26 September 2012

Kolonel Sanders

Tentu Anda tahu KFC (Kentucky Fried Chicken). Tetapi, tahukah Anda kisah luar biasa di balik kesuksesan KFC?

Kolonel Harland Sanders lahir pada tanggal 9 September 1890. Dia adalah seorang tentara Angkatan Darat Amerika Serikat. Namun nasibnya cukup mengenaskan. Pada saat pensiun, ia tidak memiliki uang sepeser pun, kecuali uang tunjangan hari tuanya yang semakin menipis.

Akan tetapi, realitas seperti itu tidak membuat Kolonel Sanders berputus asa, berdiam diri, atau meratapi nasibnya. Di usianya yang ke-66, dengan keahliannya dalam masak-memasak, ditambah ia memiliki resep ayam olahan dari ibunya, ia tetap memiliki semangat menyala-nyala untuk menjalani kehidupannya.

(Kolonel Sanders)

Kira-kira apa yang dilakukan oleh Kolonel Sanders? Ia menjual semua propertinya, lalu berkeliling dari kota ke kota, dari restoran ke restoran untuk menawarkan resepnya itu. Namun sayang, lebih dari seribu restoran menolak resep yang ditawarkannya.

Kolonel Sanders pantang menyerah begitu saja. Ia terus berkeliling hingga tiba di restoran ke-1.009 yang mau membeli dan mengembangkan resepnya itu menjadi usaha waralaba dengan nama KFC.

Singkat kisah, KFC berkembang pesat, bahkan kini lebih dari satu miliar ayam goreng dari resep Kolonel Sanders tersebut dinikmati setiap tahunnya. Bukan hanya di Amerika Utara saja, tetapi tersedia di hampir 80 negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap memiliki semangat yang menyala-nyala di usianya yang sudah tidak muda lagi? Apa yang membuat Kolonel Sanders tetap sabar dan terus bertekun, walaupun mengalami penolakan dari restoran-restoran? Jawabannya adalah karena ia memiliki motivasi yang kuat.

Ya, Kolonel Sanders memiliki motivasi yang kuat untuk dapat terus survive menjalani hidup dan kehidupannya. Tanpa motivasi yang kuat, tentulah Kolonel Sanders tidak akan pernah meraih sukses seperti sekarang ini.

Bagaimana dengan kita? Apakah dalam menjalani hidup dan kehidupan yang penuh perjuangan ini kita juga memiliki motivasi yang kuat untuk tetap dapat survive?

Memang tak dapat kita pungkiri, hidup yang kita jalani tidak selalu mulus, pasti ada juga liku-likunya, bahkan mungkin banyak kerikil atau batu-batu yang tajam seperti yang dialami oleh Kolonel Sanders.

Namun demikian, tidak berarti kita boleh berputus asa dan berdiam diri meratapi nasib. Kita harus memiliki motivasi yang kuat, sehingga kita dapat terus bertekun, sampai kita dapat menghasilkan buah yang matang.

Dengan demikian, maka hidup kita akan menjadi sempurna dan tak kekurangan suatu apa pun. —Pdt. David Nugrahaning Widi

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 26/9/2012 (diedit sedikit)

==========

19 September 2012

Kedondong, Durian, atau Anggur?

Membaca judul di atas mungkin Anda akan mengernyitkan kening, bertanya-tanya, “Ini akan membahas jenis buah, manfaat buah, atau hal-hal terkait buah?”

Anda benar pada tebakan terakhir, yaitu hal-hal terkait buah. Sesungguhnya buah-buah ini bisa digunakan untuk menggambarkan tipe orang berdasarkan pengenalan atau penilaian Tuhan dan manusia.

Karakter adalah pengenalan Tuhan atas diri kita. Reputasi adalah penilaian manusia terhadap diri kita (Leonard Ravenhill). Keduanya tidak selalu sejalan.

Ada orang bertipe kedondong, artinya halus di luar, penuh “serat” di dalam. Tipe ini adalah orang yang reputasinya baik, tetapi sebenarnya karakternya jelek.

Orang yang termasuk tipe ini pandai memoles, berdalih, bersilat kata, menutupi isi hati yang jahat. Mereka hanya mencari muka dan pujian dari manusia.

Namun di mata Tuhan tipe ini bagaikan kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran. Di sebelah luar tampak benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

Sebaliknya ada orang yang bertipe durian. Kasar dan penuh duri di luar, tetapi sebetulnya hatinya baik, “legit”, bak buah durian. Tipe ini karakternya baik, tetapi reputasinya tidak baik. Ini bisa terjadi karena orang merusak reputasinya melalui gunjingan atau fitnah.

(durian)

Orang paling senang diibaratkan seperti buah anggur. Bisa dimakan dengan kulitnya, dengan biji-bijinya. Kita tidak bisa melakukan hal itu terhadap buah kedondong atau durian, bukan?

Orang bertipe buah anggur, halus atau baik di luar, halus atau baik pula di dalam. Ini adalah orang yang karakter dan reputasinya sejalan, sama-sama baik.

Masih ada satu tipe lagi, yaitu orang yang karakter maupun reputasinya sejalan, tetapi sama-sama jelek. Dengan buah apa mereka digambarkan? Terus terang saya tidak tahu. Apakah Anda tahu?

Orang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari hatinya yang baik dan orang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari hatinya yang jahat. Tuhan mengetahui rahasia hati kita. Mari serahkan hati kita untuk diubah menjadi lebih baik oleh-Nya. —Liana Poedjihastuti

Termasuk tipe orang yang manakah aku?

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 19/9/2012 (diedit seperlunya)

==========

17 September 2012

Manusia ABC

Ada tiga tipe manusia. Tipe A = Antusias. Orang yang selalu semangat menjalani hidupnya. Juga dengan semangat dan bergairah melakukan setiap tugas yang diberikan kepadanya.

Jikalau dia ditugaskan pergi ke daerah terpencil dan sulit, dia akan selalu menunjukkan sikap optimistis dan menjalaninya dengan mantap.

Hasil kerjanya pun excellent. Orang seperti ini akan menginspirasi orang lain yang ada di sekitarnya dengan gairah dan semangat yang ditularkannya.


Tipe B = Biasa. Orang seperti ini bekerja hanya untuk menjalankan tugas yang diberikan ke pundaknya. Ia melakukannya sama persis seperti prosedur yang sudah digariskan.

Tidak ada kreativitas atau aktif mencari sesuatu yang baru, yang dapat menghasilkan terobosan yang diciptakannya. Prestasi kerjanya pun sedang-sedang saja, alias rata-rata seperti kebanyakan orang.

Tipe “biasa” dalam kelompok tidak akan menginspirasi orang, tetapi dapat didorong prestasinya agar maju dan maksimal, kalau dia mau berubah.

Tipe C = Cuek bebek. Tipe orang yang acuh tak acuh. Pokoknya hanya mengerjakan apa yang sanggup dilakukan oleh tangannya. Kalau ada tugas yang diberikan, tetapi tidak terjangkau oleh tangannya, ia tidak akan mengerjakan pekerjaan itu dengan perasaan tidak bersalah. Prestasinya di bawah rata rata.

-----
Ketiga tipe orang ini akan berbeda dalam mengisi dan memaknai hidupnya.

Orang yang antusias akan optimistis menjalani hidup dan hari-hari di depannya dengan keyakinan diri yang mantap. Meskipun menghadapi kesulitan, tetapi ia akan mengubah kesulitan itu menjadi peluang.

Orang yang “biasa” saja akan menjalani hidupnya tidak seserius orang yang pertama.

Lalu bagaimana dengan orang tipe cuek bebek? Dalam hati mereka berkata, “Emangnya gue pikirin...”

Sebuah nasihat mengajar kita agar menghitung hari-hari hidup kita serta menjalaninya dengan bijaksana, karena hidup manusia itu singkat.

Dalam hidup yang singkat tersebut kita harus mengisinya dengan cara, sikap, dan hasil yang bermakna. —Pdt. Agus Wiyanto

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 10/1/12 (diedit seperlunya)

==========

14 September 2012

Rencana Hidup

Seorang ibu menemukan sebutir telur, lalu ia memanggil ketiga anaknya, dan mengatakan kepada mereka, “Anak-anakku, mulai sekarang kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan apa pun. Lihatlah, ibu telah menemukan sebutir telur... dan inilah yang akan kita lakukan.”

Si kecil menyela, “Hore! kita akan makan telur.” Segera ibu itu berucap, “O, tidak... tidak, kita tidak akan memakan telur ini, tetapi kita akan mengeramkannya dengan ayam tetangga dan membiarkannya menetas menjadi seekor anak ayam. Kita juga tidak akan memakan anak ayam itu. Kita biarkan ia bertumbuh, bertelur, dan menetas, maka kita akan memiliki banyak ayam dan telur.”


“Jadi, kita bisa makan ayam kan bu?” tanya salah seorang anaknya. “Tidak juga,” jawab si ibu bersemangat, “Kita akan menjualnya. Hasil penjualan itu akan kita gunakan untuk membeli seekor anak sapi. Kita akan memeliharanya. Dan sapi itu akan beranak banyak dan kita akan segera memiliki kawanan sapi. Kita akan menjual sapi-sapi itu dan membeli sebuah ladang... demikian kita akan terus membeli... dan... menjual.” Si ibu berbicara dengan begitu bersemangat, sehingga telur itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai... pecah!

Bagaimana perasaan si ibu dan anak-anaknya ketika mendapati telur itu pecah? Willi Hoffsuemmer tidak menceritakannya. Tetapi Hoffsuemmer menyimpulkan, bahwa rencana hidup sering kali terjadi seperti itu: orang membuat banyak rencana dan janji muluk-muluk yang bahkan tidak dapat bertahan sampai hari berikutnya. Mereka seperti telur yang jatuh dan hancur itu. Menyedihkan bukan?

Apakah rencana hidup yang pernah kita canangkan telah kita realisasikan? Ataukah rencana tetap tinggal rencana? Mengapa kita belum merealisasikan rencana kita? Tergoda untuk menundanya? Malas?

Alangkah baiknya jika kita mengevaluasi apa yang sudah dan belum kita lakukan sesuai komitmen kita, agar kita bisa maju, meski perlahan-lahan, tetapi pasti. —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 31/1/12 (diedit seperlunya)

Judul asli: Niat Tahun Baru

==========

07 September 2012

Mengapa Cobaanku Berat?

Seumpama Anda ingin memilih seseorang untuk melakukan suatu tugas besar, kompleks, dan berat yang menuntut tenaga, waktu, dan kecakapan yang tidak kecil, siapa yang akan Anda pilih? Tentu Anda tidak akan memilih dengan sembarangan atau “asal comot” bukan?

Anda akan memilih dengan hati-hati, menimbang-nimbang dengan saksama apakah orang itu cocok untuk tugas tersebut. Semakin besar tugas dan tanggung jawabnya, semakin teliti kita memilih orang yang akan melakukannya.

Maksudnya jelas, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil. Sepertinya demikian pula dengan Tuhan. Tentulah dengan kebijaksanaan-Nya, Ia memberi tugas khusus, berat, dan besar kepada orang-orang pilihan-Nya.

Di pihak lain, bagaimana respons orang yang dipilih untuk melakukan tugas berat itu? Paling tidak ada dua respons. Ada yang merasa mendapat kehormatan karena dipilih untuk menjalankan tugas itu, tetapi ada banyak juga yang merasa keberatan.

Demikian pula respons kita ketika mendapat cobaan berat. Ada yang bersyukur karena merasa mendapat kehormatan, tetapi lebih banyak yang mengeluh, mengomel, marah, merasa terganggu, dan keberatan.

Ada banyak orang menganggap cobaan adalah peristiwa atau kejadian yang menyakitkan, masalah, penderitaan, dan sejenisnya. Sering kali kita mendengar orang yang mengalami peristiwa sedih berkata, “Ini cobaan yang harus aku jalani.”

Peristiwa-peristiwa yang menyakitkan sesungguhnya layak untuk disyukuri karena oleh merekalah kita bertumbuh. Sayang tidak semua orang bisa menangkap hal ini. Lebih banyak yang berkeluh kesah, menggerutu, dan marah ketika peristiwa sedih datang menghampiri.

Peristiwa gembira memang membahagiakan, tetapi jarang menuntun pada pertumbuhan.

Peristiwa yang menyakitkan merupakan pelajaran bagi kita karena menyingkapkan banyak hal yang tidak kita ketahui sebelumnya, dan membuka peluang untuk bertumbuh.

Di-PHK, kehilangan, patah hati, penolakan, penyakit, bahkan kesalahan dan dosa kita sekalipun dapat membantu kita bertumbuh. Semuanya merupakan rahmat, tidak hanya bagi kita pribadi tetapi juga bagi orang lain. Di balik setiap cobaan tersembunyi rahmat besar bagi kita dan sesama.

Daripada mengeluh, marah, atau malah berputus asa, mari bersyukur atas cobaan (ujian) yang Tuhan berikan kepada kita. Betapa Tuhan sangat mencintai kita dengan memberikan cobaan yang berat itu karena Ia percaya bahwa kita dapat melakukan tugas-tugas besar. —Liana Poedjihastuti

Ingatlah peristiwa yang paling mengecewakan, menyedihkan dan menyakitkan yang pernah atau sedang Anda alami. Percayalah pasti ada rahmat pertumbuhan di baliknya. Cobalah untuk menemukan suatu peluang atau potensi untuk tumbuh yang dahulu tidak Anda lihat atau ketahui.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 16/3/12 (diedit seperlunya)

Judul asli: Mengapa Salibku Berat?

==========

03 September 2012

Bekerja dengan Gembira

Mungkin Anda pernah memerhatikan ketika sedang berada di kantor pelayanan publik, selalu saja ada tipe pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan wajah datar tanpa ekspresi, tidak ramah, jauh dari menyenangkan. Mereka ini menebarkan aura kejengkelan yang pada gilirannya berujung pada ketidaknyamanan bagi yang dilayani.

Awalnya saya juga merasa tidak nyaman dalam situasi seperti itu, namun kemudian karena terlalu sering bertemu dengan tipe pekerja seperti ini, saya mulai bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada pekerja yang demikian?

Lalu sampailah saya pada asumsi bahwa mungkin tugas-tugas mereka yang menyebabkan sikap kerja yang demikian. Bayangkan jika sepanjang hari tugasnya hanya membubuhkan stempel pada kertas dokumen, atau membuka dan menutup pintu, atau melakukan wawancara dengan pertanyaan yang itu-itu saja kepada puluhan bahkan ratusan orang setiap hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Seperti robot.

Bisa dipahami jika mereka kemudian menjadi jemu, mungkin tanpa mereka sadari dan inginkan. Menunggu mutasi yang tak kunjung tiba. Saya mulai berempati kepada para pekerja tipe ini.

Memang pekerjaan di samping memberikan penghasilan, juga bisa untuk mengaktualisasi dan mengembangkan bakat dan kreativitas kita. Bisa pula memberi pengaruh kepada masyarakat di sekitar kita, bahkan dunia. Memungkinkan kita membina relasi dan bekerja sama dengan orang lain.

Tetapi sesungguhnya pekerjaan juga bisa membebani. Bagaimana tidak? Tempat kerja dirasakan bukan sebagai tempat bekerja sama, melainkan tempat saling “menjegal” karena menjadi tempat persaingan yang tidak sehat.

Kita juga tidak dapat mengembangkan bakat dan kreativitas, serta mematikan minat kita, jika ada keharusan spesialisasi yang sesuai dengan pengembangan perusahaan.

Sudah begitu, kadang kita juga mempersulit diri sendiri karena memaksa diri melakukan lebih dari yang seharusnya. Kita mengkhawatirkan hal-hal kecil yang tidak perlu, dan tidak mau mendelegasikan tugas yang sebenarnya bisa didelegasikan. Kita juga merasa kesal, bahkan marah ketika pekerjaan yang kita lakukan tidak dihargai dengan imbalan yang memadai.

Jika pekerjaan terasa berat dan membebani, cobalah lakukan kiat menurut Corinne Updegraff Wells ini. Pertama-tama, pastikan kita tahu mengapa kita melakukan pekerjaan itu. Kemudian, pikirkan cara-cara menyelesaikan pekerjaan itu. Akhirnya, bagilah pekerjaan itu menjadi tugas-tugas yang lebih kecil. Kerjakan hanya satu bagian pada setiap kesempatan, jangan sekaligus.

Di atas semua itu, menurut Charles Ringma, yang terpenting adalah kita harus membawa roh yang tenang ke tempat kerja, roh yang damai dengan Tuhan, nyaman dengan diri sendiri, dan mau melayani orang lain.

Dengan demikian kita tidak hanya sekadar tidak jemu, melainkan menebarkan semangat dan kegembiraan di tempat kerja. Hati yang gembira membuat muka berseri-seri. —Liana Poedjihastuti

Apakah aku melakukan tugas-tugasku dengan gembira ataukah aku merasa jemu?

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 3/9/12 (diedit sedikit)

==========

01 September 2012

Cara Menyikapi Kritik

Di Desa Bakaran, Juwana, Jawa Tengah orang memiliki kebiasaan ekonomis. Kerbau dan sapi diangon di jalan-jalan, binatang itu buang air besar di sembarang tempat. Tetapi kotoran binatang ternak itu tidak dibiarkan terlalu lama mencolok mata. Segera dibersihkan, dikumpulkan, lalu dijemur untuk digunakan sebagai pediang, bahan bakar pengasapan di kandang.

Kritik seperti kotoran kerbau! Akan dibuang atau dimanfaatkan sebagai pediang atau pupuk kandang?

Kritik biasanya tidak sedap didengar, tidak ada kritik semerdu alunan keroncong. Meski lembut disuarakan, kritik terdengar sumbang, menggetarkan, bahkan mengguncang perasaan.

Kritik sering kali menyengat, merangsang amarah — terlebih kalau kita merasa dikecam atau dicerca.

Tidak ada kritik selezat tiramisu meski dilapisi ‘stiker gula’ berlabel “Kritik Membangun”.

Kritik atau teguran sejatinya untuk mengoreksi, namun dikoreksi tentu membuat kita tidak nyaman.

Anda mungkin bisa mengajukan suatu proposal tentang bagaimana etika mengkritik diri Anda, rambu dan jadwal menegur, ataupun kadar toleransi kecaman yang bisa Anda terima.

Anda mungkin bisa membangun kriteria sendiri, apakah seseorang itu kritikus bijak atau pengecam jahanam. Namun tetap saja Anda tidak kuasa melarang orang mengkritik.

Pepatah Persia mengatakan, “Anak-anak hanya melempar batu ke pohon yang berbuah.” Hal yang sama dilakukan orang-orang, mereka hanya mengkritik apa yang sudah kita lakukan, hasil perbuatan kita.

Jika Anda tidak ingin dikritik, diam saja, jangan melakukan apa pun, artinya Anda memilih untuk ‘mati suri’.

Tidak semua orang mau mendengarkan nasihat Dale Carnegie yang ditulis dalam bukunya, How to Win Friends and Influence People: “Jangan mengkritik, mencerca, atau mengeluh!”

Anda tidak bisa mengeliminasi kritik dengan mengatakan, “Hati-hatilah Anda! Mengkritik itu sama saja mengarahkan satu jari telunjuk ke saya, tetapi tiga jari ke arah Anda sendiri, dan ibu jari Anda ke atas, menunjuk Tuhan atau orang yang Anda anggap bertanggung jawab.”

Tentu saja kritik tidak pernah senikmat pujian. Tidak ada di antara kita yang senang orang lain mengecam, mencerca, atau mengatakan hal-hal negatif.

Jika Anda menolak dan membela diri, tentu saja alamiah. Namun, tidak seorang pun yang sempurna, dan sering kali orang lain yang justru lebih jeli melihat kelemahan dan kesalahan kita.

Kritik tidak seratus persen buruk. Kritik bisa menolong untuk menilai apa yang sudah kita lakukan.

Tentu saja, tidak semua kritik sahih dan bijak. Namun kita tidak perlu langsung apriori, menolak kritik dari siapa pun dan dalam wacana apa pun.

Kita dengarkan dan simak saja, barangkali ada kebenaran yang tersirat di balik kritik itu. Dan, mungkin itulah kesempatan kita untuk mengubah jalur atau menata kembali langkah-langkah kita. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 1/9/12 (diedit seperlunya)

Judul asli: Kritik

==========

Artikel Terbaru Blog Ini