31 Desember 2012

Pelajaran dari Pensil

Pensil, benda yang satu ini tentu tak asing bagi kita. Barangkali saat ini kita tak lagi atau jarang menggunakannya dibandingkan sewaktu kita di Sekolah Dasar dulu.

Tetapi tak sedikit pula di antara kita yang, justru karena tuntutan pekerjaan, lebih sering menggunakannya. Pensil memang sebuah alat tulis, tetapi kita bisa menarik pelajaran darinya.


Pertama, jika yang kita tulis salah, maka dengan mudah kita bisa menghapusnya dengan karet penghapus.

Demikian pula ketika kita menyusun rencana-rencana hidup kita, “gunakanlah pensil, jangan pena”. Artinya, kita mengizinkan Tuhan menghapus rencana-rencana kita yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya.

Kedua, pensil harus diruncingkan bila telah tumpul. Dalam hidup ini terkadang kita harus “diruncingkan” supaya tetap dapat berguna untuk Tuhan dan sesama.

Tentu saja proses peruncingan ini menimbulkan rasa tak nyaman, bahkan sakit. Mungkin bentuk peruncingan itu berupa masalah, kesulitan, penderitaan, dan lain-lain.

Ketiga, pensil bisa berada di tangan orang lain untuk dipergunakannya. Kita juga bisa digunakan oleh orang lain, sehingga bermanfaat baginya.

Keempat, pensil diharapkan akan meninggalkan guratan-guratan bekas atau jejak. Teladan hidup apa yang telah kita tinggalkan atau wariskan untuk dikenang?

Kini kita sampai di penghujung tahun 2012. Saat yang baik bagi kita untuk merenung, sejenak menengok ke belakang pada hari-hari yang telah kita lewati dan bertanya.

Rencana mana yang telah terlaksana dan mana yang belum? Apakah kita membiarkan Tuhan turut campur dalam rencana kita? Bukankah kita acapkali begitu keras kepala mempertahankan keinginan, rencana, dan kehendak kita sendiri?

Kita merasa sudah benar, sudah tepat, bahkan paling benar dan tepat. Kita berdoa rencana itu harus berhasil. Padahal mungkin rencana kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya, dan bukan yang terbaik untuk kita.

Apakah dalam tahun ini kita mengalami banyak masalah, kesulitan, dan penderitaan? Apakah semua itu diizinkan Tuhan untuk lebih “meruncingkan”, membuat diri kita berguna?

Bagaimana kita menyikapi semua masalah itu? Firman Tuhan yang merupakan penghiburan bagi kita adalah: “Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Apakah kita telah menjadi “alat” di tangan orang lain untuk membantunya, untuk menjadi berkat baginya? Dan apakah kita telah meninggalkan jejak-jejak atau teladan baik yang akan dikenang? —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 31/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

30 Desember 2012

Obituari

Sebuah koran pernah keliru memuat obituari Alfred Nobel, selagi ia masih hidup.

Yang meninggal sebenarnya adalah adik laki-laki Alfred. Namun, melalui kekeliruan itu, Alfred bisa melihat bagaimana orang lain menilai hidupnya, yaitu sebagai orang yang menjadi kaya dengan memungkinkan terjadinya pembunuhan massal.

Alfred Nobel

Memang, bahan-bahan peledak temuan Alfred akhirnya dibeli oleh pemerintah untuk produksi senjata.

Terguncang oleh obituari itu, Alfred lalu memutuskan untuk memakai kekayaannya guna memberi penghargaan terhadap upaya-upaya kemanusiaan, termasuk yang kita kenal sebagai Nobel Perdamaian.

Bayangkan jika seperti Alfred, kita mendapat kesempatan untuk membaca obituari kita. Bagaimana jika obituari itu dituliskan dari sudut pandang Tuhan?

Orang bisa saja tidak mengenal kita dengan cukup dekat untuk bisa menilai kita, tetapi tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan! Umat Tuhan tidak boleh hidup seenaknya seperti orang-orang yang tidak percaya pada hari penghakiman.

Tuhan tidak lalai terhadap janji-Nya, dan jelas Dia juga takkan lalai memerhatikan setiap detail kehidupan kita!

Selama kita masih hidup di dunia, kita masih diberi kesempatan untuk menyunting obituari kita. Akankah kita menginvestasikan hidup kita untuk hal-hal yang bernilai kekal?

Ataukah kita mencurahkan seluruh hidup dalam ambisi pribadi, hidup yang tidak bertanggung jawab, atau kewajiban agama yang kosong?

Menjelang akhir tahun, mari mohon hikmat Tuhan agar kita dapat membedakan apa yang akan binasa bersama dunia dan apa yang dihargai Tuhan dalam kekekalan. —ELS

* * *

Sumber: e-RH, 30/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

29 Desember 2012

Hikmah dari Kritik

Meskipun saya senang belajar dari masukan orang lain, pada kenyataannya tidak selalu mudah mencerna dan menerimanya.

Suatu kali pemimpin saya mengembalikan sejumlah naskah yang sudah saya tulis dengan susah payah disertai komentar yang intinya mengatakan bahwa naskah-naskah itu harus dirombak ulang.

Spontan saya protes dan berusaha membela pendapat saya. Lucunya, ketika pikiran sudah lebih tenang, dan saya membaca ulang komentar-komentar yang diberikan, saya menemukan banyak konsep saya yang memang keliru.

Sambil memperbaikinya, saya bersyukur. Kritik membangun mencegah saya melakukan kesalahan yang memalukan, sekaligus membuka wawasan dan mengasah ketajaman pikiran saya.


Sebuah nasihat bijak mengingatkan kita agar memiliki sikap yang terbuka untuk diajar. Teguran-teguran yang dimaksudkan untuk membangun haruslah didengarkan. Bukan didengarkan sambil lalu, tetapi diterima dengan pikiran terbuka.

Teguran yang membangun itu sama dengan didikan atau pengajaran yang memberikan akal budi. Rugi besar jika kita mengabaikannya, karena berarti kita sedang membuang kesempatan untuk maju.

Sikap yang mau diajar adalah cermin kerendahan hati. Jika seseorang tidak cukup rendah hati untuk menerima masukan dari sesama manusia, mungkinkah ia bisa sepenuh hati mendengarkan didikan Tuhan?

Acap kali pekerjaan dan pelayanan terhambat, dan hubungan dengan orang lain bermasalah, karena kita menolak untuk saling mendengarkan. Kita tidak mau belajar dari orang lain yang Tuhan tempatkan di sekitar kita.

Adakah noda keangkuhan yang mungkin perlu kita bersihkan agar kita dapat dengan jernih melihat masukan-masukan yang bermanfaat di sekitar kita? —ELS

Teguran yang tulus ibarat pisau operasi. Ditujukan untuk memperbaiki, bukan untuk menyakiti.

* * *

Sumber: e-RH, 29/12/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Berkat dari Kritik

==========

28 Desember 2012

Makna Bekerja

Pak Lim, di usianya yang sudah 60-an, bekerja di sebuah hotel bintang lima di Singapura. Tugasnya memastikan engsel-engsel pintu di setiap kamar hotel itu berfungsi dengan baik.

Itu harus ia lakukan setiap hari. Padahal ada 600 kamar di situ! Dan, ketika engsel-engsel pintu di kamar ke-600 selesai dicek, ia harus kembali ke kamar pertama! Begitu terus-menerus.


Ketika ditanya, apa yang membuatnya tetap teliti dan tak bosan bekerja, ia mengaku telah menemukan makna di balik pekerjaannya yang tampak menjemukan. Bahwa setiap tamu hotel bintang lima itu pasti seorang kepala keluarga atau pemimpin perusahaan yang memiliki banyak staf.

Andai terjadi kebakaran, dan salah satu engsel pintu tak berfungsi sehingga tamu terkunci dan tewas di situ, maka kerugiannya akan sangat besar. Tak hanya bagi hotel, tetapi juga bagi keluarga, perusahaan, dan banyak karyawan yang hidupnya dipengaruhi oleh peran sang tamu.

Jadi, Pak Lim tak sekadar bekerja memeriksa engsel, tapi menyelamatkan nyawa para kepala keluarga dan pemimpin perusahaan.

Mari cermati pekerjaan kita. Tak hanya apa yang tampak dari luar, melainkan makna yang mendasarinya sehingga pekerjaan itu penting untuk dikerjakan.

Orang yang tak mengerti makna pekerjaannya bisa merasa jemu dan sia-sia bekerja. Akan tetapi, umat Tuhan perlu memahami makna pekerjaannya.

Pertama, Tuhan sendiri yang memanggil kita untuk bekerja – tentu bekerja yang halal, bukan yang cemar.

Kedua, Tuhan mau kita menjadi berkat bagi sesama, melalui pekerjaan kita.

Ketiga, Tuhan rindu kita bersaksi bahwa Tuhan memelihara, karena dengan bekerja kita tak bergantung kepada orang lain. —AW

Temukan nilai kekal dalam pekerjaan kita agar setiap pekerjaan menjadi bermakna, tak pernah sia-sia.

* * *

Sumber: e-RH, 7/4/2011 (diedit seperlunya)

==========

27 Desember 2012

Dimulai dari Diri Sendiri

Alkisah, seorang pria mengalami masalah yang bertubi-tubi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, eh... digigit anjing lagi.

Rumah tangganya gonjang-ganjing tidak harmonis, karena didapati istrinya memiliki “pria idaman lain”. Belum lagi masalah pekerjaan, ia baru saja terkena imbas perampingan karyawan, alias baru saja di-PHK.

Sungguh, beban pergumulannya sangat berat. Oleh karena itu, ia kemudian merenungkan nasibnya.

Ia mencoba untuk menginstrospeksi diri, “Apa yang sebenarnya salah dalam hidupku? Mengapa setiap yang kukerjakan selalu gagal? Bagaimana caranya agar aku dapat tetap survive dan menjadi orang berhasil?”

Lantas, ia segera mencari jawabannya dengan pergi ke toko buku, dan membeli buku-buku kepribadian, motivasi, dan buku mengenai petunjuk hidup.


Akan tetapi, setelah beberapa saat ia bergulat dengan buku-buku tentang kehidupan tadi, hidupnya sama sekali tidak berubah.

Kemudian secara tiba-tiba terbersit keinginan untuk menemui penulis buku-buku tadi, karena pikirnya mereka yang dapat menulis buku-buku tersebut tentulah orang-orang hebat, yang mampu memberikan petunjuk kepadanya.

Setelah ia bertanya ke sana kemari, dan mencoba untuk menghubungi para penulis buku tersebut, akhirnya ia berhasil menemui salah seorang penulis buku.

Ia langsung menceritakan segala permasalahan hidupnya dan bertanya, “Pak, berikan saya resep yang dapat membuat hidup saya lancar dan bahagia.”

Si penulis kemudian menjawab, “Oh gampang sekali, kamu tinggal baca buku saya dengan teliti, dan kerjakanlah semua yang tertulis di sana.”

“Sudah Pak, saya sudah membacanya dengan teliti, bahkan saya sangat hafal semua yang tertulis di dalam buku Bapak,” jawab sang pria tadi.

Si penulis terdiam sejenak, lalu ia berkata, “Baiklah, kamu akan saya pertemukan dengan seseorang, dan dialah yang akan memberikan kepadamu resep kehidupan yang bahagia.”

Lalu, ia membawa sang pria masuk ke dalam kamarnya, dan membimbingnya ke sebuah cermin. Tentu saja pria tersebut menjadi bingung.

Si penulis berkata, “Itulah orang yang akan membantumu menunjukkan hidup yang bahagia, dia adalah dirimu sendiri. Sebab tidak ada orang lain yang bisa membawamu hidup bahagia, selain dirimu dengan integritas diri yang kau miliki.”

Bukankah sering kali kita tidak menyadari bahwa semua permasalahan hidup sebenarnya kita sendirilah yang paling bertanggung jawab? Ya, kita sering tidak memiliki integritas diri yang sungguh-sungguh, sampai-sampai kita mudah sekali diombang-ambingkan oleh keadaan di sekitar kita.

Kita sering berlaku seperti orang-orang yang tidak berpengalaman, tetapi terus saja hidup dalam keadaan tak berpengalaman tersebut.

Oleh karena itu, kita harus memiliki integritas diri yang luar biasa, yaitu senantiasa hidup dalam hikmat Tuhan, sehingga kita mampu menghadapi segala permasalahan hidup ini, dan pada akhirnya hidup kita menjadi bahagia. —Pdt. David Nugrahaning Widi

Integritas diri tidak berasal dari faktor eksternal, melainkan internal, dari dalam diri kita sendiri.

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 27/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

18 Desember 2012

Pentingnya Disiplin

Di bawah kepemimpinan Alex Ferguson, tim sepakbola Manchester United bisa bangkit dari keterpurukan dan mengukir berbagai prestasi. Termasuk dua belas kali memenangi Liga Inggris, dua kali memenangi Liga Champions, dan lima kali merebut piala FA.

Tidak hanya itu, Ferguson juga mampu membimbing pemain-pemain muda menjadi pemain-pemain besar dan menjadi pemain termahal di dunia seperti Christiano Ronaldo.

Alex Ferguson

Apa yang menyebabkan Ferguson mencapai prestasi gemilang? Kuncinya ada pada kedisiplinan. Ia mendidik para pemain tidak hanya di dalam lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Mulai dari menu makanan, kepribadian, karakter, dan ketahanan fisik.

Ia tak segan-segan menegur dengan keras para pemain yang dianggap melakukan kesalahan sehingga menyebabkan MU mengalami kekalahan. Seperti yang terjadi ketika menghadapi tim satu kota mereka, Manchester City.

Kekalahan ini membuat Ferguson naik darah dan melakukan evaluasi besar-besaran untuk membenahi sistem permainan mereka. Ia membentak mereka satu per satu di hadapan muka mereka.

Ferguson menyebut metode ini sebagai Hair Dryer Treatment, yang dimaksudkan sebagai terapi kejut untuk menegakkan kedisiplinan para pemain MU.

Kedisiplinan sebenarnya sudah ditanamkan oleh orangtua sejak kita masih kecil dan semakin dikembangkan ketika kita duduk di bangku sekolah, di mana kita harus masuk dan mengikuti pelajaran pada waktu yang telah ditentukan.

Kedisiplinan yang ditanamkan dalam diri kita bertujuan agar kita tumbuh menjadi pribadi yang tertib dan berkarakter baik, sehingga di masa mendatang apa yang kita lakukan adalah perbuatan-perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Karakter yang terbentuk dalam kedisiplinan juga akan melahirkan integritas, dan integritas akan mempercepat promosi, sehingga karier yang kita bangun akan semakin cepat berkembang.

Karena itu kembangkanlah kedisiplinan di dalam diri kita: disiplin dalam bekerja, pelayanan, dan semua aspek kehidupan kita. Itulah bekal kita dalam meraih sukses di masa depan. —Pdt. Elisabeth Parinsi

Kita pertama-tama membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaan akan membentuk kita. ~John Dryden

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 17/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

15 Desember 2012

Mengutamakan Kejujuran

Alkisah seorang raja sedang mencari pengawas kebun kerajaan dengan cara yang unik. Tiap pelamar diberi sekantong biji untuk ditanam di rumah masing-masing selama waktu tertentu.

Seorang pemudi ikut mendaftar dengan semangat. Biji dari raja ditanamnya hati-hati, disiramnya tiap hari. Namun, betapa sedih hatinya melihat biji itu tak kunjung tumbuh.

Ketika tiba batas waktu untuk melapor ke istana, ia melihat orang-orang membawa tanaman yang indah-indah. Setengah menangis ia mohon ampun kepada raja, karena biji itu tidak mau tumbuh sekalipun ia telah merawatnya tiap hari.


Raja menepuk pundaknya dan berkata, "Semua biji yang kuberikan sebenarnya sudah dipanggang, jadi tidak mungkin tumbuh. Entah dari mana tanaman-tanaman yang mereka bawa itu. Terima kasih sudah membawa kejujuranmu. Hari ini juga kamu resmi menjadi pengawas kebun kerajaanku."

Kejujuran tak hanya menunjukkan ketulusan hati, tetapi juga sikap menghormati orang lain. Karena hormat, kita tidak mau menipu orang itu. Lebih dari menghormati sesama, sesungguhnya sikap jujur berarti menghormati Tuhan.

Ketika seseorang berdusta, ia sebenarnya sedang menghina Tuhan Yang Mahatahu. Memang bersikap jujur di tengah dunia yang sarat ketidakjujuran bisa dipandang sebagai suatu kebodohan di mata manusia. Namun tidak di mata Tuhan. Orang yang jujur justru menunjukkan kesetiaan dan kebaikan di hadapan-Nya.

Ketika diperhadapkan pada pilihan untuk jujur atau tidak, ingatlah bahwa kita tidak saja sedang berurusan dengan manusia, tetapi juga dengan Tuhan. Manusia tidak serbatahu, tetapi Tuhan tahu apakah kita sedang menghormati-Nya atau tidak. —ELS

Jujur itu menghormati Tuhan. Menyatakan bahwa Dia Mahatahu dan menyukai kebenaran.

* * *

Sumber: e-RH, 15/12/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Karena Menghormati Tuhan

==========

13 Desember 2012

Hidup di Tepi Air

Ketika saya melintasi Kota Tegal di jalur Pantura, saya sering mampir di SPBU 67. Museum Rekor Indonesia memasukkan SPBU ini sebagai SPBU dengan fasilitas toilet terbanyak dan bersih.

Tersedia 15 kamar mandi / toilet wanita, 12 kamar mandi / toilet pria, dan 40 urinoir pria.

SPBU ini didirikan oleh Sintha Irawaty ketika sudah berusia 80 tahun. Tahun 2004 Museum Rekor Indonesia mencatat Nenek Sintha sebagai pengusaha tertua di Indonesia yang berhasil merintis bisnis SPBU.

Saat berusia 80 tahun, ada banyak orang yang sudah merasa renta, didera depresi, dan diretas bermacam penyakit, bahkan tidak sedikit yang rehat di panti wreda.

Waktulah yang menggiring kita menjadi tua. Tetapi menjalani masa tua tergantung penilaian kita terhadap panggilan hidup.

Apakah kita merasa sudah “habis” dalam kehidupan ini? Apakah kita sudah redup menjawab tantangan hidup? Apakah kita sudah berhenti untuk belajar tetap hidup?

Jika kita masih menjalani panggilan hidup, sesungguhnya kita tidak pantas merasa “habis”, tidak berguna, apalagi merasa terbuang. Seharusnya kita menjadi seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi sungai.


Dengan demikian kita akan hidup bagaikan pohon yang tidak terpengaruh oleh panas terik, yang daunnya tetap hijau. Pohon yang tidak khawatir hidup dalam tahun-tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.

Tentang menghasilkan buah, kita bisa memetik pelajaran dari kisah cengkeh Afo, hasil reportase Kompas.com edisi 4 Desember 2009. Cengkeh Afo ini merupakan pohon cengkeh tertua di dunia, terdapat di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat Kota Ternate.

Pohon cengkeh Afo sudah berumur 416 tahun, memiliki tinggi 36,60 meter, garis tengah 1,98 meter, dan lingkar pohonnya mencapai 4,26 meter. Dan, yang paling mengagumkan, pohon ini masih menghasilkan sekitar 400 kg cengkeh setiap tahunnya.

Tetap berbuah meskipun sudah tua adalah kerinduan setiap orang. Tidak ingin “habis”. Terus berguna. Tidak menjadi sang mantan.

Raja Daud pun memiliki kerinduan yang sama, ia berseru kepada Tuhan, “Janganlah membuang aku pada masa tuaku, janganlah meninggalkan aku apabila kekuatanku habis.”

Jika kita berbuah, tentu saja kita harus memberikan faedah, tidak “merimbunkan” diri sendiri.

Tuhan pun telah menjamin kita: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”

Jadi, jika kita benar-benar rindu untuk tetap berbuah, teruslah berpaut kepada Tuhan, menapaki jalan yang Tuhan arahkan, dan menjadi berkat bagi banyak orang. —Agus Santosa

Ada orang yang jam kehidupannya “berhenti” pada waktu tertentu dan tetap tinggal selamanya dalam waktu tersebut. ~Sante Boeve

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 13/12/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Di Tepi Air

==========

07 Desember 2012

Terbang Bebas

Seekor anak burung tergeletak di dalam sarang, tidak bisa terbang dan sesekali bercicit lemah. Saya menemukan sarang makhluk kecil ciptaan Tuhan ini di teras rumah saya, jatuh dan sedikit rusak.

Saya membenahi sarang itu agar burung kecil di dalamnya merasa lebih nyaman. Saya sama sekali tidak berniat mengurung burung itu untuk dipelihara.


Lalu saya meletakkan sarang burung itu di bawah pohon di depan rumah, sambil berharap induknya akan segera menemukannya. Tidak lama kemudian, seekor burung melayang-layang, berputar-putar beberapa kali, dan akhirnya hinggap di atas sarang itu.

Ada sukacita yang lembut menyelimuti hati saya saat melihat anak burung itu dibawa terbang oleh induknya. Sarang itu telah kosong, si burung kecil kembali ke habitatnya.

Suatu kebebasan yang indah. Saya belajar dari peristiwa kecil ini, dan bertanya dalam hati, tidakkah kita bisa menjadi dream releaser, membebaskan orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka?

Kita bisa memotivasi anak, kerabat, sahabat, dan teman-teman lainnya menjadi diri mereka sendiri, mendorong mereka memaksimalkan potensi hidupnya. Itu pasti membersitkan kebahagiaan yang indah, mereka bahagia dan kita pun bahagia.

Maxim Gorky mengatakan, “Kebahagiaan selalu tampak kecil ketika kita menggenggamnya di dalam tangan kita, tetapi lepaskanlah, maka kita akan segera sadar betapa besar dan berharganya kebahagiaan itu.”

Kita bisa membuat hidup ini lebih hidup dengan melepas orang-orang yang kita kasihi terbang bebas meraih impian mereka.

Orangtua bisa menjadi batu pijakan keberhasilan anak-anaknya. Guru bisa menjadi busur bagi murid-muridnya melesat gemilang ke masa depan. Siapa pun bisa menjadi dream releaser jika tidak memasung, memenjarakan, atau mematikan impian orang lain.

Kita sering kali tanpa sadar (pernah) memasung impian orang lain, kita memilih sifat necrofil dengan berusaha mematikan potensi hidup mereka.

Necrofil mencintai yang serba mati, menapasi hidup dengan kematian. Ada banyak cara mematikan hidup seseorang, dan yang terkeji adalah hari demi hari menapasinya dengan kematian.

Suami atau istri memperlakukan pasangannya bak boneka semata. Orangtua membunuh cita-cita mulia anaknya. Guru menistakan gairah belajar siswanya. Manajer memimpin seperti robot cyber tanpa nurani.

Anda bisa membebaskan orang-orang yang Anda kasihi terbang bebas meraih impian mereka. Biarkanlah mereka terbang bebas memaksimalkan potensi hidup mereka, melesat menuju sarang kehidupan mereka sendiri! —Agus Santosa

Setiap orang pernah merangkak, belajar berjalan, lari, dan ingin terbang bebas.

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 7/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

04 Desember 2012

Orientasi Uang

Alkisah, seorang pengusaha muda sedang duduk di tepi sebuah lapangan bola. Ia merenungkan kehidupannya yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan masa kanak-kanaknya dahulu, di mana ia bisa bermain dengan ceria dan menjalani hidup tanpa beban yang berarti – sama seperti anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan itu.

Tak lama kemudian seorang kakek datang menghampirinya dan bertanya, “Apa yang kamu risaukan anak muda?” Ia menjawab, “Aku ingin seperti mereka, bisa menjalani hidup dengan ceria dan tanpa beban. Bagaimana caranya?”

Kakek itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia kemudian pergi dan berkata pada anak-anak yang sedang bermain bola, “Aku punya hadiah seratus ribu rupiah bagi setiap anak yang bisa mencetak gol.”


Mereka pun memulai permainan mereka. Berbeda dengan sebelumnya, di mana mereka bermain dengan riang. Kini mereka saling menjatuhkan, memaki, dan berkata-kata kasar satu sama lain. Beberapa dari mereka menggiring bola sendiri tanpa mau bekerja sama. Perkelahian pun tak dapat dihindarkan.

Kakek itu kembali menemui si pengusaha muda dan berkata, “Hanya karena uang seratus ribu rupiah permainan mendadak berubah, dari fokus pada kesenangan, menjadi permainan yang brutal. Hanya karena seratus ribu rupiah, kebersamaan mereka turun dan memaki sahabatnya.”

“Mereka tidak lagi menikmati permainan karena mereka memfokuskan diri pada uang. Hidupmu kini juga seperti itu. Kamu gelisah, cemas dan kalut karena kamu memfokuskan diri pada uang dan materi, sehingga kamu lupa menikmati setiap perjalanan hidupmu.”

Uang dan materi adalah hal yang penting dalam hidup kita, namun jangan biarkan itu menjadi fokus dalam berkarya. Jika kita memfokuskan hasil kerja pada uang dan materi, kehidupan ini tidak akan tenteram.

Itu hanya akan membawa kita pada ketamakan dan akhirnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Jika suatu saat apa yang dilakukan tidak sebanding dengan apa yang didapatkan, maka kita akan mudah stres, marah, dan putus asa.

Karena itu, mari lakukan tugas dan tanggung jawab sehari-hari dengan ikhlas dan penuh rasa tanggung jawab. Sehingga, tidak hanya mendapatkan hasil berupa materi saja, melainkan kedamaian dan kepuasan hidup yang bisa dinikmati sepanjang hidup ini. —Pdt. Elisabeth Parinsi

Seorang yang bijak harus memiliki uang di kepalanya, bukan dalam hatinya. ~Jonathan Swift

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 4/12/2012 (diedit seperlunya)

==========

03 Desember 2012

Kemampuan yang Berbeda

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat orang cacat? Kasihan? Merasa ia tak bisa apa-apa? Carilah informasi tentang Natalia Partyka, Oscar Pistorius, Ni Nengah Widianingsih, dan Agus Ngaimin, atlet-atlet cacat dengan prestasi kelas dunia.

Nick Vujicic dan Judy Siegle, jutaan orang diinspirasi oleh mereka. Bacalah kisah nyata tentang Joni Eareckson Tada, yang memberdayakan jutaan orang melalui pelayanan Joni and Friends.

(Nick Vujicic – depan)

Tepatlah jika istilah disabled person (orang yang tak punya kemampuan) diganti dengan istilah differently-abled person (orang dengan kemampuan yang berbeda) atau disingkat diffable.

Entah itu cacat bawaan atau akibat kecelakaan, sulit memahami maksud Tuhan mengizinkannya terjadi. Seperti (Nabi) Ayub, mereka tentu bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan hal buruk menimpa.

Walaupun tak paham, Ayub mengakui bahwa Tuhan berhak untuk bertindak menurut pertimbangan-Nya yang mahabijak. Adakalanya itu berarti memberikan kemenangan, adakalanya itu berarti mengizinkan kegagalan. Namun, Dia layak dihormati karena Dia adalah Tuhan, bukan karena situasi yang dialami manusia.

Belajar dari Ayub, Joni bertekad bahwa sesulit apa pun hari-harinya sebagai penyandang cacat, ia akan selalu mengasihi Tuhan dan membuat Tuhan dihormati tiap orang yang berinteraksi dengannya.

Di Hari Difabel Internasional ini, mari mendoakan para penyandang cacat agar memiliki perspektif dan sikap serupa.

Jika kita mengenal beberapa di antara mereka, pikirkanlah tindakan praktis apa yang dapat kita lakukan untuk menjadi saluran kasih Tuhan bagi mereka. —ELS

Situasi sulit diizinkan Tuhan terjadi untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

* * *

Sumber: e-RH, 3/12/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Karunia yang Berbeda

==========

Artikel Terbaru Blog Ini