25 Februari 2013

Menjaring Angin

Bisakah kita menjaring angin? Para ilmuwan dari Delft Technical University mencoba menjaring angin untuk menghasilkan tenaga listrik.

Mereka memanfaatkan layang-layang dengan luas permukaan 10 meter persegi untuk mengubah angin menjadi energi listrik. Sejak tahun 2008 mereka sudah mencoba untuk membuat model yang pas.

layang-layang untuk menjaring angin

Daya cipta manusia memang mengagumkan. Menara Babel (yang dicatat dalam Perjanjian Lama), misalnya, kerap dijadikan simbol keangkuhan, kekuasaan duniawi, dan perlawanan terhadap kuasa Tuhan.

Namun, menara ini juga merupakan simbol dari kecerdasan akal budi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Tuhan sendiri mengakui potensi besar yang ada di dalam diri manusia.

Kebenaran ini seharusnya menggelitik setiap orang percaya, mendorong kita mengembangkan keunggulan di bidang masing-masing untuk menyatakan kehebatan Tuhan.

Kuncinya: kita perlu bergandengan tangan dan saling mendorong dalam mengembangkan potensi diri. Setiap orang perlu bekerja dengan rajin dan tekun untuk menghasilkan karya yang sebaik-baiknya.

Bersama-sama kita dapat menyumbangkan solusi bagi persoalan praktis kehidupan sehari-hari. Dan, melalui karya tersebut, kiranya kita dapat memperkenalkan kepada orang banyak Tuhan yang menyertai kita dan memberi kita kreativitas. —Martinus Prabowo

Tuhan kita adalah Tuhan yang Mahabesar dan Mahakreatif. Mari kita berkarya untuk menyatakan keagungan-Nya.

* * *

Sumber: e-RH, 25/2/2013 (diedit seperlunya)

==========

23 Februari 2013

Belajar dari Kritik

Tak seorang pun senang dikritik. Kalaupun ada, mungkin hanya segelintir orang saja. Tapi sesungguhnya ada “kebenaran” di balik suatu kritik.

Di samping itu kritik yang objektif dapat membuat kita maju. Oleh karena itu, kritik tidak seharusnya membuat kita gusar, tetapi juga jangan ditelan bulat-bulat begitu saja.

Kritik harus dikaji secara cermat. Kritik yang jujur dapat mengembangkan kita. Tetapi, sebuah kritik yang tidak jujur akan melukai dan mencelakakan kita. Mari kita belajar dari cerita berikut ini.

Seorang pemilik kios ikan sangat bangga dengan papan nama yang baru selesai dibuat. Papan nama itu bertuliskan ‘Ikan Segar Dijual di Sini’.

Tak lama kemudian seorang pembeli bertanya, “Mengapa Anda menulis kata ‘segar’ pada papan itu? Apakah Anda tidak ingin menjual ikan yang lain?” Maka si pemilik kios ikan menghapus kata ‘segar’ sehingga hanya ada tulisan ‘Ikan Dijual di Sini’.

Kemudian orang lain berkata, “Mengapa Anda menuliskan kata ‘di sini’, bukankah itu sudah jelas?” Maka pemilik kios ikan itu pun menghapus kata ‘di sini’, sehingga sekarang hanya tersisa tulisan ‘Ikan Dijual’.

Seorang pembeli lain yang datang ke kios itu juga bertanya, “Mengapa menggunakan kata ‘dijual’? Anda tidak mungkin menaruh ikan-ikan di sini kalau tidak untuk dijual, bukan?” Dan pemilik kios ikan itu pun menanggalkan kata ‘dijual’ sehingga hanya ada kata ‘Ikan’.

“Pasti setelah ini tidak ada seorang pun yang dapat menemukan kesalahan pada kata ini,” pikir pemilik kios ikan itu.

Namun, ternyata dia keliru, karena kemudian muncul seseorang yang berkata, “Aku tidak melihat manfaat apa pun dari pemasangan papan nama dengan tulisan ‘Ikan’. Dari jauh orang-orang sudah dapat mencium baunya.”

Lagi-lagi, tapi kali ini untuk yang terakhir kalinya, pemilik kios ikan menghapus tulisan pada papan nama tersebut. Sehingga akhirnya kios ikan itu tidak mempunyai papan nama.


Barangkali cerita ini membuat kita tertawa geli. Tapi begitulah jika seseorang menanggapi semua kritik dengan mengikutinya bak kerbau dicucuk hidungnya.

Kita sering menerima kritik, tetapi tak jarang kita juga memberikan kritik. Ada seni memberi dan menerima kritik.

Jika kita menerima sebuah kritik, kajilah kebenarannya, ambil hikmahnya, untuk mengembangkan diri.

Pada pihak lain, jika kita memberikan kritik, berikanlah dengan jujur dan dengan cara yang baik untuk membangun orang lain. —Liana Poedjihastuti

Orang yang berhak untuk mengkritik adalah dia yang mempunyai hati untuk menolong. ~Abraham Lincoln

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 22/2/2013 (diedit seperlunya)

==========

13 Februari 2013

“Kekurangan” Fisik

Setiap orang pasti sensitif terhadap apa yang dipandang sebagai "kekurangan" pada fisiknya. Apalagi kalau orang-orang di sekitar memakainya sebagai bahan ejekan atau menyebut kekurangan itu untuk memaki.

Bahkan, para pelawak yang kehabisan lelucon memakainya juga untuk memunculkan kelucuan. Akibatnya, jauh di dalam hati, "kekurangan" fisik menimbulkan tekanan dan rasa minder yang mengusik jiwa pemiliknya. Namun, benarkah itu merupakan "kekurangan"?

Pada masa lampau seorang yang kidal juga dipandang "kurang". Tidak lazim. Janggal. Dipandang kurang terampil. Jika lelaki, ia akan dipandang sebelah mata dalam ketentaraan.

Namun, kisah Ehud (dalam Perjanjian Lama) berkata lain. Justru tatkala bangsanya membutuhkan pemimpin, Tuhan "membangkitkan bagi mereka seorang penyelamat". Tuhan justru menggunakan kekidalannya menjadi keuntungan untuk menerabas hingga ke basis pertahanan lawan.

Jangan pernah meremehkan kondisi fisik seseorang, apalagi jika orang itu adalah diri Anda sendiri. Dunia ini penuh orang "berkekurangan" fisik, tetapi berprestasi besar.

Sebut saja gadis buta sekaligus tunarungu, Hellen Keller. Pianis "bertangan kepiting" (masing-masing tangan berjari dua) dari Korea, Hee Ah Lee.

Wanita lumpuh (dari leher ke bawah), pelukis dan motivator hebat, Joni Eareckson Tada. Dan, masih banyak lagi.

Joni Eareckson Tada

Jika Tuhan berkenan memakai mereka, tak ada yang sanggup menghalangi. Termasuk keterbatasan fisik mereka. —PAD

Apa yang bagi manusia merupakan "kekurangan", Tuhan bisa menjadikannya sebagai "kelebihan".

* * *

Sumber: e-RH, 20/4/2011 (diedit seperlunya)

Judul asli: Si Kidal

==========

09 Februari 2013

Teori atau Praktik?

Sebuah humor menceritakan tentang seseorang yang pergi ke surga. Di sana ia melihat sebuah rak berisi benda-benda yang tampak aneh.

"Apa itu?" tanyanya kepada malaikat. Jawab malaikat, "Itu telinga dari orang-orang yang ketika hidup di dunia mendengarkan hal-hal yang harus mereka lakukan, tetapi tidak melakukannya. Jadi ketika meninggal, telinga mereka saja yang masuk ke surga sementara bagian tubuh yang lain tidak."

Lalu ada rak yang lain, dan malaikat menjelaskan, "Ini lidah orang-orang yang ketika hidup di dunia memberi tahu orang lain untuk berbuat baik dan hidup baik, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Maka ketika meninggal, lidah-lidah mereka saja yang masuk ke surga dan bagian tubuh yang lain tidak."

jalan ke surga – ilustrasi

Humor ini mengingatkan kita untuk berhenti menjadi orang yang hanya suka mendengarkan khotbah atau seminar yang berbobot, tetapi tak pernah melakukan firman Tuhan yang didengar.

Berhenti menjadi orang yang fasih berbicara tentang hal-hal rohani, tetapi tak ada tindakan nyata. Berhenti menjadi orang yang pandai berteori, tetapi tak pernah mempraktikkannya.

Ada orang yang bangga dengan pengetahuannya tentang Tuhan dan hal-hal rohani. Namun, jika tidak dibarengi perbuatan nyata, semuanya sia-sia.

Sebab, di surga nanti kita tidak akan ditanya sejauh mana kita memahami Kitab Suci atau sejauh mana pengetahuan kita tentang agama. Kita tidak sekadar mempertanggungjawabkan apa yang kita ketahui, tetapi apa yang kita perbuat.

Tuhan menuntut buah-buah nyata yang bisa dirasakan, dinikmati, dan memberkati orang lain. —PK

Seribu perkataan dan pengetahuan tidak berarti, tanpa ada satu tindakan nyata.

* * *

Sumber: e-RH, 18/4/2011 (diedit seperlunya)

==========

08 Februari 2013

Sayap Rajawali

Di wilayah pegunungan Palestina hidup beberapa jenis burung rajawali. Ada rajawali biasa – spesies yang lazim. Ada rajawali emas dengan bulu berkilau. Ada pula rajawali tutul atau berbintik. Dan hidup juga rajawali pemangsa reptil.

Namun yang pasti, semua jenis burung rajawali suka terbang di ketinggian di mana angin berembus kencang. Maka, tak heran rajawali punya sayap yang kuat. Pada sayap itu terletak kekuatan rajawali.

burung rajawali

Akan tetapi, sayap rajawali tidak tiba-tiba menjadi kuat. Ada ceritanya.

Sejak kecil burung ini memang terlatih untuk terbang tinggi. Sang induk selalu menaruh sarangnya di tempat yang tinggi. Lalu jika sudah tiba saatnya, ia akan membongkar sarang itu, sehingga anak-anaknya "terjun bebas" di udara.

Mereka dipaksa untuk belajar terbang di tengah empasan angin kencang. Sementara sang induk melayang-layang di atas, sembari menjaga.

Jika mereka tidak mampu terbang lagi, sang induk akan melesat ke bawah untuk menopang mereka di atas kepak sayapnya. Seperti itulah Tuhan melatih umat-Nya, agar bertumbuh kuat dan dewasa dalam iman.

Acap kali orang hanya menaruh perhatian pada pertambahan. Tambah usia, gaji, pangkat, kekayaan, popularitas. Namun, mengabaikan pertumbuhan – tumbuh dalam iman dan kedewasaan. Padahal itulah yang menjadi perhatian Tuhan.

Tuhan mau kita bertumbuh. Bagai induk rajawali, Dia melatih kita di tengah empasan "angin" kesukaran dan tantangan hidup. Sebab, iman tidak tumbuh dalam kemudahan hidup, tetapi sebaliknya.

Dan, ketika Tuhan mengizinkan kesukaran terjadi, Dia tetap mengawasi sembari melatih iman kita agar bertumbuh. —PAD

Melalui kesukaran hidup, Tuhan melatih kita menjadi kuat dan siap dipakai-Nya untuk menjadi berkat.

* * *

Sumber: e-RH, 15/4/2011 (diedit seperlunya)

==========

07 Februari 2013

Mahkota Sang Juara

Di Singapura rutin diadakan perlombaan lari maraton. Seorang teman saya pernah berpartisipasi dalam kegiatan itu. Ia memang tidak menjadi juara, tapi sebagai peserta yang berhasil melewati garis akhir ia berhak mendapatkan sebuah baju yang menandakan keberhasilannya tersebut.

Baju itu mendatangkan kebanggaan tersendiri baginya. Ia mengakui, baju itu mengingatkannya bahwa segala kerja kerasnya, baik dalam mempersiapkan diri maupun selama menempuh perlombaan ternyata tidak sia-sia.

lari maraton Singapura

Hal serupa juga dirasakan oleh para atlet lomba lari jarak jauh sepanjang masa. Pada zaman dahulu, sang juara akan disemati sebuah mahkota yang membuatnya disanjung oleh seluruh masyarakat.

Demi mendapatkan mahkota tersebut, seorang atlet akan mati-matian berjuang menanggung segala kesusahan, baik selama ia mempersiapkan diri maupun saat ia mengikuti perlombaan yang sesungguhnya.

Seperti itulah kita seharusnya menjalani hidup sebagai orang percaya. Mahkota yang kita kejar jauh lebih mulia daripada mahkota yang tersedia bagi para atlet lomba lari itu.

Untuk memperolehnya, banyak kesusahan dan tantangan yang menghadang dan berusaha meruntuhkan iman kita. Tantangan iman kita bermacam-macam. Bisa berupa peristiwa buruk, penganiayaan dari orang yang membenci iman kita, argumentasi yang menyerang kepercayaan kita, dan sebagainya.

Berhadapan dengan semua itu, sepatutnya kita tetap setia memelihara iman hingga Tuhan memanggil kita pulang ke rumah-Nya. —Alison Subiantoro

Kesetiaan kita bertahan dalam perjuangan iman akan terbayar oleh kemuliaan mahkota yang kita terima.

* * *

Sumber: e-RH, 7/2/2013 (diedit seperlunya)

==========

04 Februari 2013

Kesempatan Kedua

Siapa yang tidak kenal penemu kenamaan Amerika, Thomas Alva Edison? Secara keseluruhan Edison telah menghasilkan 1.039 hak paten. Tentu itu merupakan prestasi luar biasa. Tetapi, ada sisi kemanusiaan yang menyentuh hati, yang unik, yang luput dari perhatian banyak orang.

Dikisahkan ketika itu Edison berada di tengah 12.000 percobaannya untuk mengembangkan bola lampu listrik. Ia menyerahkan sebuah bola lampu yang sudah rampung kepada seorang asistennya yang masih muda.

Pemuda itu membawanya dengan sangat hati-hati menaiki tangga langkah demi langkah. Sayang, pada langkah terakhir, bola lampu itu terjatuh dari tangannya dan pecah.

Bisa dibayangkan bagaimana kecewanya Edison pada waktu itu. Seluruh tim harus bekerja 24 jam lagi untuk membuat satu bola lampu yang baru.

Ketika bola lampu yang baru telah selesai dibuat, Edison memandang sekeliling dan sekali lagi ia menyerahkan bola lampu yang baru selesai dibuat itu kepada pemuda yang sama.

Edison tahu bahwa ada nilai yang dipertaruhkan lebih daripada sekadar bola lampu, yakni kepercayaan. Ya, Edison tetap memberikan kepercayaan kepada pemuda itu dengan memberinya kesempatan kedua.


Beranikah kita seperti Edison untuk memberi kesempatan kedua kepada anggota keluarga, sahabat, rekan kerja, bawahan, atasan kita setelah mereka melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan?

Beranikah kita juga memberi kesempatan kedua kepada diri sendiri setelah kita jatuh, melakukan kesalahan, tidak berhasil di tahun yang lalu?

Jika kita melihat perjalanan hidup kita selama ini, bukankah Tuhan juga memberi kita kesempatan, tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali? Sudahkah kita menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya?

Akan ada saatnya, kesempatan itu tidak akan pernah datang lagi. Jadi, mari gunakan kesempatan yang ada selagi bisa. —Liana Poedjihastuti

If you’re lucky enough to get a second chance at something, don’t waste it. ~Unknown Quotes

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 4/2/2013 (diedit seperlunya)

==========

03 Februari 2013

Menjadi “Manusia Baru”

Penggunaan energi nuklir sebagai sumber energi alternatif saat ini masih memicu kontroversi yang sengit. Pihak yang mendukung mengedepankan manfaat energi nuklir, antara lain untuk mengurangi polusi udara karena emisi karbonnya rendah.

Sebaliknya, pihak yang menentangnya menyoroti bahaya radiasi nuklir bagi manusia dan lingkungan. Ancaman bahaya semakin nyata bila manusia mengembangkan program senjata nuklir.

Energi nuklir, dengan demikian, benar-benar harus dikelola secara hati-hati dan bijaksana.

energi nuklir

Sebagai orang percaya kita juga harus bersikap bijaksana dan berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Kita dipanggil untuk hidup selayaknya “manusia baru”, yakni manusia yang mengenal Tuhan dan hidup bergaul dengan Dia.

Hidup sebagai “manusia baru” tak ayal (tak diragukan) mendatangkan berkat dan manfaat bagi sesama. Tetapi, sekalipun sudah diperbarui, kita masih dapat memilih untuk hidup dalam hawa nafsu dan keserakahan.

Pilihan yang buruk ini pada akhirnya mendatangkan pertikaian, fitnah, dan berbagai tindak kejahatan. Sebuah gaya hidup yang tidak pantas bagi seorang “manusia baru”, bukan?

manusia baru

Bagaimana kita belajar untuk hidup secara bijaksana dan berhati-hati? Dengan menyadari identitas kita sebagai “manusia baru”. “Manusia baru” bukanlah sumber bencana, melainkan sumber berkat bagi sesamanya.

Izinkanlah Roh Tuhan bekerja di dalam dan melalui kehidupan kita. Dia akan memampukan kita untuk mengasihi-Nya dan sesama sebagaimana Tuhan telah terlebih dahulu mengasihi kita. —JRT

Kita dipanggil untuk menjadi berkat dan memelihara kehidupan, bukan untuk menghancurkan dan mendatangkan bencana.

* * *

Sumber: e-RH, 3/2/2013 (diedit seperlunya)

Judul asli: Berkat, bukan Bencana

==========

Artikel Terbaru Blog Ini