita? Mengapa kita tidak menginginkan orang lain mengetahui siapa diri kita? Yang lebih parah adalah mengapa kita takut terhadap diri sendiri?
Kita mengenakan topeng karena kita takut bersikap terbuka. Kita tidak mau terbuka karena takut terluka atau melukai orang yang kita sayangi.
Sesungguhnya keterbukaan merupakan kunci bagi pertumbuhan diri dan relasi dengan orang lain. Hanya dengan bersikap terbuka, menerima dan mencintai diri sendiri, barulah kita bisa terbuka, menerima, dan mencintai sesama.
Syukurlah Tuhan bisa melihat apa yang ada di balik topeng. Ia mengetahui rahasia hati. Kita tak perlu berpura-pura atau bermain peran di hadapan Tuhan. Kita bisa menjadi diri kita sendiri dan Tuhan tetap mencintai kita apa adanya.
Terbuka di hadapan Tuhan bukan hal yang mudah. Itu berarti mengizinkan Tuhan berkarya di dalam hidup kita: mengambil hal-hal yang tidak berkenan di mata-Nya, tetapi sekaligus memberikan hal-hal yang baik menurut Dia.
Bersediakah kita terbuka di hadapan hadirat-Nya? —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 23/7/12 (diedit sedikit)
==========
21 Juli 2012
Pemahat
Konon Tuhan pernah membuka diri, mendengarkan doa-doa seorang pemahat yang tinggal di sebuah gunung. Ia pemahat yang piawai, setiap karyanya selalu memancarkan keindahan yang elegan.
Suatu pagi, saat memahat di tengah kesunyian, sayup-sayup sang pemahat mendengar warga dusun di lembah yang mengelu-elukan seorang raja. Ia berhenti memahat dan bergabung dengan warga dusun.
Sang pemahat memandang penuh kekaguman ketika iringan raja melintas di depannya. Jubah sutra membungkus tubuh raja, mahkota berlian melilit kepala, penuh pesona, dan dipuja rakyat.
“Tuhan, aku ingin memiliki kemuliaan dan kekuasaan seperti raja,” ia meminta dalam doanya. **Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.** Ia mengabulkan permintaan pemahat.
Sang pemahat menjadi raja penuh kemuliaan. Ia diarak melintasi kerumunan rakyat, dan begitu bahagia. Saat melambaikan tangan di bawah terik matahari, ia berpeluh. Katanya sambil memandang ke langit, “Tuhan, bolehkah aku menjadi matahari?”
Tuhan memenuhi hasratnya. Dia menjadi matahari yang memancarkan cahaya ke alam semesta. Ia bahagia menjadi matahari sampai suatu saat segumpal awan besar menutupinya. Sinarnya tak bisa menjangkau bumi, dan ia pun berpikir bahwa awan lebih hebat daripada matahari.
“Ah, aku ingin menjadi awan saja.” Jadilah ia awan. Sekarang ia bisa menghalangi matahari dan merasa sangat kuat. Ia menjadi awan besar dan mencurahkan air hujan ke segenap ciptaan Tuhan. Satwa, fauna, dan manusia basah kuyup olehnya.
Namun, ada sebuah batu besar yang sama sekali tak terpengaruh oleh kekuatannya. Batu itu tegar di bawah guyuran hujan deras. Ia pun berdoa ingin menjadi batu, dan jadilah ia batu besar.
Sampai suatu hari seorang lelaki mendekatinya, sambil membawa sebuah tas penuh alat-alat untuk memahat. Lelaki itu mengeluarkan pahat dan palu, lalu mulai memahatnya.
“Jadi, inikah makhluk yang lebih kuat dari batu? Oh, Tuhan aku ingin sekali menjadi pemahat yang piawai!” Doa itu pun dikabulkan Tuhan.
Akhirnya, si batu kembali kepada fitrah pemahat. Ia menemukan kembali jati dirinya sebagai pemahat. Ia memahat batu-batu tegar yang tak goyah oleh hujan dan tak retak karena sinar matahari. Talenta ini disyukurinya sebagai rahmat Tuhan terbaik dalam hidupnya.
Sang pemahat menyadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi raja, walaupun ada orang yang menjadi “matahari”. Tetapi yang terpenting seseorang harus bisa mengenali jati dirinya.
Sang pemahat benar. Jika kita mengenali jati diri, maka kita akan selalu mensyukuri rahmat terbaik dan karunia terhebat dari Tuhan bagi kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/7/12 (diedit seperlunya)
==========
Suatu pagi, saat memahat di tengah kesunyian, sayup-sayup sang pemahat mendengar warga dusun di lembah yang mengelu-elukan seorang raja. Ia berhenti memahat dan bergabung dengan warga dusun.
Sang pemahat memandang penuh kekaguman ketika iringan raja melintas di depannya. Jubah sutra membungkus tubuh raja, mahkota berlian melilit kepala, penuh pesona, dan dipuja rakyat.
“Tuhan, aku ingin memiliki kemuliaan dan kekuasaan seperti raja,” ia meminta dalam doanya. **Tuhan itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya.** Ia mengabulkan permintaan pemahat.
Sang pemahat menjadi raja penuh kemuliaan. Ia diarak melintasi kerumunan rakyat, dan begitu bahagia. Saat melambaikan tangan di bawah terik matahari, ia berpeluh. Katanya sambil memandang ke langit, “Tuhan, bolehkah aku menjadi matahari?”
Tuhan memenuhi hasratnya. Dia menjadi matahari yang memancarkan cahaya ke alam semesta. Ia bahagia menjadi matahari sampai suatu saat segumpal awan besar menutupinya. Sinarnya tak bisa menjangkau bumi, dan ia pun berpikir bahwa awan lebih hebat daripada matahari.
“Ah, aku ingin menjadi awan saja.” Jadilah ia awan. Sekarang ia bisa menghalangi matahari dan merasa sangat kuat. Ia menjadi awan besar dan mencurahkan air hujan ke segenap ciptaan Tuhan. Satwa, fauna, dan manusia basah kuyup olehnya.
Namun, ada sebuah batu besar yang sama sekali tak terpengaruh oleh kekuatannya. Batu itu tegar di bawah guyuran hujan deras. Ia pun berdoa ingin menjadi batu, dan jadilah ia batu besar.
Sampai suatu hari seorang lelaki mendekatinya, sambil membawa sebuah tas penuh alat-alat untuk memahat. Lelaki itu mengeluarkan pahat dan palu, lalu mulai memahatnya.
“Jadi, inikah makhluk yang lebih kuat dari batu? Oh, Tuhan aku ingin sekali menjadi pemahat yang piawai!” Doa itu pun dikabulkan Tuhan.
Akhirnya, si batu kembali kepada fitrah pemahat. Ia menemukan kembali jati dirinya sebagai pemahat. Ia memahat batu-batu tegar yang tak goyah oleh hujan dan tak retak karena sinar matahari. Talenta ini disyukurinya sebagai rahmat Tuhan terbaik dalam hidupnya.
Sang pemahat menyadari bahwa tidak semua orang bisa menjadi raja, walaupun ada orang yang menjadi “matahari”. Tetapi yang terpenting seseorang harus bisa mengenali jati dirinya.
Sang pemahat benar. Jika kita mengenali jati diri, maka kita akan selalu mensyukuri rahmat terbaik dan karunia terhebat dari Tuhan bagi kita. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 20/7/12 (diedit seperlunya)
==========
Langganan:
Postingan (Atom)