25 September 2010

Jangan Lagi Menghakimi

Mawar adalah seorang wanita muda berusia 20 tahun. Dengan penampilan seperti umumnya ABG (anak baru gede), orang tidak akan menyangka bahwa Mawar adalah ibu dari seorang anak laki-laki berusia 5 tahun.

Ketika masih belia, yaitu pada usia 15 tahun, Mawar mempunyai teman pria yang tak lain adalah teman sekolahnya di SMP. Kedekatannya dengan pria yang juga masih remaja tersebut akhirnya membuahkan kehamilan.

Karena alasan usia yang masih muda, keluarga pria tidak mengizinkan anaknya menikahi Mawar. Sejak saat itu, Mawar harus berjuang dengan perasaan yang bercampur aduk: menyesal, kecewa, malu, dan merasa ditinggalkan.

Orangtuanya berusaha membangun kepercayaan dirinya untuk bangkit dari keterpurukan masa lalu, memperbaiki hidupnya, tetap menapaki hari-harinya, dan terutama memelihara janin dalam rahimnya.

Seiring berjalannya waktu, Mawar pun mampu melalui hari-harinya dengan harapan-harapan yang baru. Meskipun usianya masih muda, ia berusaha membesarkan anaknya dengan kasih sayang, dan ia juga mulai mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tapi tidak sedikit orang yang selalu memandangnya secara negatif. Mereka hanya terpaku pada kegagalannya dulu, mereka menilainya tidak lebih dari seorang wanita yang hamil di luar nikah.

Mawar merupakan contoh dari sekian banyak wanita yang pernah mengalami kegagalan di masa lalu. Bagaimana cara kita memandang orang-orang seperti ini atau mereka yang terpaksa melahirkan anak karena diperkosa?

Mengapa kita tidak bisa memandang mereka sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan? Pernahkah kita berpikir bahwa perjuangan mereka membesarkan anaknya sebagai orangtua tunggal (single parent) adalah sesuatu yang patut dihargai?

Terkadang kita lebih pandai menilai orang lain kemudian menghakimi mereka, daripada menilai diri sendiri lalu mengubah kelemahan kita. Kita lebih cenderung menganggap diri sempurna dan orang lain yang salah.

Seorang rabi Yahudi yang terkenal bernama Hillel mengatakan, “Jangan menilai atau menghakimi orang lain sebelum engkau sendiri mengalami keadaan atau situasi orang tersebut.”

Kita tidak bisa memahami sepenuhnya situasi yang sedang dihadapi seseorang: masa lalunya, orangtuanya, keadaan keuangan, atau masalah hidup lainnya yang sedang ia hadapi. Karena itulah, jangan mudah menghakimi.

Apakah maksud kalimat yang mengatakan bahwa kita harus mengeluarkan dahulu balok yang ada di mata kita, barulah mengeluarkan selumbar di mata sesama? Perkataan ini menjelaskan bahwa selama seseorang masih memiliki kelemahan, janganlah ia menghakimi sesamanya.

Kalimat tersebut berarti bahwa tidak seorang pun patut menghakimi sesamanya, karena semua orang tidak luput dari kesalahan. Tuhan sajalah yang sempurna dan Dialah yang layak menghakimi.

Mulai sekarang, jangan lagi menilai dan menghakimi sesama. Sebaliknya, benahilah kehidupan masing-masing dan buanglah dosa serta kelemahan yang ada.

-----

Kata-kata bijak:
Anda boleh menghakimi sesama jika anda tidak pernah melakukan kesalahan.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 25 September 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang dengan izin tertulis.

==========

23 September 2010

Kartu Kuning dan Merah

Ketika itu pertandingan perempat final antara Inggris melawan Argentina dalam Piala Dunia tahun 1966.

Wasit dari Jerman, yakni Rudolf Kreitlein memutuskan mengeluarkan kapten kesebelasan Argentina, Antonio Rattin, karena melanggar peraturan. Tetapi Rattin tidak paham dengan maksud wasit tersebut dan tidak segera meninggalkan lapangan.

Ken Aston, seorang hakim garis dari Inggris lalu masuk lapangan. Dengan sedikit kemampuan berbahasa Spanyol, dia memberi tahu Rattin agar meninggalkan lapangan karena wasit memutuskan seperti itu. Wasit mengalami kesulitan karena hanya tahu bahasa Jerman dan Inggris, dan tidak tahu bahasa Spanyol.

Setelah peristiwa itu, Ken Aston lalu berpikir bagaimana caranya agar dapat mengatasi kendala komunikasi seperti yang dialaminya.

Suatu saat, ketika melihat lampu pengatur lalu lintas (traffic light) di perempatan, timbul ide dalam dirinya: baik juga kalau wasit dibekali dengan dua buah kartu ketika memimpin pertandingan, kuning dan merah. Kartu kuning untuk sanksi atas pelanggaran ringan dan kartu merah untuk sanksi pelanggaran berat dan pemain harus keluar dari lapangan. Ide itu diterima oleh FIFA.

Pada Piala Dunia tahun 1970, kartu kuning dan merah untuk pertama kalinya digunakan. Ide ini lalu diadopsi oleh cabang olahraga hoki. Bahkan, cabang olahraga ini memakai tiga kartu seperti traffic light. Hijau untuk peringatan, kuning untuk mengeluarkan pemain sementara waktu, dan merah untuk mengusir pemain secara permanen.

Ada tiga pelajaran penting dari sejarah penemuan kartu kuning dan merah ini, yaitu:

Pertama, setiap kesulitan seharusnya “memancing” seseorang untuk berpikir.
Tuhan menciptakan pikiran di dalam diri manusia agar manusia mampu menciptakan peluang-peluang dalam setiap keadaan, termasuk dalam situasi yang sulit.

Janganlah kita cepat putus asa ketika menghadapi kesulitan, tetapi tenanglah dan berpikirlah. Hambatan sering kali berarti bahwa kita harus berpikir lebih keras, lebih baik, dan lebih kreatif.

Kedua, ide untuk mendapatkan jalan keluar biasanya ada di sekitar kita.
Biasanya hal-hal kecil dan sederhana di sekitar kita, kurang kita perhatikan. Padahal, Tuhan dapat memakai hal-hal tersebut untuk memberikan ide kepada kita sehingga kita bisa mendapatkan jalan keluar untuk setiap masalah yang kita hadapi.

Sebagai contoh, raja Hizkia yang hidup pada zaman dahulu disembuhkan dari penyakit bisul bernanah-nya hanya dengan sebuah kue ara. Buah ara memiliki banyak khasiat, di antaranya mengandung unsur “benzaldehyde” dan “coumarins” yang menjadi bahan anti kanker dan tumor.

Di samping itu, benzaldehyde juga untuk merawat kulit. Tentu kita percaya bahwa dalam kasus raja Hizkia, campur tangan Tuhan yang ajaib juga terjadi.

Ketiga, apa yang kita hasilkan dari “pemerasan” otak kita, pasti berguna bagi sesama.
Mari kita mulai mewujudkan apa yang sudah kita pikirkan, jangan ditunda-tunda. Cepat atau lambat, karya kita akan menjadi berkat bagi orang lain.

-----

Doa:
Tuhan, aku yakin bahwa setiap kendala pasti ada jalan keluarnya. Mampukan aku memakai pikiranku semaksimal mungkin untuk menemukan ide baru. Amin.

Kata-kata bijak:
Tuhan akan menolong kita ketika kita mau berpikir dan mewujudkan apa yang kita pikirkan.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 23 September 2010 (diedit seperlunya)

Judul asli: Traffic Light dan Kartu Kuning-Merah

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

21 September 2010

Menjadi Penyemangat

Sukarsih adalah seorang gadis sederhana yang mempunyai bakat menyanyi. Oleh orangtuanya, ia dititipkan di rumah kakaknya yang tinggal di sebuah kota, yang kebetulan adalah seorang pemusik.

“Ah, pasti Sukarsih akan menjadi penyanyi terkenal,” kata ayahnya di dalam hati. Tetapi lama ditunggu, Sukarsih belum muncul juga sebagai penyanyi terkenal.

“Ya sudahlah, mungkin itu bukan nasibnya,” kata sang ayah. Dia pun bermaksud menjemput Sukarsih pulang ke desa. Tetapi oleh kakaknya yang lain, Sukarsih malah ditahan dan diminta tinggal di rumahnya.

Kakaknya ini adalah seorang tukang bangunan. Namun apa yang terjadi? Setelah beberapa bulan Sukarsih sudah tampil di panggung-panggung hiburan dan menyanyi di sana. Bahkan sudah ada seorang produser yang mengajaknya untuk rekaman. Tentu saja ini membuat sang ayah heran.

Ketika Sukarsih pulang ke desa, sang ayah bertanya kepada Sukarsih dan ia pun menjawab, “Waktu di rumah kakak yang pemusik, saya tertekan karena selalu disalahkan. Dia tidak pernah mendengarkan saya. Memang dia pintar musik, mengerti nada, tetapi tidak mengerti perasaan saya.”

“Kakak yang tukang bangunan memang tidak tahu apa-apa tentang musik, tapi dia mendorong saya untuk berani menyanyi di depan orang lain. Sampai suatu ketika, seorang teman kakak yang sengaja didatangkan ke rumah mendengar suara saya. Dialah yang membawa saya untuk menyanyi dari panggung ke panggung. Sekarang saya sedang menunggu waktu untuk rekaman.”

Maju tidaknya seseorang memang tergantung pada dirinya sendiri. Tetapi perlu diingat bahwa setiap orang bisa menjadi pendukung atau penghambat bagi kemajuan orang lain, secara khusus dalam perkembangan anak atau adik kita. Itu tergantung dari sikap dan perlakuan kita kepadanya.

Perkataan dan tingkah laku kita bisa membangun atau menghancurkannya. Mereka bisa memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan tidak pernah takut untuk maju menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup ini.

Tetapi, juga ada banyak anak yang sebenarnya pandai dan berbakat namun tidak pernah berhasil mencapai puncak prestasi mereka karena gambar diri mereka sudah hancur dan mereka tidak punya keberanian untuk maju. Ini disebabkan karena kurang adanya dukungan dari anggota keluarga, khususnya orangtuanya.

Hal ini juga berlaku dalam hubungan antar-anggota di dalam suatu organisasi. Banyak bakat dan karunia yang terpendam sia-sia karena sikap pemimpin, pengurus, dan aktivis lainnya yang kurang mendukung dan memberi peluang kepada anggota untuk bisa lebih maju.

Ada rasa enggan mengajari, takut tersaingi, tidak mau membuang waktu, dan sebagainya, yang berakibat tidak terjadi regenerasi dan kegiatan organisasi berjalan terseok-seok. Mari, jadilah penyemangat bagi orang lain, doronglah mereka!

-----

Kata-kata bijak:
Dengan bahasa mulut dan bahasa tubuh, kita bisa menjadi penyemangat bagi kesuksesan orang lain.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 21 September 2010 (diedit seperlunya)

Judul asli: Butuh Penyemangat

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

15 September 2010

Kita yang Harus Berubah

Seorang raja berjalan-jalan untuk melihat keadaan kerajaan yang dipimpinnya. Tak jauh dari istana, kakinya terluka karena batu-batu tajam yang menembus sepatunya.

Sang raja pun berkata, “Jalan ini sangat buruk, kita harus segera memperbaikinya agar kakiku tidak terluka lagi. Jalan ini harus dilapisi dengan kulit sapi terbaik.”

Maka segeralah diumumkan ke seluruh kerajaan agar dilakukan persiapan pembangunan jalan dengan mengumpulkan lembaran-lembaran kulit sapi.

Seorang bijak yang kebetulan berada di kerajaan tersebut berkata kepada raja, “Tuanku, daripada merencanakan proyek yang besar dan menyusahkan rakyat, bukankah akan lebih mudah jika Tuanku melapisi sepatu Tuanku dengan kulit sapi? Jadi, Tuanku hanya memerlukan paling tidak selembar kulit sapi.”

Tidak jarang kita berpikir dan bertindak seperti raja di atas. Bukankah sering kali kita menuntut agar semua orang berubah demi kenyamanan kita? Kita tidak suka terhadap sikap suami, kita mengeluh dengan kebiasaan istri, kita mencela tindakan anak kita, kita menjadi stres atas perlakuan teman, dll.

Semua kekesalan ini mendorong kita untuk mengeluh dan menceritakannya kepada orang-orang dekat yang kita temui. Kita mulai menularkan sikap negatif yang akhirnya menyusahkan banyak orang. Padahal dengan sedikit mengubah diri kita saja, sudah cukup mengatasi masalah yang ada.

Kita harus dapat saling menerima sebagaimana Tuhan juga sudah menerima kita. Saling menerima artinya kita tidak lagi menuntut agar orang lain yang berubah.

Kita lebih sering menganggap diri sendiri yang paling benar dan orang lainlah yang salah, sehingga kita berharap agar merekalah yang berubah. Padahal tidak selamanya penilaian kita benar. Mungkin saja diri kitalah yang menyimpan ketidakberesan.

Kita perlu mengoreksi diri sendiri secara jujur, bahwa kita pun penuh kelemahan dan masih perlu dibentuk dalam banyak hal.

Keterbukaan untuk dikoreksi dan kesediaan untuk berubah akan menolong kita untuk semakin dewasa di dalam Tuhan. Tetapi jika kita sudah terlebih dahulu membentengi diri dengan pendapat bahwa kitalah yang paling benar, maka kita akan tetap berada dalam kelemahan kita.

Setiap hari biarlah kita meminta agar Tuhan memberikan kemampuan kepada kita untuk berubah, jika kita memang perlu berubah.

Sekarang bukan waktunya lagi untuk melihat kelemahan orang lain, mengumpat, atau menghakimi mereka. Kini saatnya kita menata diri sendiri agar semakin sempurna dalam pandangan Tuhan.

Mintalah agar Tuhan menunjukkan kekurangan kita, sehingga kita bisa berubah. Sebuah ungkapan mengatakan, “Ubahlah diri Anda terlebih dahulu, maka orang lain akan berubah.”

-----

Kata-kata bijak:
Lebih mudah mengubah diri sendiri daripada mengubah orang lain.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 15 September 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

12 September 2010

Dibutuhkan Niat Hati

Seperti biasa, Debora berjalan kaki menuju pangkalan becak untuk diantar ke halte di mana ia biasa naik bus saat berangkat ke kantor. Dia pun naik bus yang ngetem di situ.

Sebentar saja bus sudah penuh dan mulai bergerak. Baru berjalan sekitar 20 menit, tiba-tiba bus itu menepi dan berhenti. Sopir bus pun turun menemui seorang polisi lalu lintas. Rupanya sopir dianggap melanggar peraturan lalu lintas.

“Wah, kalau begini bisa terlambat,” kata Debora kesal. “Ada-ada saja sopir itu. Mana ada meeting lagi, dan sudah janji sama pimpinan untuk tidak terlambat,” tambahnya. Semua penumpang juga tampak gelisah.

Setelah menunggu 20 menit, bus berangkat lagi untuk meneruskan perjalanan. Debora masih kesal. “Pasti terlambat nih! Gara-gara sopir yang tidak becus,” gumamnya.

Benar juga, Debora terlambat masuk kantor. Rapat pun sudah dimulai sekitar 15 menit yang lalu. Debora masuk ruang rapat dengan hati yang tidak menentu.

Selesai rapat, Debora diminta menghadap pimpinan. “Mengapa terlambat?” tanya pimpinan.

“Soalnya bus yang saya tumpangi ditilang polisi. Sopirnya tidak becus,” jawab Debora.

“Jadi yang salah sopirnya?” tanya pimpinan.

“Betul, Pak,” jawabnya agak keras.

Pimpinan berkata, “Kalau mau jujur, apakah kamu sungguh-sungguh merasa harus datang lebih pagi? Kalau kamu memang berniat untuk datang lebih awal, pasti kamu akan berangkat lebih pagi. Atau, kamu bisa cepat-cepat ganti bus.” Debora pun hanya tertunduk malu.

Niat hati diperlukan dalam setiap aspek kehidupan kita. Dalam mengubah kebiasaan buruk, dibutuhkan niat hati. Kalau tidak ada niat hati, kita akan menyalahkan situasi dan lingkungan. “Habis, teman-teman juga melakukan itu, tidak enak kalau tidak ikut.”

Dalam mengembangkan karier atau mengejar kesuksesan pun perlu ada niat hati. Kalau tidak, ketika gagal kita akan berkata, “Memang sudah nasib saya.”

Dalam hal pertobatan, harus diawali dengan niat hati. Jika tidak, maka ketika kita jatuh ke dalam dosa, bahkan kembali hidup di dalam dosa, kita akan berkata, “Ya, namanya juga manusia, penuh dengan kelemahan.”

Orang yang tidak mempunyai niat hati akan mudah melemparkan kesalahan kepada orang lain atau mencari kambing hitam.

Niat hati akan membatasi seseorang untuk mencari-cari alasan dan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Niat hati akan menolong seseorang untuk tidak mudah menyerah pada keadaan dan terus berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

Niat hati membuat seseorang tetap punya semangat, walaupun untuk sementara waktu tidak berhasil. Niat hati juga bisa mendatangkan hikmat untuk terus maju.

Milikilah niat hati yang teguh dalam mengerjakan apa pun yang saat ini sedang anda hadapi: pelayanankah, pekerjaan kantorkah, tugas dari kampuskah, pekerjaan rumah tangga, mendidik anak-anak, dsb.

Kerjakanlah dengan sepenuh hati! Usahakanlah dengan sungguh-sungguh!

-----

Kata-kata bijak:
Jika ada niat hati, segala macam alasan akan tersingkir dengan sendirinya dan jalan keluar pun akan terbuka.

* * *

Sumber: Manna Sorgawi, 12 September 2010 (diedit seperlunya)

Di-online-kan oleh Paulus Herlambang.

==========

Artikel Terbaru Blog Ini